Features


Nursyda Syam
Menghidupkan Aksara, Mengubah Hidup

Ia percaya, mengajak orang berteman dengan aksara adalah cara untuk memulai perubahan baik.

Femina No. 04, 21- 27 Januari 2017
Terinspirasi sosok sang ayah, wartawan sederhana yang berwawasan luas karena gemar membaca, Nursyda Syam (37) ingin agar lebih banyak orang yang hidupnya berubah dan tercerahkan dengan membaca. Pada 2015, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Nusa Tenggara Barat mencatat bahwa jumlah kunjungan baru mencapai 966.015 orang per tahun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk NTB yang berjumlah sekitar 4,9 juta jiwa, baru sekitar 20 persen orang yang berkunjung ke perpustakaan. Bermula dari rumahnya di Dusun Prawira, Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, Nursyida menebarkan budaya baru melalui Klub Baca Perempuan.

Diajak Membolos
Jika orang tua lain mewanti-wanti anaknya untuk tidak membolos sekolah, ayah Nursyda, Syamsudin Karim (alm.), justru sebaliknya. Di hari tertentu, sang ayah justru mencari-cari alasan agar putri kesayangannya itu bisa keluar dari kelas dan ikut pergi bersamanya. Sebagai wartawan senior koran Bali Post, Syamsudin tak jarang berkesempatan mewawancarai tokoh penting dan menarik, mulai dari Ali Alatas hingga Nike Ardila.
Dengan mengajak putrinya bertemu mereka, sang ayah ingin agar Nursyda kecil belajar langsung dan terinspirasi kisah hidup mereka. Pengalaman yang membekas dalam ingatan dan hati Ida—panggilan akrab Nursyda—itu kemudian membuatnya tergerak menempuh jalan serupa saat kuliah, menjadi wartawan.
            Bermula dari media kampus, Ida menjadi kontributor untuk koran Lombok Utara dan Fajar Bali setelah lulus kuliah. Hingga menjelang persalinan anak pertama, wanita yang menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta ini masih bekerja di pos kriminal Lativi (kini TV One). Menggunakan ‘kacamata’ jurnalis, Ida mulai melihat bahwa sebagian besar persoalan negeri ini bermula dari keterbatasan akses terhadap pendidikan berkualitas, terutama buku dan semangat membaca.
            Ida melihat bahwa banyak ibu yang sebenarnya punya banyak waktu luang tetapi waktunya hanya habis untuk  membicarakan hal-hal seperti sinetron. Jika diarahkan untuk membaca, menurut Ida, tentu akan jauh lebih bermanfaat. “Saya yakin jika disediakan buku, mereka akan senang membaca. Selama ini hanya terhambat kemampuan ekonomi dalam mengakses bacaan berkualitas,” tukas Ida.
            Nursyda sendiri merasa beruntung karena meski tinggal di pelosok Lombok, ia tetap bisa mengenal pemikiran-pemikiran tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Benazir Bhutto, Mustofa Bisri, Quraish Shihab, dan Emha Ainun Najib lewat buku-buku koleksi ayahnya,. “Ayah juga tak segan ‘menitipkan’ saya pada rekan lain yang berbeda kepercayaan agar secara tak langsung saya belajar tentang keberagaman,” ujar wanita yang lahir di Dusun Jambi Anom, Lombok Utara ini.
            Ida mengaku, ayahnya juga adalah sosok yang paling memahaminya bahkan saat dirinya sendiri tidak mengerti apa yang ia lakukan. Situasi ini terjadi saat rasa ingin tahu untuk mempelajari berbagai bidang ilmu yang berbeda membuat Ida empat kali berpindah kampus dan jurusan, dari sastra Indonesia, perhotelan, manajemen perusahaan, hingga bahasa Jepang. Setelah 13 tahun mondar mandir di bangku kuliah, Nursyida lulus dari jurusan Bahasa Jepang PPKP Universitas Negeri Yogyakarta pada 2003. “Hikmahnya, saya jadi punya banyak sahabat dari berbagai kampus berbeda yang masih menjalin hubungan baik hingga sekarang,” ungkapnya.
            .
Membaca: Kegiatan yang Mengubah Hidup
Sosok ayah yang meninggalkan kesan mendalam membuat Ida memimpikan agar ada lebih banyak orang yang tercerahkan lewat membaca. Setelah meninggal, sang ayah, wartawan yang berintegritas dan tidak pernah  mau menerima imbalan apapun dari narasumber, tidak meninggalkan warisan selain buku dan mobil bekas yang digunakan Ida untuk gerakannya.
“Dalam Islam, iqro atau membaca adalah perintah pertama dan diulang 82 kali dalam Quran. Saya percaya bahwa kebiasaan membaca adalah solusi bagi berbagai masalah di Indonesia, mulai dari korupsi hingga kekerasan terhadap anak,” ungkap wanita yang saat kuliah aktif dalam kegiatan pecinta alam dan musik kampus ini.
            Setelah lulus, Ida memutuskan pulang ke rumah, menemani ibunya yang sakit di Prawira, Lombok Utara. Meski demkian, saat itu ia mengaku rindu suasana Yogyakarta, kota tempat ia menempuh pendidikan tinggi, yang sarat dengan orang kreatif. “Di mana-mana saya dapat menemukan orang yang sedang membaca. Saya ingin menciptakan suasana serupa di desa saya,” ungkapnya.
            Gerakan Ida bermula pada 2006 di Lombok Timur. Bersama empat ibu rumah tangga yang suka membaca,  Nining, Vita, Eka, dan Cicik, Ida menggerakkan Klub Baca Perempuan yang mengajak warga perempuan setempat untuk membaca dan mendiskusikan buku, hingga membuat seminar guru. Kebetulan saat itu Laskar Pelangi adalah buku yang sedang banyak dibicarakan. Namun kesulitan Ida yang bukan warga lokal untuk beradaptasi dengan warga setempat membuat gerakan di Lombok Timur ini berakhir untuk kemudian dimulai kembali di Lombok Utara.
            Di tahun yang sama, Ida  kemudian menikah dengan Lalu Badrul Islam, seorang wirausaha yang sangat mendukung gerakan Ida. Keduanya menikah tepat pada Hari Buku Internasional, 23 April 2006, dengan mahar sebuah buku berjudul Fiqh Wanita. Keduanya kemudian memulai kembali gerakan Klub Baca Perempuan yang bermula dengan 200 buku dalam satu rak yang ditempatkan di depan usaha binatu rumahannya.
“Hal tersulit di masa awal adalah prasangka orang. Mereka justru was-was saat buku yang saya tempatkan di depan rumah tidak dijual ataupun disewakan. Hal yang gratis justru mengundang tanda tanya. Ada yang menyangka saya ingin mencalonkan diri menjadi kepala desa atau bupati,” ungkap ibu dari Baiq Keisha Theana Rosalba dan Lalu Muhammad Arai Lintang Hirata ini. Meyakinkan diri sendiri menjadi tantangan tersendiri di tengah suara sumbang.
            Bersama suaminya, Ida mengkampanyekan gerakan membaca dengan mengangkat duta baca, yaitu tokoh-tokoh inspiratif setempat yang hidupnya berubah karena membaca. Ida menceritakan tentang Bapak Suanto di Dusun Lendang Galuh yang tadinya sama sekali tidak percaya diri, tetapi kemudian menjadi kepala desa dan tokoh yang didengarkan karena banyak membaca.
Sementara untuk anak-anak, Ida membuka PAUD & TK serta Sekolah Alam Anak Negeri yang dibuka di sore hari sejak 2011. “Di sekolah alam, pada sore hari, kami ingin anak-anak punya kegiatan yang terarah dan bermanfaat,” tutur Ida.
Menulis, perkusi, menari, dan belajar bahasa Inggris adalah beberapa kegiatan yang digalakkan di sekolah ini. Ida pun kerap mengundang kaum profesional untuk hadir dan menceritakan profesi mereka untuk menginspirasi anak agar berani bermimpi besar. Bahkan tak jarang ada kelompok atau siswa dari sekolah di luar negeri seperti Australia dan Singapura yang datang untuk berbagi.
 Sementara untuk ibu-ibu, tiap Minggu pagi, Klub Baca Perempuan menggelar kegiatan bernama Silaq Batur di Lapangan Supersemar, Tanjung, Lombok Utara. Silaq dalam bahasa setempat berarti mari. Secara umum, kegiatan ini bermakna: mari kawan, menulis dan bertutur. “Penyakit kronis bermula dari kurang bergerak. Tiap Minggu pagi kami mengajak ibu-ibu untuk olahraga, sementara anak-anak diajak membaca buku,” ujar wanita yang saat kuliah mengaku sangat tomboi ini.
           
Menciptakan Agen-agen Perubahan Baru
Klub Baca Perempuan telah menyentuh hidup banyak orang yang menjadikan literasi sebagai pencerah dan pengubah. Keisha, anak pertama Ida sendiri membawa buku dari taman baca untuk dipinjamkan pada teman-temannya di sekolah.  Suaminya yang dulu bukanlah seorang pembaca kini punya jam membaca yang lebih banyak daripada Ida.
Kini Klub Baca Perempuan telah berdiri di 24 tempat berbeda di Lombok Utara, terutama di daerah pelosok. “Saya sebenarnya hanya orang yang beruntung karena bertemu dengan orang-orang yang juga bersemangat  mewujudkan mimpi agar lebih banyak orang yang gemar membaca,” ujarnya.
Menurut Ida, klub baca sendiri sebenarnya tidak harus selalu berbentuk bangunan. Perpustakaan bisa berbentuk berugak (balai-balai atau saung dalam bahasa Lombok) hingga berada berdampingan sebagai bagian dari posyandu. Klub-klub baca ini digerakkan oleh relawan setempat yang meminta sendiri untuk bergabung.
Dukungan juga terus mengalir dari rekan-rekan Ida dan pihak lain. Awalnya, kegiatan ini dimulai dari 200 buku, kini Klub Baca Perempuan telah memiliki sekitar 17.000 buku yang terdiri dari berbagai genre dan untuk semua usia. Saat dihubungi femina, Nursyida bersama sekelompok relawan yang adalah ibu rumah tangga sedang bersiap menuju salah satu cabang untuk merotasi buku-buku. Selain koleksi pribadi dan donasi perorangan, buku-buku ini juga berasal dari perusahaan atau penerbit. Bahkan suatu kali, sebuah persewaan buku yang tutup memberikan seluruh bukunya yang berjumlah 5000 buku untuk Klub Baca Perempuan. Sebelumnya buku-buku ini disortir terlebih dulu untuk memastikan bacaan ini tidak mengandung SARA, kekerasan, dan pornografi.
            Jauh sebelum gerakannya itu berwujud nyata, setelah melahirkan anak pertamanya, Nursyda sempat menulis sebuah buku tentang Slamet Suryawan, seorang aktivis lingkungan yang membelah bukit dengan cangkul demi mengalirkan air untuk mengatasi kekeringan di desanya di Lombok Timur. Saat itu, Slamet berujar sepintas lalu pada Ida, “Lima tahun lagi kita berjumpa di kursi Kick Andy ya!” Sebuah celetukan sekaligus doa yang ternyata menjadi kenyataan. Lima tahun kemudian, keduanya benar-benar berada dalam episode yang sama sebagai dua penggerak dari Lombok yang dikunjungi Andy Noya.
            Oktober lalu, Nursyda meraih penghargaan Frans Seda Award di bidang pendidikan setelah sederet penghargaan lain seperti Anugerah Jasadarma Pustaloka. “Penghargaan-penghargaan ini saya anggap sebagai bonus dan kesempatan untuk bertemu penggerak lain yang perjuangannya lebih berat dari saya,” ucapnya rendah hati. Baginya, perubahan hidup warga setelah membaca menjadi budaya lah yang terpenting. “Orang sering mengira membaca hanya pekerjaan orang terpelajar. Tapi justru dengan membaca orang akan bisa mencari cara kreatif untuk keluar dari kemiskinan,” ia menegaskan.
            Ia juga percaya bahwa minat baca orang Indonesia sebenarnya tidak rendah. Menurutnya, orang tidak membaca karena belum tahu manfaat kegiatan tersebut. Mimpinya adalah agar gerakan gemar membaca tidak sekedar menjadi slogan, tapi benar-benar menjadi masif di Lombok dan terlebih Indonesia. Tiga Desember 2016 lalu, Klub Baca Perempuan baru saja memperbarui nota kesepahaman tentang gerakan gemar membaca yang ditandatangani Bupati Lombok Utara, Dr. H. Najmul Akhyar, SH., MH. Ia berharap selain  menjadi gerakan keluarga membaca, literasi diharapkan dapat menjadi ruh di sekolah-sekolah.  
Jika ditanya mengapa wanita yang menjadi perhatian utamanya sehingga memulai Klub Baca Perempuan, Nursyda menjawab, “Menghebatkan wanita berarti mendidik sebuah keluarga, dan akhirnya sebuah negara. Bagaimanapun, ibu adalah tempat anak pertama bertanya. Apa jadinya jika para ibu tidak cerdas?”

Lucia Priandarini (Kontributor-Malang)

Foto: dok. Pribadi
***

Femina, No. 50, 2016

Femina, 2015

Femina, 2015