Perjalanan yang Hilang
Setelah lama tak dijalani, perjalanan pulang pergi kantor yang kerap dirutuki itu ternyata dirindukan juga. Seorang teman yang bekerja dari rumah sejak pandemi berkata bahwa baginya, perjalanan dari rumah ke kantor adalah momen transisi dari satu ruang ke ruang lain. Dari rumah dan urusan domestik ke pekerjaan kantor. Dalam perjalanan itu, disadari atau tidak, kita mempersiapkan diri untuk menjadi diri yang lain.
Transisi ini tereduksi saat kita hanya perlu membuka laptop untuk melompat ke ruang kerja.
Perjalanan itu mungkin juga menjadi waktu untuk
berkontemplasi tanpa perlu merespons apapun. Sekadar duduk menyetir sambil
mendengarkan radio, mengendarai sepeda motor melintasi jalan-jalan tikus, atau
berdiri bergelantungan dalam kereta atau bus. Semua dalam diam. Bagi sebagian
orang lain, perjalanan ini mungkin juga menjadi satu-satunya waktu mereka bisa
menuntaskan membaca buku atau menonton serial favorit. Bisa jadi itu
satu-satunya jeda sebelum tenggelam dalam kubikal kantor atau kembali dalam bilik
dapur rumah.
Perjalanan Terpanjang
Beberapa waktu lalu kami sekeluarga menempuh perjalanan terpanjang yang pernah saya jalani, mungkin dalam seumur hidup. Perjalanan darat dan laut lintas Sumatra. Saya baru tahu diperlukan sekitar 20 jam jalan darat dari Pelabuhan Bakauheni ke Bengkulu kota. Dan itu baru separuh perjalanan. Setelah beberapa hari di Bengkulu, kami bertolak ke kerabat di Jambi dan Palembang. Perjalanan yang ditempuh setelah 2 tahun tidak pulang dan menghindari kemungkinan keramaian (atau larangan) mudik Lebaran yang akan datang.
Bukit Barisan |
Dalam mobil, kami memutar radio dan berjuta playlist Spotify. Saya juga membawa sebuah buku tebal dan bersiap dengan buku-buku digital di ponsel. Tetapi dalam sebagian besar perjalanan itu ternyata saya tidak sanggup membaca. Jalan berkelok-kelok naik turun membuat pusing jika memaksakan diri melihat deretan huruf.
Namun, ternyata saya menikmati belasan jam sekadar duduk diam melihat sekeliling sambil mendengarkan musik (saya tidak menyetir😁). Mungkin karena ini adalah jalur yang baru pertama kalinya saya tempuh, selalu ada hal baru dan menarik untuk ditengok. Jalur lintas Sumatra jauh berbeda dengan lintas non-tol Pantura yang ramai dan serba ada (saat ini Jalan Tol Trans Sumatra masih dalam tahap pembangunan).
Jalan lintas Lampung-Bengkulu yang melewati Bukit Barisan benar-benar dilingkupi hutan, lengkap dengan monyet-monyet yang duduk-duduk di jalan. Sebagian rumah penduduk masih berupa rumah panggung kayu, dengan anjing-anjing yang bebas berkeliaran, menjaga hewan ternak. Terdapat siger pada semua gapura perbatasan antarkabupaten di Lampung, kadang dengan aksara ulu/kaganga. Saya bahkan baru tahu ada Kampung Bali di Lampung. Di sana, rumah-rumah penduduk tampak megah dengan pura di halaman.
Tepian Sungai Batanghari, Jambi |
Dalam perjalanan itu saya merasa tidak perlu membaca buku. Saya sedang membaca yang lain. Barangkali juga merekamnya dalam ingatan dan hati. Tanpa saya sadari, barangkali saya juga sedang berkontemplasi. Menikmati momen saat saya tidak perlu melakukan apa-apa. Hal yang anehnya bisa juga saya terima karena sebenarnya saya orang yang susah diajak santai 😏.
Dua puluh jam Bakauheni-Bengkulu, 7 jam Bengkulu—Jambi, 10 jam Jambi—Palembang, 8 jam kembali ke Jawa. Buang waktu dan energi, kata orang. Tapi saya merasa ini perjalanan yang sedang saya, kami butuhkan. Fisik memang lelah, tapi hati kembali penuh.
Saat perjalanan-perjalanan hilang terenggut pandemi, barangkali kita tetap perlu melakukan perjalanan sendiri dengan berbagai cara. Sekadar berjalan kaki keliling kompleks di pagi/sore hari, atau perjalanan ke dalam buku-buku dan ruang-ruang dalam diri. Atau sesederhana belajar menerima saat-saat untuk tidak melakukan apa-apa.
Comments
Post a Comment