Benteng Terakhir

Kebahagiaan dalam hidup saya pernah terbuat dari perjalanan singkat ke toko buku. Setiap kali mendengar mendiang papa saya berkata, “Pilih dua buku yang kamu suka,”  saya melompat kegirangan mencari Lima Sekawan atau Lupus, Claudine di St. Clare (Enid Blyton), atau satu lagi seri Doraemon. Buku-buku ini terus berlipat ganda hingga menjadi deretan buku, melengkapi rak-rak lain yang sudah penuh buku Papa. Setiap kali pulang dari toko buku, dalam ransel di atas motor tuanya, Papa membawa buku-buku ini untuk disampul tebal rapi di toko fotokopi. Ia melakukannya seperti ritual sakral yang tidak boleh terlewat.   

Pada masa yang sama, Kamis pernah menjadi hari yang paling membahagiakan setelah Minggu. Dalam seragam putih merah, tiap Kamis saya bersorak gembira menengok Majalah Bobo diselipkan di bawah pintu rumah. Saya juga ingat pada sosok Bu Ursula, seorang ibu yang berkeliling dari kelas ke kelas saat saya SD, menjajakan Majalah Ami. Juga Majalah Putera Harapan yang dibelikan Papa dari loper koran warung pecel tempat kami sarapan pada Minggu pagi. 


Kadang saya lupa, membaca majalah saja bisa terasa semenakjubkan itu.


Ibu saya juga pencipta kegembiraan. Hingga kami remaja, ia rajin membelikan saya dan kakak saya berset-set buku-buku tebal mahal yang ia beli dengan mencicil tiap bulan. Sebulan sekali, seorang ibu lanjut usia bertandang ke rumah, mengambil cicilan buku-buku ini. Saya ingat, ia tidak ingin disuguhi apa-apa selain air mineral. 


Mulanya ia membawakan satu set buku cerita bersampul tebal dengan gambar-gambar yang menghangatkan: seri Warga Hutan, Tony Wolf. Bahkan saat saya belum bisa membaca dan belum bisa memahami saat didongengi, saya bisa berlama-lama melihat-lihat gambarnya-gambarnya, membayangkan hidup seperti warga hutan, tinggal di dalam sepatu kayu raksasa. 


Setelah cicilan satu set buku selesai, Mama akan mencicil set buku lain. Ensiklopedia demi ensiklopedia. Saat kelas satu SD, sebuah ensiklopedia tentang luar angkasa dan rasi bintang saya baca ulang hampir tiap hari. Seperti banyak anak lain, kisah dan gambar bentang langit gelap yang penuh misteri dalam buku ini sempat membuat saya bercita-cita menjadi astronot (atau astronom?). 


Kedua orang tua saya tidak pernah menyuruh saya membaca atau belajar. Saya hanya melihat mereka menghabiskan waktu lama sekadar untuk membaca. Hingga saat kelas 1 SMP, saya mendapati diri saya meraih salah satu buku tebal dari rak buku Papa, Laut Biru, Langit Biru, Ajip Rosidi. Seketika saya baru menyadari bahwa buku-buku orang dewasa itu bisa juga saya baca. Untuk pertama kalinya, saya menemukan dunia dan kesenangan baru dalam buku-buku tanpa gambar itu. 


Pada masa kuliah, di sekitar Universitas Indonesia masih ada beberapa kafe buku dan rental buku (sekarang sudah berubah menjadi apartemen). Tidak jarang, selepas kuliah saya tidak sengaja berjumpa beberapa teman yang duduk tenang membaca demi kesenangan. Masa kuliah ini juga periode saat saya gila-gilanya membaca. 


Saya ingat, papa saya mengirim sebuah rak buku empat tingkat yang terbuat dari kayu jati. Rak itu ia cat dan pelitur sendiri, kemudian ia kirim dari Malang ke Depok. Harga ongkos kirimnya tentu saja tidak masuk akal. Saat itu, rak-rak buku buatan Cina yang mudah rusak belum banyak tersedia. 


Masih Perlukah Membaca Buku?

Suatu hari pada masa ini, seorang pengemudi taksi bertanya, “Emang masih perlu Mbak ke perpustakaan? Emang yang dicari nggak ada di internet?” Saat itu ia sedang mengantar saya ke Perpustakaan Nasional. Saya tertegun. Di tengah kecepatan pencarian informasi hanya dengan satu klik dan pemaparan sebuah topik maksimal dalam video satu menit, membaca buku memang terdengar seperti kegiatan mustahil yang menghabiskan terlalu banyak waktu.


Namun, pertanyaan si pengemudi taksi itu di telinga saya terdengar seperti sebuah pemusnahan terhadap semua kepingan yang menyusun diri dan kebahagiaan saya sebagai manusia. Dan barangkali juga yang membantu saya bertahan hidup. 


Healing dan trauma adalah kata yang sepuluh tahun lalu belum familiar. Tetapi saya ingat betul, pada hari-hari buruk saat saya tidak tahu cara menenangkan diri, saya melangkahkan kaki ke rental buku, meminjam 3-4 buku, lalu meringkuk membaca di kamar. Kesenangan sederhana selain bermain ke rumah teman atau main lompat tali. Kemudian, perlahan segalanya tidak terasa begitu buruk dan saya tahu apa yang perlu saya lakukan. Ada yang bilang bahwa membaca adalah upaya kembali berdiskusi dengan diri sendiri (yang kini seringkali kita hindari dan distraksi dengan -antara lain- media sosial).


Jika kita lupa apa yang dikerjakan manusia sebelum scrolling media sosial pada setiap jeda, ini saatnya mengingat bahwa kebahagiaan tanpa kerumitan pernah terbuat dari lembaran buku dan banyak hal sederhana. Setidaknya bagi generasi saya. 


Di tengah dunia yang serba cepat serta informasi yang melimpah tapi hanya sedikit yang benar-benar kita butuhkan, perpustakaan dan buku, bagi saya, barangkali bukan hanya romantisme masa lalu, tapi juga adalah benteng terakhir. Benteng terakhir kewaspadaan dan mungkin juga kewarasan. 


Ada masa saat saya enggan membaca dan sepertinya sudah mulai mengalami brain rot, penurunan kemampuan berpikir karena terlalu banyak mengonsumsi konten digital yang - sebut saja- tidak selalu diperlukan. Saya alergi membaca narasi panjang, enggan menganalisa dan memahami. Oleh karenanya, saya yakin bahwa membaca juga barangkali adalah tindakan perlawanan. Melawan kemalasan dan mungkin juga hal-hal yang lebih besar. 


Ada saat kita mungkin terheran-heran menyadari bahwa ternyata suara dan pendapat  kita adalah minoritas, berseberangan dengan sebagian besar orang. Bagaimana mungkin dengan semua data itu (meski katanya tidak ada fakta, hanya ada interpretasi), banyak orang yang mengambil kesimpulan yang berkebalikan? Membingungkan, membuat frustasi, sekaligus menggemaskan. Membuat kita merasa sia-sia mencari tahu, atau justru semakin tidak ingin berhenti “membaca.” Saya ingin memelihara harapan dengan memilih yang kedua. Membaca membuat kita memilih atau tidak memilih sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 


Jika kita merasa ada yang hilang dari hidup kita, barangkali yang kita butuhkan adalah duduk diam dan membaca. Membaca apa saja yang menarik dan sesuai kebutuhan. Kembali menyusun labirin buku fisik maupun digital, seperti benteng yang melindungi (mungkin juga melindungi dari diri sendiri).  


Reading is resistance. Bisa jadi, ini memang benar-benar adalah benteng terakhir. 




Comments