Kursi untuk Perempuan

Medium.com, 4 Februari 2020
Beda wahana, beda cerita.
Dalam jajaran-jajaran tinggi perusahaan, organisasi, hingga partai politik, saya sering mencari-cari sosok perempuan. Meski tak kenal, ada perasaan terwakili ketika melihat satu dua wajah perempuan di antara barisan pemimpin laki-laki.
Merasa terwakili karena saya sendiri enggan menempati posisi serupa (kerja kantoran pun saya malas). Tetapi di sisi lain saya tahu bahwa harus ada perempuan yang mau duduk di sanaBagi saya, perempuan harus ada di kursi-kursi pimpinan, apalagi penentu kebijakan di sebanyak mungkin tempat.
Sayangnya, memang tidak jarang kita mendengar bahwa kuota perempuan di banyak institusi susah terpenuhi karena tidak ada perempuan yang mau mengisi. Apalagi yang bersedia menjadi pimpinan. Kadang ketika pintu sudah terbentang lebar pun dan tinggal disambut, perempuan memilih untuk tidak mengambilnya.
Sebelum mencapai posisi puncak, perempuan sering lebih dulu mengundurkan diri, umumnya karena ingin fokus ke keluarga. Alasan yang tidak salah, tapi sungguh klise- tapi ya memang benar begitu — tapi tetap klise. Akhirnya kursi-kursi itu tetap diisi laki-laki yang lebih tak mungkin punya alasan fokus ke keluarga.
Kursi di Transportasi Massal
Namun kendaraan umum adalah semesta yang berbeda bagi kursi untuk perempuan. Di busway, commuterline, MRT, LRT, kursi-kursinya tentu saja lebih banyak diisi perempuan. Anggapan umum, perempuan dianggap prioritas kedua setelah golongan prioritas utama: penyandang disabilitas, lansia, wanita hamil, dan ibu dengan anak. Saya sering dikategorikan yang terakhir karena memang selalu membawa anak (biasanya sih anak saya saja yang duduk.

Sesungguhnya, begitu memasuki transportasi massal dan mencari kursi, saya agak kebingungan juga menempatkan diri. Apakah saya perlu merasa berhak dapat kursi hanya karena saya perempuan? Apakah saya mendapat kursi karena dianggap lebih lemah (lebih butuh duduk) dari pria dan dengan demikian saya mengakui kelemahan saya?
Di dunia transportasi massal ini mau tidak mau kita dengan cepat mengevaluasi sesama penumpang secara fisik. Apakah ia perempuan? Tua/muda? Tampak cukup kuat untuk berdiri tidak?
Dalam transportasi massal, jika kebetulan mendapat kursi, pria-pria muda duduk dengan cemas. Mereka yang sadar atau terpaksa sadar jadi melihat-lihat penumpang yang baru masuk setiap kali kereta berhenti. Apakah ada yang sekiranya akan mengambil alih kursi mereka? (dan biasanya sih ada) Jika kendaraan sedang ramai dan banyak perempuan di sekitarnya yang berdiri, mau tak mau si pria ini didesak untuk merasa bersalah jika tak memberikan tempat duduk.
Ada kalanya pria-pria muda dengan mudah memberikan kursi. Tapi ada saatnya juga mereka duduk tidur dan tak mau tahu. “Gue kalo udah dapet tempat duduk kadang nggak mau ngasih kursi. Kan sama-sama capek banget pulang kantor,” kata seorang teman pria yang tiap hari pulang pergi kantor dengan commuterline. Ia tidak salah, selama tidak ada penumpang prioritas yang memang lebih butuh kursi. Di sisi lain, sering saya merasa cukup sehat juga untuk berdiri, tapi terus ditanya apakah mau duduk setiap kali ada kursi kosong.
Namun ternyata saat sedang lelah dan ingin duduk, tapi tidak ada pria yang tampak mau memberikan tempat duduk, saya bisa jadi kesal sendiri. Ditambah lagi, saya kesal karena saya kesal. Ujung-ujungnya saya berpikir: Lho ngapain ya saya kesal? Seakan ketenangan saya sebagai perempuan di dalam angkutan massal bergantung pada kesediaan orang lain — pria — untuk memberikan kursinya untuk saya. Pikiran yang sebenarnya ganjil.
Mental merasa berhak — hanya karena menjadi perempuan — ini sebenarnya sedang coba saya netralkan. Saya sedang meniru sebagian kecil perempuan yang menolak dan merasa tidak butuh tempat duduk setiap kali ditawari kursi, apalagi jika ada yang tampak lebih butuh. Dalam hal ini, alasan rasional lebih membantu saya untuk merasa tenang saat berdiri bergelantungan di transportasi umum: agar perut saya tidak buncit karena terlalu banyak duduk.

Comments