Privilege Kita



25 November 2019
Kita menyebut orang yang lebih dari kita adalah orang yang punya privilege. Tetapi akan selalu ada orang lain yang juga menganggap kitalah yang punya privilege.
Saya berpikir ulang tentang privilege saat mendampingi anak saya mengikuti lomba spelling bee. Setelah memenangkan lomba di areanya, ia berkesempatan ikut grand final tingkat nasional di Senayan. Tapi dari 150 peserta dari berbagai kota, ia tidak masuk ke dalam 10 besar finalis.
Dalam hati diam-diam saya berkata, “Ah ya pantes aja. Yang menang anak sekolah internasional.” Tapi kemudian saya mematikan pikiran itu cepat-cepat karena untuk tiba di tingkat nasional, anak saya juga telah unggul dari teman-temannya yang sekolah internasional atau kursus bahasa 5 juta/tingkat. Ia otodidak. “Cuma” belajar bahasa Inggris dari YouTube.
“Ya pantes” adalah sekedar ungkapan kekecewaan saya dan tidak punya dasar rasional.



Ada kalanya saya sendiri juga bertanya-tanya apakah saya sekedar punya privilege, atau benar-benar mencapai sesuatu, atau keduanya (dan apakah penting memikirkan hal ini).
Hingga SMP saya bersekolah di sekolah swasta Katolik yang baik. Sesuatu yang dianggap orang lain sebagai privilege. Meski begitu, bersekolah di sana membuat saya sadar bahwa saya tidak punya privilege seperti teman-teman satu sekolah saya yang punya TV berparabola atau liburan dan melanjutkan sekolah ke luar negeri.
Sebaliknya, mereka justru juga menganggap saya, yang tidak punya akses terhadap segala fasilitas mahal ini, punya privilege. Tiap saya ranking 1, orang tua murid lain berkata, “O pantes, anaknya dosen.” Padahal orang tua saya sama sekali tidak pernah mengajari saya pelajaran sekolah. Dan saat saya menjadi reporter dan menulis fiksi, ada juga yang bilang, “Oo pantes. Nurun dari papa ya?” Padahal ayah saya juga tidak pernah mengajak dan mengajari saya menulis.
Kita selalu punya atau tidak punya privilege, hanya dari sudut pandang apa kita dilihat.
Dari satu sisi, sebenarnya pernyataan “Oo pantes” ini agak menyebalkan. Seakan fakta dan sejarah yang berhubungan dengan kita, yang juga bukan dalam kendali kita, mereduksi upaya yang sudah kita lakukan untuk mencapai sesuatu.
Tulisan Marshal Silver ini saya baca dalam buku Financial Revolution Tung Desem Waringin: bahwa 50% perputaran uang di dunia ini hanya dikuasai oleh 1% orang. Dan jika persentasenya jadi 5%, maka mereka akan menguasai 90% perputaran uang (10% sisanya diperebutkan 95% orang).
NAMUN kalaupun uang yang ada di seluruh dunia dibagi rata sehingga tiap orang mendapat jumlah sama, dalam waktu 5 tahun, komposisi akan kembali seperti semula (1% orang kuasai 50% atau 5% orang kuasai 90%).
Saya percaya demikian. Sebenarnya yang bisa dianggap valid dan obyektif dari kecemburuan kita pada yang punya privilege adalah bahwa mereka punya budaya dan karakter khusus yang diwariskan. Disiplin, kerja cerdas, jangan mau rugi, cepat ambil kesempatan, banyak membaca. Itu yang membuat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Mereka mempertahankan privilege mereka (siapa yang tidak?).
Sisi baiknya, sifat-sifat ini sebenarnya bisa kita tiru (atau tidak), di mana pun kelas sosial kita berada.
Sebaliknya, warisan karakter dalam kelas atau keluarga jugalah yang antara lain meneruskan lingkaran setan “yang miskin akan terus miskin.”
Namun agar kita tidak lupa, meski jumlahnya tidak banyak, bisa jadi orang-orang yang sekarang punya privilege dulunya juga adalah orang blangsak (meminjam kata seorang penulis) yang kemudian mengubah nasib mereka dan menanggalkan keblangsakannya.
Seperti saya yang tidak suka dikomentari “Oo pantes” untuk sesuatu yang saya capai, saya juga lebih suka menilai orang dari apa yang mereka hasilkan.
Banyak sekali anak dari orang kaya dan berpendidikan yang punya akses ke segalanya yang kemudian tidak menjadi apa-apa (menurut ukuran masyarakat). Di sisi lain, orang blangsak lulusan universitas bergengsi yang dimasuki dengan beasiswa — yang kemudian juga tidak menghasilkan apa-apa selain gelar- juga banyak sekali.
Di mata saya akhirnya yang berprivilege maupun yang mencapai sebenarnya sama saja. Yang membedakan, bagi saya, adalah: apa yang mereka lakukan dengan bekal yang mereka punya itu? Apakah mereka membuat perubahan untuk banyak orang atau kembali hidup untuk diri sendiri?
Ini karena pembicaraan soal privilege biasanya berhenti pada pembahasan soal kesuksesan yang diukur dari kriteria umum: punya kondisi dari lahir yang memungkinkannya punya akses bebas hambatan pada pendidikan tinggi dan materi cukup. Padahal bagi saya “keunggulan” itu adalah ketika seseorang bisa bermanfaat untuk sebanyak mungkin orang, terlepas dari siapa dia dan latar belakangnya.
Dari sudut pandang ini, tentu saja bagi saya lulusan SD yang (misalnya) membuat taman baca yang mengubah sebuah desa adalah yang paling unggul (apakah ini jenis orang blangsak yang dicari?).
Privilege itu nyata. Ibarat lomba lari, privilege membuat kita berada di garis start berbeda. Sebagian kecil orang sudah berada jauh di depan padahal kita sedang menuju garis finish yang sama dalam waktu tempuh yang sama (terinspirasi dari sini).
Namun bagi saya privilege itu bukanlah ketidakadilan selama kita semua masih punya hak yang sama untuk ikut berlari (dan iya, kita punya).
Saya berhenti bertanya-tanya apakah seseorang berhasil karena privilege atau usaha mereka sendiri. Pertanyaan itu barangkali justru juga berakar dari cara pandang kita pada posisi dan proses kita sendiri.
Kita bisa belajar dari orang-orang yang punya privilege dan kita juga bisa belajar dari orang-orang berhasil yang memulai dengan “tangan kosong”.
Anak saya tidak punya privilege seperti anak-anak sekolah internasional tapi saya mengajarinya agar bisa berdiri sejajar dengan mereka, dengan cara kami. Agar ia punya karakter dan hal-hal yang sama yang memungkinkan ia punya akses serupa.
Tetapi setelah ia bisa berdiri sejajar, lalu apa? Tujuannya tentu saja bukan sekedar agar ia sejajar. Tujuan besar yang perlu kami capai kemudian adalah apa yang bisa ia lakukan dengan bekal tersebut untuk orang-orang yang tidak punya privilege (atau yang mengira tidak punya).

Comments