Kapan Pulang? (Seri #dirumahaja 1)

Seri #dirumahaja ini adalah kumpulan cerita seputar masa karantina mandiri Covid-19. Mulanya hanya saya tulis di Storial. Tapi saya salin ke sini juga karena saya ingin memasukkan foto-foto :). 

Rimba Desa, Jepara


"Kapan pulang?" tempo hari, lewat pesan singkat, ayah saya bertanya seolah kami hidup di dunia lain. Dunia tanpa sakit penyakit. 

Hati-hati saya menjawab, mungkin (padahal pasti) Lebaran nanti saya dan keluarga tak akan pulang. Antara mengikuti himbauan pemerintah atau ketakutan akan hal-hal tak tentu yang semakin pasti tak pastinya. Kenyataan demi kenyataan yang hanya bisa diterima tanpa dimengerti. Belum mampu dicerna habis.

Salah satunya, bahwa manusia ternyata bisa sesakti sekaligus setidakberdaya itu. Bisa membawa penyakit tanpa merasa sakit. Di saat yang sama penyakit yang tak sadar ia bawa bisa membuat orang lain pergi selamanya.

Kapan pulang?  Saat pertanyaan itu bergaung di ruang kepala, di TV, ada berita gelombang perantau sudah tiba di kampung halaman. Dari bus-bus antarkota, mereka turun membawa ransel berisi tanda tanya tanpa titik dan harapan yang pudar. Mungkin mereka kuli-kuli panggul Pasar Tanah Abang yang justru tutup jelang  puasa. Atau buruh-buruh harian yang sejak kemarin belum makan, tak ada pekerjaan. Di kota, jika tidak mati karena wabah, bisa jadi mereka lebih dulu mati kelaparan di kontrakan petak sesak penghuni.

"Di kampung, nggak ada uang masih bisa makan," kata seorang pria saat diwawancara.
Kota memang penuh dengan tanya, seperti dalam lirik lagu "Rumah Kita" (haruskah kita beranjak ke kota yang penuh dengan tanyaaa). Ian Antono memang menulis lagu ini karena rindu kampung halamannya setiba di Jakarta. Sedetik saya berpikir, lagu ini seharusnya cocok untuk mencegah urbanisasi. Haha. Tapi lagu yang sama sedang ramai dinyanyikan lagi sebagai himne diam di rumah. Dinyanyikan orang-orang yang kebanyakan (mampu) diam di kota.

Kapan pulang?  Saya ingin pulang dan tak kembali ke dunia yang kini jadi serupa fiksi fantasi ini. Dunia yang tanpa ampun mendesak orang pada realita kelas sosial di mana ia berada. Di antaranya, tentu saja, ada yang terhimpit antara arahan tak boleh pulang, tapi juga tergagap-gagap bertahan di kota.

Pemberitahuan di depan Ropang BSD, Tangerang Selatan

Comments