Cerita Pendek
DALAM GELAP
Ketika melihat para tetangga duduk-duduk di teras rumah mereka sore itu, tahulah Sonya bahwa listrik belum juga menyala. Manusia menjadi lebih manusia setiap kali mesin-mesin yang mereka punya tak lagi menyala. Televisi tak lagi bisa diajak bertatapan. Telepon genggam yang baterainya kosong, ditinggalkan di sudut meja. Tak ada yang betah berada dalam rumah tanpa semilir pendingin buatan, apalagi di sore seterik itu.
Yang tersisa tinggal yang nyata. Obrolan tentang pilihan sekolah untuk anak, atau sayup-sayup bunyi lagu dari radio berbaterai gemuk susun dua. Seperti radio kuning Sonya dulu yang sampai sekarang masih disimpannya di sudut lemari pakaian. Barangkali benda itu kini hanya dimiliki para pembantu rumah tangga atau satpam perumahan.
Menurut pemberitahuan, hari ini listrik di area rumah Sonya hanya akan dipadamkan selama lima jam. Jadi harusnya semua sudah normal sejak satu jam lalu. Sonya kesal. Mestinya ia lembur saja di kantor atau menginap di kos teman. Tidak biasanya ia percaya begitu saja pada info pelayanan publik.
Langkah Sonya jadi pendek-pendek. Sambil menghela napas, ia mengibaskan punggung kemejanya yang basah oleh keringat. Sebulan terakhir, ia meninggalkan mobil mungilnya di garasi, lalu berangkat dan pulang kantor dengan berdesakan di kereta. Di tangan kirinya, ada tentengan tambahan. Tas merah kecil berisi kotak bekal makan siang. Ia tak berkomentar ketika teman-teman kantornya membicarakan menu baru di kafe favoritnya. Wanita itu tak pernah lagi ikut ke sana saat jam makan siang.
“Kukira kau sudah pindah rumah,” sebuah seruan mengejutkan Sonya. Ia menilik dari sela-sela jeruji pagar. Dilihatnya Lamria berdiri dari kursi di terasnya, berkacak pinggang sambil memicingkan mata. Antara meminta penjelasan, atau silau terkena sinar matahari. Sonya senang ada yang membuatnya tiba lebih lambat ke rumah. Tapi ia tak suka dengan topik pembicaraan Lamria.
Tetangganya itu menghampiri gerbang, tapi tidak tampak akan membuka gemboknya. Sonya agak lega. Hanya jawaban singkat, setelah itu ia akan pergi. “Yah, ternyata perkiraan meleset. Kabel listriknya belum juga dipasang. Kami belum tahu kapan akan pindah ke rumah itu,” kata Sonya. “Oh…” Lamria mengangguk. Sonya pamit setelah mereka sejenak saling lontar pendapat soal listrik dan kredit perumahan.
Sesungguhnya rumah tipe 50 yang tadinya akan dihuni Sonya telah lama siap. Sudah ada lebih dari 20 keluarga yang tinggal di sekitarnya. Sonya bahkan telah membeli pagar kayu bercat putih setinggi pinggang untuk ditempatkan di depannya. Namun sejak peristiwa itu, pembayaran uang muka yang mulanya akan dicicil tiga kali, terhenti di kali kedua.
***
Andes terkejut saat mendapati Sonya sudah duduk di teras, melepas sepatunya. “Kapan kau membuka pintu pagar?” tanya Andes kebingungan. Slang di tangannya mengalirkan air sia-sia ke tanah. “Saat kau memasangkan mulut slang ke keran air,” jawab Sonya datar. Pikirannya sedang menimbang apakah mandi dalam remang cahaya lilin akan jadi menenangkan atau mengesalkan.
Langit sudah tak menyisakan warna lembayung saat Sonya menutup rambutnya yang basah dengan handuk. Ia hendak membuka pintu belakang saat gagang pintu itu lepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Ini untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini bunyinya terdengar lebih nyaring dari biasanya, lantaran tak tertimbun suara TV atau musik.
Andes datang tergopoh-gopoh setelah sempat mengerang ketika kakinya terantuk kaki meja. “Maaf, besok kuperbaiki,” katanya. Sonya dapat melihat pantulan api lilin yang bergoyang pada kacamata suaminya itu. “Tak apa. Aku lupa menahannya.” Untuk kali keseribu, Sonya berpikir bahwa mereka memang sudah seharusnya pindah dari rumah sewaan itu. Semestinya akhir bulan ini. Tapi ternyata tidak jadi.
Sejak menikah, Sonya merelakan beberapa hal tidak berjalan sesuai skenario di benaknya. Tadinya ia berharap rumahnya dapat menjadi tempat teman-temannya dan kawan Andes berkumpul di akhir pekan. Nyatanya, mereka hanya mampu menyewa rumah sekitar satu kilometer dari stasiun terujung jalur rel kereta Jakarta – Serpong. Sungguh merepotkan mengundang teman bertandang.
Ruang tamunya menjadi satu dengan ruang TV. Meja makan kecil diletakkan di sudut ruangan, berdesakan dengan lemari es dan dispenser. Sepetak dapur dibuat seadanya di luar pintu belakang. Tak ada gudang. Mereka menyimpan barang-barang yang jarang digunakan dalam sebuah koper besar. Disimpan di atas lemari pakaian. Buku dan benda-benda lain yang tak muat disimpan di rak atau laci mana pun, mereka tumpuk dalam kardus di sudut ruangan. Setiap kali melihatnya, Sonya jadi semakin semangat menabung untuk keluar dari rumah itu.
Untung, satu-satunya tamu yang pernah mendatangi mereka di luar hari raya adalah agen asuransi kesehatan Andes. Ia datang saat pintu depan terbuka. Sonya sedang santai menonton kuis sambil mengangkat kaki. Kuis yang tidak terlalu menarik. Tapi toh, Sonya tetap agak kesal karena tergusur.
Di bulan ke-24, setelah ratusan hari mengencangkan ikat pinggang, akhirnya ia dan Andes punya cukup uang untuk membayar uang muka sebuah rumah, sekitar 5 km dari rumah sewaan itu. Rumah bercat kuning itu sedikit lebih luas dari rumah yang kini mereka tinggali. Sayangnya, Andes jadi tak perlu lagi menyiram tanaman. Rumah itu nyaris tak menyisakan tanah untuk ditanami. Harganya yang miring, memaksa mereka untuk tidak pindah ke kompleks lain.
***
Sonya ingin bertingkah biasa. Membawa piringnya ke depan TV, lalu makan sambil bersila. Setidaknya itu yang dilakukannya sebulan terakhir. Tapi gelap memaksanya duduk bersama Andes di meja makan persegi. Saat benda itu datang, Sonya sempat menduga mereka salah membeli meja belajar untuk siswa SD. Kini, ia menyendok makanan dengan berhati-hati agar sikunya tak menyenggol siku Andes.
Tak ada suara selain denting sendok beradu dengan piring. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sonya begitu membenci sepi. Kesunyian kadang ditakuti lantaran lebih lantang meneriakkan kejujuran. Sonya enggan membuka mulutnya untuk percakapan. Ia khawatir bicara terlalu jujur. Perutnya baru terisi seperempatnya, tapi Sonya sudah membawa piringnya ke tempat cuci. Andes mendongak, menatapnya. Sonya mencuci piringnya, memunggungi Andes.
Tak ada yang lebih diinginkannya selain bersembunyi di balik laptopnya, sambil memasang earphone. Seperti malam-malam dalam sebulan terakhir. Ia begitu menyesal tak mengisi ulang baterainya setelah mengetik cerita pendek di kafe, akhir pekan lalu. Telepon genggamnya pun sudah mati sejak dalam perjalanan pulang. Tak ada yang bisa digunakannya agar tampak sibuk. Membaca buku, mungkin. Tapi apa enaknya membaca novel tanpa merebahkan diri di tempat tidur?
Ia beringsut menyeret sandalnya ke kamar. Terakhir ia tidur pukul setengah delapan malam adalah saat ia terkena gejala tipus, berbulan-bulan lalu. Sedetik Sonya merasa bodoh tak punya alasan rasional untuk tidur sesore itu. Menghindari suaminya. Ia makin frustasi ketika mengulang alasan itu untuk didengarnya sendiri.
Dalam gelap, Sonya mereka ulang kejadian ketika semuanya bermula. Sore itu, saat hendak mengambil uang untuk membayar parkir, ia baru menyadari bahwa dompet kecilnya tak lagi ada di dalam tas. Setengah jam Andes mencari dompet itu di seluruh penjuru rumah. Sonya sudah menduga Andes tak menemukannya. Sonya masih ingat betul ia sudah memasukkan benda itu ke dalam tasnya, setelah sarapan.
Ia juga menentengnya saat jam makan siang, lalu menaruhnya kembali ke dalam tas. Kemungkinannya, benda itu terjatuh saat ia membeli bensin. Setelah memastikan bahwa dompet itu tidak tertinggal juga di meja kerjanya, buru-buru Sonya menghubungi bank yang mengeluarkan kartu debit dan kreditnya.
“Tidak ada transaksi dua bulan terakhir,” jawabnya yakin, ketika petugas menanyakan tanggal transaksi terakhirnya. Selain untuk membeli tiket pesawat dan mendapat diskon nonton di XXI, Sonya tak pernah menggunakan kartu kreditnya. “Tapi dalam catatan kami ada, Bu,” kata suara di ujung sana. Jantung Sonya serasa terlempar ke udara. Mungkinkah pencuri dompetnya bergerak secepat itu? “Atas nama Bapak Andes Putra, penarikan tunai…” ujar suara itu lagi. “Oh…” Sonya bingung memutuskan antara harus merasa lega atau di awal kekesalan. “Iya, benar. Itu suami saya,” Sonya merasakan pening di kepalanya. Tubuhnya lemas.
Andes tak pernah mengajukan aplikasi kartu kredit. Kartu yang digunakannya adalah kartu turunan dari kartu kreditnya. Bank memberikannya cuma-cuma. Sonya memindahtangankan kartu itu pada Andes tanpa mengharap suaminya itu menggunakannya. Aneh memang. Tapi Andes memang sama sekali bukan tipe orang yang berprinsip “senang sekarang, bayar pikir nanti.” “Untuk jaga-jaga,” Sonya masih ingat kalimat yang dikatakannya saat memberikan kartu itu pada Andes. Entah berjaga dari apa.
Rincian tagihan datang sekitar sepuluh hari setelah dompetnya hilang. Jumlahnya melebihi perkiraan Sonya. Gajinya sebulan hanya sepertiga dari nominal yang tertera. Seketika napasnya terasa berat.
Siang itu ia langsung menelepon Andes untuk bertanya, untuk menghakimi. Pria itu tak berhenti meminta maaf dan berjanji segera melunasi utangnya. Sonya sangsi. Andes tak akan mengambil dana itu jika tidak benar-benar terjepit. Bagaimana ia akan mengembalikan uang yang belum pernah ia punya? Apalagi jika ia belum berhasil keluar dari situasinya sekarang.
Malamnya, Sonya meringkuk di ujung tempat tidur. Mendengarkan cerita Andes tentang seorang klien yang menipunya. Andes bersama rekannya telah menyelesaikan sebuah web bernilai puluhan juta. Namun sang klien mangkir dan menghilang tanpa jejak. Sementara rekan Andes, sedang menunggu-nunggu hasil proyek itu untuk anaknya yang akan menjalani operasi.
Sonya ingat, malam itu ia belum sanggup bersimpati. Baik pada Andes, maupun pada rekannya. Wanita itu kehilangan dompet persis setelah ia mengambil uang untuk belanja bulanan. Tak ada apapun di kulkas. Sementara gajinya baru akan masuk 20 hari kemudian. Dengan cepat ia memangkas semua pengeluaran yang bisa dihemat.
Dengan mata sembap, esok harinya ia menarik hampir seluruh tabungan mereka selama 2 tahun, yang tadinya akan dijadikan uang muka rumah. Andes sebenarnya berkeras membayar utang itu sendiri, meski belum tahu kapan. Tapi Sonya tak ingin mereka harus membayar bunga dari bunga utang. Bulan depan, ia berharap semua sudah lunas.
Sonya memutar ulang semua di kepalanya. Matanya sama sekali tak bisa terpejam. Andes sudah ikut masuk ke balik selimut, seperempat jam lalu. Kini Sonya bisa mendengar tarikan napasnya yang teratur. Tanda ia sudah terlelap.
Ketika jam dinding di ruang TV berdentang sepuluh kali, Sonya memutuskan untuk menyelinap keluar kamar. Dinyalakannya lilin merah dengan lilitan pita di atas meja makan. Lilitan pita? Sonya baru menyadari, lilin itu adalah sisa peringatan hari pernikahan mereka yang kedua, Januari lalu.
Saat itu Andes menggelar tikar di lantai atas. Sebuah tempat terbuka untuk menjemur pakaian. Lilin itu tentu saja berulang kali mati tertiup angin. Mereka memutuskan makan sambil ngobrol dalam gelap, lalu berbaring menatap langit. Begitu jauhnya rumah sewaan itu dari hiruk pikuk kendaraan ibukota, hingga mereka masih bisa melihat bintang. Andes memasakkan sate lilit khas Bali dan tumpeng nasi kuning dalam ukuran mini. Tidak romantis, bahkan aneh, tapi Sonya suka.
Sonya tersenyum dalam remang cahaya. Didekatkannya lilin pada jajaran foto-foto mereka di atas bufet. Di paling kiri, ada foto mereka di halaman sekolah, berpakaian putih – abu-abu. Andes si ketua OSIS. Sedangkan Sonya tak aktif berorganisasi. Ia justru sering bolos karena ikut kejuaraan renang di luar kota. Mereka berdiri bersebelahan, malu-malu.
Di bagian tengah, Sonya memandangi fotonya sendiri. Rambutnya masih di atas bahu. Rok terusan bermotif batik mega mendung itu kini sudah tak muat di pinggangnya. Ia sedang berdiri di sebelah sebuah rangkaian bunga setinggi setengah meter di meja kantornya.
Pipinya bersemu merah. Ia tertawa, bukan lagi tersenyum. Andes mengirim kejutan itu ke kantor di tahun pertama hari ulangtahun pernikahan mereka. Teman-teman sekantornya seketika berteriak heboh ketika benda itu datang.
Ada sepucuk amplop berisi sehelai surat di dalamnya. Ternyata puisi. Teman-temannya berebutan ingin membaca, betapapun Sonya setengah mati ingin menyembunyikannya. Lobi kantor riuh oleh siulan saat Andes datang menjemput Sonya, sorenya. Sejak itu, Andes menjadi ‘idola’ di kantor. Sonya tersenyum-senyum sendiri saat meletakkan pigura itu kembali.
Di sebelah bufet, ada TV pemberian ayah Sonya. “Andes bilang kamu bisa gila kalau tidak ada TV,” ujar ayahnya saat menyuruh Andes membawa TV itu masuk ke rumah. Sonya tertawa sendirian, mengenang dalam gelap. Jika sedang tidak mengajar renang, di akhir pekan Sonya memang hanya bermalas-malasan menonton Fox Movie di TV.
Sonya beranjak mendekatkan lilin itu ke dalam lemari pendingin, berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan kudapan. Ada sepanci sop ayam buatan Andes, sisa makan malam tadi. Salah satu dari sekian banyak menu racikannya yang jadi favorit Sonya. Meski isinya tak sebanyak dulu, susunan bahan makanan dalam kulkas itu tetap sama.
Andes melabeli hampir semuanya. Pada kertas-kertas mungil persegi empat itu, ia menuliskan nama bahan, tanggal dibeli, berikut perkiraan kadaluarsanya. Ia telah mengolah dan mengemas semuanya dalam wadah-wadah kecil hingga bisa digunakan dengan cepat. Setelah lebih dari 10 tahun mengenal, Sonya masih sering terkesima dengan kecermatan Andes. Ia menutup pintu lemari es perlahan, seakan khawatir akan mengacaukan susunan yang dibuat Andes.
Sejak awal menikah, keduanya bertukar tempat. Sonya bekerja kantoran di luar rumah, sedangkan Andes bekerja sebagai freelancer di rumah. Mulanya Sonya bersikeras untuk mengerjakan sebagian besar urusan domestik seperti memasak, menyetrika, membereskan rumah. Tapi diam-diam Andes terus melakukan semuanya sendiri. Setiap kali Sonya pulang, tak ada lagi hal tersisa yang harus dilakukannya.
“Sudahlah. Kamu pasti capek, terutama karena perjalanan pulang pergi kantor,” begitu kata Andes setiap kali Sonya berniat menata ulang pembagian tugas mereka. Lagipula, Andes benar soal kepenatan pulang pergi bekerja. Tak ada lagi yang sanggup dilakukannya begitu tiba di rumah. Tubuhnya meminta istirahat setelah 1,5 jam di jalan.
Sonya membawa lilin itu berkeliling rumah. Dalam cahaya yang tidak sempurna, jajaran buku miliknya dan Andes tampak lebih indah dilihat. Jari-jari Sonya mengusap punggung-punggung buku pada rak tinggi itu. Sampul-sampul plastiknya tampak berkilau. Andes yang menyampul buku Sonya satu persatu. Beruntung Sonya bersama orang yang memposisikan buku sama tinggi seperti dirinya.
Saat akan mengambil air minum, pandangan Sonya tertambat pada sekeranjang pakaian yang sudah rapi disetrika. Siap disimpan di lemari. Ia mungkin tak akan sanggup serapi itu jika mereka bertukar tempat. Sonya sudah mengusulkan untuk mempekerjakan seorang asisten rumah tangga yang sekedar berbenah di pagi hari. Tapi Andes tak mau.
“Kakakku dan istrinya bisa melakukan semua hal sendiri, dengan dua balita. Ini tidak seberapa,” Andes akan mengulang cerita tentang kakaknya yang tinggal di Atlanta, Amerika itu, tiap kali Sonya mengulang idenya tentang pekerja rumah tangga.
Good Housekeeping, 20`3 |
Ia membayangkan Andes melakukan semua pekerjaan yang sering dianggap remeh temeh itu hampir tiap pagi. Tak pernah Sonya mendengar Andes mengeluh. Entah bagaimana selama ini, Sonya tak pernah benar-benar melihat semua itu. Justru dalam gelap, Sonya baru bisa melihat dengan terang.
Mendadak sebuah perasaan hangat menelusup ke hati. Simpul kerumitan yang beberapa waktu lalu ia pikirkan dalam gelap, seketika terurai. Tak ada yang hilang. Sonya justru merasa begitu kaya. Uang datang dan pergi. Tapi Sonya tak bisa membayangkan andai Andes tidak ada. Matanya jadi berat, menahan air mata.
Tak hanya hati, kini Sonya merasakan tubuhnya menghangat. Andes tiba-tiba perlahan memeluknya dari belakang. “Maafkan aku…” bisiknya. Sesaat, tak ada suara. Tangan mereka berpegangan. “Tak apa. Rumah tanpa halaman berumput sama sekali tidak ada dalam daftar mimpiku,” Sonya membalik badan, balik memeluk Andes. Sayup-sayup terdengar suara gitar dipetik di rumah tetangga. Mendadak Sonya rindu pada api unggun perkemahan sekolah. Saat itu Andes untuk pertama kali membacakannya puisi.
***
Dimuat di Majalah Good Housekeeping, 2013
Kepada Pohon
Kepada Pohon
Hingga tutup usia, Ibu menepati janjinya untuk tak menjejakkan kaki ke mal besar itu. Mal tiga tingkat yang biasa kukunjungi dengan lima menit jalan kaki dari rumah. Ibu memilih naik kendaraan umum ke pertokoan di alun-alun untuk membeli pakaian, bahan kue, hingga bingkisan untuk kerabat, meski semua barang itu sebenarnya bisa dibeli dengan mudah di mal dekat rumah. Sedangkan aku bahkan berhenti membeli odol dan deterjen di toko kelontong seberang rumah hanya agar punya alasan belanja ke supermarket di lantai bawah mal itu.
Di masa awal mal itu dibangun, puluhan mahasiswa membawa spanduk berdemonstrasi hampir tiap hari, menolak pembangunan mal yang lokasinya berdekatan dengan kampus mereka itu. Tetapi Malang di siang hari semakin panas, apalagi dengan jas almamater dan tangan mengepal ke udara. Suara garang “hidup rakyat” dari pengeras suara kian melirih.
Mahasiswa-mahasiswa yang sama kemudian lulus dan menggantung jas almamater. Perlahan mereka mulai ikut menyesap kopi sambil bersantai di bawah semilir pendingin ruangan mal, atau membeli ponsel merek terbaru di lantai paling atas. Namun tidak demikian dengan Ibu.
“Pengembang mal itu menebang setidaknya lima belas pohon trembesi yang tadinya tumbuh di laha bangunan itu!” ujar Ibu berulang kali setiap kali aku bertanya mengapa ia tak mengambil langkah mudah dan normal seperti berbelanja ke mal terdekat. Aku tak tahu seerat itu hubungan Ibu dengan pohon. Aku bahkan tak pernah berhasil mengenali dan mengingat nama-nama pohon.
Relasiku dengan pohon tidak begitu baik. Pohon terdekat dari tempatku tumbuh, yaitu di halaman rumah, adalah pohon cemara yang hampir selalu dipenuhi ulat bulu. Ulat-ulat itu terus datang kembali bahkan ketika pohon itu mungkin telah berulang kali mabuk oleh semprotan bahan kimia pembasmi ulat.
Satu-satunya tautan menenangkan yang kurasakan pada pohon adalah saat aku duduk terkantuk-kantuk di atas becak, melintasi jajaran pohon rimbun di Jalan Tanggamus, sepulang sekolah. Atau ketika aku berteduh di pohon paling besar di Jalan Pandan, saat terengah-engah lari mengelilingi sekolah di pelajaran olahraga. Pohon yang tentu saja tak kutahu jenisnya.
Pohon itu kini masih ada di sana saat aku tak sengaja mengambil jalan memutar ke Jalan Panderman dan melintasi sekolah. Aku ingat mengendurkan gas motorku beberapa saat, memandanginya seakan ia kawan lama yang membawa kembali semua kenangan masa kecil.
“Trembesi itu bahkan sudah ada sejak ibu balita. Saat SD, ibu sering bersepeda melewati jajaran pohon itu. Bagaimana orang bisa dengan mudah mematikan sesuatu yang lebih tua dari republik ini? Atas nama apa? Pembangunan?” aku ingat kalimat Ibu suatu sore, lagi-lagi tentang trembesi. Kadang kupikir ia berlebihan. Tapi saat itu aku jadi membayangkan pepohonan yang barangkali ikut menyaksikan Soekarno melintas untuk meresmikan Monumen Tugu.
“Kau tahu? Pohon-pohon kenari ini sudah berusia lebih dari seratus tahun,” ucap Ibu sambil melihat keluar jendela, menatap rimbunnya pepohonan yang kami lewati. Mobil Kijang renta kami perlahan melintasi bangunan sekolah tua Cor Jesu. Ibu lebih sering menyebut bangunan itu Biara Ursulin.
Pohon-pohon itu pasti telah menjadi saksi banyak kematian dan kehidupan baru. Mereka berdiri di sana saat Nippon jadi tuan dan tuan tanah setempat jadi warga kelas dua. Jajaran trembesi itu pasti telah menaungi ratusan warga yang berdiri di tepi jalan, menanti pawai kemerdekaan tiap bulan delapan. Mereka menyaksikan bayi-bayi yang digendong ibu mereka dalam jarit batik kemudian menjadi manusia berseragam pegawai negeri, berjubah dokter, ataupun digelandang ke kantor polisi lalu berseragam narapidana.
***
Siapa sangka aku menikah karena pohon. Dahlia, teman kantor berambut cepak yang gemar menjodohkan orang itu memperlihatkan foto seorang pria mengenakan syal kelabu berlatar pohon pinus raksasa. Foto pria kesekian yang ia sodorkan padaku. Tetapi foto yang satu itu membuatku tertegun. Entah siapa yang lebih kuperhatikan, pinus atau sosok si pria. Buatku foto itu lebih berupa foto pinus gagah dengan seorang pria yang kebetulan berdiri di depannya, seakan mereka adalah kawan lama.
“Itu pinus bristlecone di Utah, Nevada. Aku berfoto setelah selesai ujian tesis di kampus,” kata pria itu saat kami bertemu di sebuah kafe berdinding kuning. Kemudian ia berseloroh soal betapa buruknya penataan lalu lintas, dan nyaris segala hal di Indonesia dibanding Amerika. Aku tak begitu menyimak. Dalam benakku, yang penting adalah ia tahu nama pohon yang kuduga sudah berumur 1000 tahun itu. Belakangan aku baru tahu pohon jenis itu bisa berusia 4000 tahun. Jika seseorang atau sekelompok orang menebangnya, berarti ia telah menumbangkan sebuah kehidupan yang bisa jadi lebih purba dari peradaban yang mereka kenal.
Tahu-tahu ia sudah membelikanku sebuah rumah di pusat kota, tepat setelah undangan pernikahan berwarna merah emas itu disebar. Meski berlantai dua, tapi rumah itu nyaris tak punya halaman berumput di depan. Semua habis dibangun jadi tumpukan bata. Tentu itu bukan rumah impianku, meski Dahlia dan semua teman kantorku memujiku sebagai wanita beruntung. “Kau bahkan bisa berjalan kaki ke mal baru itu! Ya meski nggak mungkin Tonton membiarkanmu jalan kaki keluar rumah,” ujarnya girang menyebut nama suamiku, lalu terbahak.
Hanya pohon di belakang rumah yang tampak tak mengada-ada. Pohon jambu yang sudah meranggas itu biasa kupandang lekat-lekat dari jendela dapurku. Ia sebatang kara, dengan dua dahannya di kanan kiri yang simetris, seperti manusia sedang mengangkat tangannya ke langit, pasrah.
Dapur lengkap dengan oven dan kompor listrik di dapur itu semakin jarang kugunakan. Pria yang membelikanku rumah itu tak akan pulang sebelum satpam perumahan berkeliling memeriksa keamanan, pukul 00. Esok paginya, ia sudah mengeluarkan mobil pukul lima. Mau olahraga dulu di pusat kebugaran katanya.
“Kurasa dia tidak mencintaiku,” kataku pada Dahlia di kafetaria, saat istirahat kantor. Tentu aku sudah tak lagi bekerja kantoran. Tonton bilang aku tak lagi perlu mencari uang. Semua sudah ada. Tak perlu atau tak boleh, aku sudah tak tahu bedanya.
“Tidak mencintaimu? Yang benar saja. Kau punya segalanya. Ia tak pernah absen memberimu uang kan,” Dahlia mengunyah es batu sisa jusnya tanpa menatapku. Lalu ia membuka tas kulitnya, mengeluakan katalog kosmetika terbaru, dan membuatku membeli satu lagi pemulas pipi dan bedak yang tak kuperlukan seharga lima ratus ribu.
***
Di suatu sore saat hujan tak jadi turun, Tonton mendadak memasuki rumah dengan menenteng tas-tas kertas yang berisi penuh di kedua tangannya. Ia menyuruhku membukanya sambil mondar-mandir mengeluarkan pakaiannya sendiri dari lemari. Dari dalam tas-tas itu, tanganku perlahan menarik gamis-gamis panjang dan hijab. Aku tertegun.
“Kamu akan berperan penting menentukan kemenanganku,” lelaki itu tak menatapku saat menyebutku sebagai orang penting. Ia menurunkan koper dari atas almari, sambil berujar panjang lebar tentang kampanye sesuatu. Dari yang kutangkap, ia menyalonkan diri menjadi bupati di tanah kelahirannya. Sebelum aku benar-benar mencerna kalimat-kalimatnya, malam itu Alphard yang kami tumpangi, entah milik siapa, melaju cepat membelah gelap malam.
***
Foto Tonton menjadi berlipat ganda. Wajah di foto itu sumringah dengan beskap Jawa Timuran. Di sisinya, tampak seorang wanita berhijab dengan riasan wajah tebal, yang ternyata adalah calon wakil bupati.
Jantungku berdegup kencang saat mendengar ayunan palu seorang pria kurus memaksa ujung runcing paku menembus batang pohon. Dang dang dang! Aku menutup telinga dengan kedua tangan seperti anak kecil ketakutan mendengar suara petir.
Sambil berkacak pinggang, Tonton tersenyum lebar menyaksikan wajahnya akhirnya terpasang pada satu batang pohon. Masih ada setidaknya sepuluh pohon lagi yang akan dipaku di sepanjang jalan utama itu. Aku meminta izin pergi menjauh, ke warung kopi terdekat, seperti orang yang tidak tahan melihat hewan disembelih.
“Kenapa kau siksa pohon?” Alphard perlahan menjauh dari pohon-pohon dengan wajah Tonton. Sengaja kulirihkan suaraku agar tak terdengar pria kurus di kursi depan dan pengemudi.
“Pohon? Tersiksa? Apanya?” Tonton balik bertanya, tapi wajahnya sedang melongok ke dalam tas, mencari-cari sestuatu. Ia kemudian bicara pada si pria kurus tentang jadwalnya naik panggung esok. Katanya aku juga perlu ikut. Si pria kurus mengonfirmasi bahwa artis dangdut dan massa bayaran sudah siap.
***
“Jangan menikah dengan pria yang tak peduli pada pohon,” kata-kata Ibu kembali terdengar, seperti ayat kitab suci yang terlintas begitu saja saat gamang. Saat itu, menjelang ajalnya, aku ingin memintanya ikut merapal doa atau menghela napas panjang saja ketimbang membahas pohon. Tetapi akhirnya kubiarkan saja ia bicara sambil aku sekuat tenaga menahan air mata.
“Pohon itu, Nak, adalah makhluk hidup yang paling tabah menantang sinar matahari dan menyaring rintik hujan. Meski sering disalahkan, mereka memberi hidup tanpa syarat dan tanya. Siapapun yang dengan mudah mematikan pohon tanpa alasan, sesungguhnya mereka tak pernah benar-benar menghargai kehidupan.” Sejak Ibu meninggal, deru bunyi mesin pemotong pohon di telingaku terdengar seperti rudal Rusia menggempur Suriah.
Pintu ruang tamu berderik. Aku tersentak. Pukul satu dini hari. “Jadi kapan kira-kira lahan itu bebas dari semua pohon?” aku mengusap mata saat mendengar Tonton memasuki ruang TV sambil bicara dengan seseorang di telepon. Pohon apa? Di mana? Untuk apa? “Kalau sampai akhir bulan ini belum selesai, kita bisa kehilangan kesempatan dapat 2 M untuk dana kampanye.” Pria itu mengucapkan satu dua kalimat lagi yang lolos kudengar sebelum mengakhiri pembicaraan.
Punggungku menegak. Aku tak tahu proyek suamiku membuatnya perlu mematikan pepohonan. Jantungku berdegup kencang ketika ia memutar gagang pintu kamar. Aku berusaha tak bersuara saat ia mengganti pakaian dan gosok gigi, lalu berbaring di sisiku. Tanganku gemetar. Aku tidur bersama pembunuh.
***
Pernikahanku bermula dan berakhir karena pohon. Namun setidaknya Ibu benar. Setahun kemudian rumah pemberian Tonton yang jadi tempatku melamun tiga tahun disita. Sepekan sebelumnya, pria itu ditangkap atas kasus sengketa lahan. Aku singgah ke rumah itu untuk mengambil satu koper pakaian lama yang tersisa.
Aku menyelinap perlahan ke dapur, berharap dapat mengantongi kenangan, entah apa. Pohon jambu di belakang rumah itu masih ada di sana. Anehnya kedua dahannya sedikit lebih rimbun. Ia kini tampak seperti anak kecil yang mengangkat kedua tangan riang.
***
Jawa Pos Radar Malang, Minggu, 30 Oktober 2016
Petunjuk untuk Bintang
Mulanya kukira aku bukan siapa-siapa. Sekedar benda
pelengkap yang dipajang di sudut ruangan berlantai kayu yang dikelilingi kaca. Temboknya
dilapisi kertas dinding putih bertekstur dengan detail bunga-bunga kecil. Dua
pengeras suara besar berdiri gagah di sudut-sudut ruangan. Empat pendingin
ruangan bertengger di atas jendela-jendela lebar di tiap sisi, dilengkapi
kantong pewangi warna hijau yang bergoyang ke sana kemari tertiup angin.
Sebelum pukul sembilan pagi dan
setelah pukul lima sore, Lamalera, nama ruko dua lantai tempatku berada itu dipenuhi
perempuan-perempuan berkaos dan celana pas badan. Tak ada lelaki yang dapat
masuk, kecuali sesekali, saat mereka memperbaiki pendingin ruangan atau membetulkan
daun jendela yang rusak.
Begitu tiba di lantai atas tempatku
berdiri, wanita-wanita itu, tua muda, berganti pakaian, mengikat rambut ke
atas, sebagian membuka hijab, dan mengenakan sepatu warna-warni. Tentu saja
diiringi celotehan tentang harga cabai yang sedang turun, toko online yang
sedang diskon, atau anak yang sedang ujian.
Sebagian perempuan hanya gemar
berkutat di lantai bawah, bergantian menggunakan treadmill, sepeda statis, hingga mengangkat beban. Sebagian lain
tampak lebih sering duduk ngobrol daripada
olahraga. Ada yang begitu rajin hingga datang dua kali sehari. Pagi hari
selepas mengantarkan anak ke sekolah, dan sore hari, setelah membereskan rumah.
Sementara sebagian perempuan lain hanya datang di sore hari dengan pakaian
rapi, selepas pulang kantor.
Jika lantai bawah penuh berisi alat,
lantai atas dibiarkan kosong menjadi satu ruangan lapang, tempat para wanita
ini menggerakkan tubuh mereka mengikuti gerakan instruktur perempuan yang tangkas
dan cekatan. Sesekali si instruktur akan berkeliling sambil berteriak,
memastikan peserta kelas mengikuti gerakannya dengan tepat. Aku senang setiap
kali melihat bola-bola besar, matras, dambel, hingga tongkat-tongkat kayu ikut
membantu mereka meliuk-liukkan tubuh.
Beberapa wanita sangat mahir
menggerakkan tubuh dan menggunakan alat. Beberapa yang lain bahkan tidak
berniat mencoba. Mereka yang paling sigap mengikuti gerakan tentu saja adalah
wajah-wajah yang sudah lama kukenal dan terus datang. Sementara wanita-wanita
yang wajahnya baru pertama kali kulihat kadang terlihat canggung dan kebingungan.
Beberapa tidak pernah datang lagi, sementara yang lain akan perlahan
menyesuaikan diri.
Semula aku tidak tahu bahwa kehadiranku ternyata penting
bagi para perempuan ini. Setiap angka yang kutunjuk seperti mantra yang bisa mengendalikan
pikiran dan perasaan mereka. Sejak hari pertama aku tiba, mereka rajin sekali menghampiri
dan naik ke atas penampangku, seringnya sesudah berolahraga. Beberapa gadis
bahkan menimbang sebelum dan sesudah olahraga. Mungkin untuk menghitung sudah
berapa berat badan mereka turun setelah bergerak ke sana kemari. Aku bukan ahli
kebugaran, tapi yang kutahu berat badan tidak bisa turun naik secepat itu.
Aku
ikut senang setiap kali mereka tersenyum lebar setelah melihat angka yang
kutunjuk. Setelah itu mereka akan mematut-matut diri, melihat bayangan mereka
pada cermin sambil mengelus perut atau meniruskan pipi. Beberapa bahkan
mengambil swafoto bersamaku. Namun yang lebih sering terjadi, aku ikut sedih
saat mereka mendesah resah, kesal, bahkan berjalan menjauh dengan mengentakkan
kaki setelah melihat angka yang kutunjuk.
Di antara gadis-gadis yang kerap
mendatangiku, Bintang adalah favoritku. Alisnya tebal, rambutnya ikal sebahu,
dan kulit sawo matangnya seperti bersinar setiap tertimpa cahaya lampu atau
sinar matahari yang menerobos lewat kaca jendela. Ia adalah gadis paling ceria
yang pernah kulihat. Tiap kali datang, ia menyapa hampir semua orang, anggota
lama hingga baru, termasuk Mbak Narti, pembersih ruangan, yang sering
terabaikan.
Dari tempatku berdiri di dekat
jendela, aku pernah melihatnya membeli dua bungkus nasi uduk dari warung tenda
di ujung parkiran. Sebungkus ia tenteng dalam kantong plastik putih, sementara
sebungkus lagi ia berikan pada Pak Dar, tukang parkir renta yang entah sejak
kapan sudah menjaga parkiran di sepanjang pertokoan ini.
Kali lain, kulihat ia mengeluarkan
dua kotak susu UHT dari tasnya, lalu mengangsurkannya ke tangan anak penjual
koran yang kerap duduk di tepi trotoar seberang jalan. Senyum anak itu merekah,
seiring dengan tawa lepas Bintang sebelum ia kemudian menyeberang jalan, menuju
tempatku berada.
Namun rupanya bukan aku saja yang senang
memperhatikan Bintang. Dari sisi jendela tempatku berdiri, di sore saat gadis
itu memberikan susu UHT pada penjual koran, tak sengaja aku melihat seorang
pria di toko sebelah yang memperhatikan Bintang. Lelaki itu membuka jendela dan
melongokkan kepalanya keluar. Caranya memandangi Bintang seperti tak biasa.
Matanya seolah berbinar dengan selengkung senyum yang terlalu kentara di
bibirnya. Hidungnya mancung, kulitnya bersih, rambutnya dipangkas cepak seperti
tentara. Kemeja kotak-kotaknya agak digulung ke atas.
Pria itu baru kulihat ada di sana
sekitar sebulan terakhir. Dua pekan lalu, toko itu baru dibuka dan sejak itu
hampir tak pernah sepi. Lima pegawainya mengenakan celemek cokelat dan topi
koki. Pengunjung yang keluar dari sana menenteng kantong berisi kotak-kotak
segiempat. Aroma martabak terus menguar dari toko itu menerobos ke Lamalera,
seperti serangan peluru yang meruntuhkan pertahanan mereka yang sudah berikrar
untuk tidak jajan. Gadis-gadis di Lamalera berkelakar bahwa olahraga mereka
sia-sia. Selepas kelas mereka hampir selalu mampir ke sana.
***
Dentuman musik kencang dengan irama cepat yang
diteriakkan si pengeras suara selalu membuatku penampangku sedikit
bergerak-gerak. Si penyejuk ruangan sering berkata ia lebih suka musik yoga
yang syahdu dan menenangkan. Ia bilang yoga sedikit banyak menggambarkan
dirinya yang tenang dan menyejukkan.
Namun aku terus terang lebih suka
musik zumba yang cepat dan ceria. Begitu juga dengan Bintang. Pernah kudengar
ia mengeluh mengantuk setiap kali mencoba melakukan yoga. Sebaliknya, gadis itu
selalu berada di baris paling depan dengan senyum lebar saat menggerakkan
badannya diiringi musik hiphop hingga salsa. Pakaian favoritnya adalah kaos kuning pas
badan dengan gambar bintang di dada dengan legging
tujuh per delapan.
Akan tetapi hari ini jiwa Bintang
seperti terbang dari raganya. Sore ini ia menaiki anak tangga ke lantai dua
dengan langkah kaki perlahan, seperti ada beban yang diikatkan pada pergelangan
kakinya. Kepalanya menunduk ke bawah. Matanya enggan menatap, apalagi menyapa
siapapun di ruangan. Bibirnya yang selalu melengkungkan senyum kini membentuk
garis lurus. Ia menghempaskan tubuhnya, duduk tak jauh dari tempatku berdiri
setelah meletakkan tas ransel cokelatnya, sedikit dibanting.
Biasanya ia akan langsung
mengeluarkan sepatu birunya dari dalam tas dan mengenakannya sambil mengajak ngobrol siapapun di dekatnya. Tetapi
kali ini gadis itu memilih mengeluarkan telepon genggam putihnya, menggeser dan
memencet layar beberapa kali, lalu mendesah. Tatapannya hinggap sejenak ke
lantai kayu, lalu ia memasukkan ponselnya lagi ke saku depan tas. Ia menoleh,
kemudian berdiri menghampiriku.
Sebelumnya Bintang tak pernah
benar-benar peduli pada berapa angka yang kutunjuk dengan jarumku. Tetapi kali
ini berbeda. Perlahan ia menaiki penampangku. Matanya terpaku menunggu jarumku
bergerak menuju satu angka. Ia memiringkan kepala dengan bibir yang masih terkatup rapat. Kemudian tak kusangka,
ia berjalan menjauh dariku dengan wajah masam sambil mendengus. Bintang telah
menjadi seperti sebagian gadis lain yang menjadikanku mercusuar, penunjuk arah,
penentu kebahagiaan.
Kelas zumba sore itu sungguh terasa sepi
tanpa senyum dan tawa Bintang. Untuk pertama kalinya, ia memilih berdiri di
baris paling belakang, tak bersemangat mengikuti gerakan instruktur. Gadis itu
hanya menggeleng saat teman-temannya mengajak dirinya menempati posisi biasa di
depan.
Sinar matahari sore sudah meredup
saat musik sesi pendinginan berhenti mengalun pertanda kelas usai. Peserta
kelas sore itu sudah menepikan diri, duduk merapat di depan kaca-kaca di
sekeliling ruangan, membuka botol minum dan melepas sepatu. Di saat yang sama,
satu dua peserta kelas berikutnya, yoga, sudah mulai menaiki tangga.
“Apa artinya kalau cowok cuma baca,
tapi nggak membalas pesan singkat kita? Padahal dia online terus,” aku mencuri
dengar Bintang menggerutu. Di sisinya, gadis berambut keriting yang kutahu bernama
Leoni sedang menggulung kaosnya yang basah oleh keringat. Ini untuk kali pertama
aku mendengar Bintang membicarakan pria. Beberapa gadis sempat kulihat diantar
jemput pacarnya saat datang ke Lamalera. Tapi tidak dengan Bintang. Aku belum
pernah melihatnya dekat dengan pria manapun.
“Mungkin dia sedang sibuk aja? Kita kan pasti juga pernah lupa balas pesan,”
Leoni berhati-hati menanggapi. Gadis itu paling dekat dengan Bintang,
setidaknya di Lamalera. Bintang menatap Leoni sekilas, lalu memutar bola mata.
Tak pernah kulihat ia seresah itu. “Aku sih nggak akan lupa balas kalau orang
yang mengirimiku pesan kuanggap penting,” tukas Bintang, terdengar seperti
merajuk. Leoni diam saja, barangkali sedang memikirkan respon yang tepat untuk
meredakan kegundahan sahabatnya itu.
“Menurutmu dia suka cewek seperti apa
ya? Apa mungkin aku kurang cantik? Kurang langsing? Kulitku terlalu gelap ya?
Atau rambutku kurang lurus?” tanya Bintang pada Leoni. Mungkin juga ia bertanya
ke dirinya sendiri. Ia memutar posisi duduknya, menatap cermin sambil membenahi
ikatan rambut, lalu mengusap kulitnya yang sawo matang. Ganti Leoni yang
mendesah. Ia bergeser mendekati sahabatnya, lalu berkata, “Bintang, kau sendiri
yang pernah bilang, jangan pernah mengubah diri untuk menarik perhatian cowok.”
Bintang menatap mata Leoni, lalu
menunduk. Perlahan gadis itu mengemasi sepatu dan kaos kakinya yang masih
berserakan, lalu memasukkannya ke dalam ransel. “Aku pulang duluan, ya. Sampai
besok di sekolah,” kata Bintang pada Leoni lima menit kemudian, dengan suara
tak bersemangat. Sebelumnya, ia menyisir rambut ikalnya yang setengah basah
dengan jari.
Leoni menatap langkah kaki Bintang
menuruni anak tangga tanpa sempat berkata apa-apa. Aku baru tahu bahwa saat
sedang suka dengan pria, seorang gadis bisa berubah jadi seseorang yang mungkin
tidak ia kenal sendiri.
Ruangan itu sudah dipenuhi peserta
kelas yoga saat seorang gadis berambut lurus yang diikat ekor kuda menghampiri
Leoni yang masih duduk sambil menggeser-geser layar ponselnya. “Gimana? Salam
dari kakakku sudah disampaikan ke Bintang?” gadis rambut ekor kuda duduk di
sisi Leoni dengan wajah cerah. Aku baru ingat, dia adalah adik Angkasa, lelaki
muda pemilik toko martabak di sebelah Lamalera. Lelaki yang sama yang
memperhatikan Bintang tempo hari. Aku tahu nama Angkasa ketika lelaki itu
mampir saat istirahat siang, mengantarkan martabak untuk Mbak Menik, pegawai
administrasi di meja depan.
Sesekali aku pernah memperhatikan
pria itu turun dari mobilnya menjelang pukul 10 pagi. Pria seusianya,
barangkali di akhir 20-an, biasanya baru mulai menapaki karier dengan bekerja
di kantor. Tetapi Angkasa memulai hidup dengan berdiri di atas kaki sendiri sambil
membukakan jalan rezeki untuk orang lain, para pegawainya.
“Belum. Dia sedang kesal. Cowok yang
dia sukai tidak membalas pesannya,” Leoni menyeringai pada Amanda sambil
memasukkan telepon genggamnya ke saku jaket. Amanda terkekeh.
“Siapa cowok itu? Tapi siapapun dia,
kakakku pasti lebih hebat,” Amanda ingin tahu. Rambutnya yang diikat tinggi ke
belakang bergoyang setiap kali ia bicara. Senyumnya melebar, memperlihatkan
deretan kawat gigi berkaret merah. Leoni balik terkekeh.
“Jelas! Aku tak tega mengatakan ini padanya. Menurutku
pria yang disukai Bintang itu hanya memanfaatkannya untuk mengerjakan PR-PR
yang enggan dia kerjakan,” ujar Leoni sambil melipat handuk kecil yang ia gunakan
untuk menyeka keringat. Amanda terbelalak. “Iya, dia kapten tim basket di
sekolah yang sering izin untuk ikut kejuaraan. Jadi nilai akademisnya di tepi
jurang,” Leoni menambahkan.
Keduanya kemudian sama-sama berdiri
bersiap meninggalkan ruangan saat seorang ibu menghamparkan matras yoga yang
ujungnya tak sengaja menyentuh kaki Amanda. Pembicaraan mereka saat menuruni
tangga kemudian tertelan suara musik yoga yang segera membuatku mengantuk.
***
Sabtu pagi yang tak biasa. Aku bangun saat sinar
matahari sudah hampir mencapai dasar jendela. Biasanya aku sudah bangun saat
matahari bahkan belum nampak. Tetapi sesiang itu aku masih merasa mengantuk dan
lelah. Jarum penunjukku seperti terlalu berat untuk beranjak naik.
Lantai
bawah telah riuh dengan suara orang mengobrol, bunyi sepatu menapaki treadmill, serta dentang alat berat yang
dinaik turunkan. Lima menit kemudian terdengar suara dua pasang langkah kaki
menaiki tangga. Aku cemas, tak siap jika harus digunakan. Benar saja, dua gadis
itu berjalan mendekat. Aku sudah khawatir mereka akan kecewa atau sedih. Tetapi
ekspresi keduanya setelah bergantian menimbang sungguh membuat perasaanku
bercabang.
“Wah,
aku turun dua kilo!” ujar gadis berhijab putih yang tersenyum lebar,
memperlihatkan lesung pipinya. “Aku juga! Tiga kilo! Ternyata berhasil juga
olahraga kita,” gadis berambut keriting di sisinya menimpali sambil
melompat-lompat kecil. Bagaimana ini?
Aku berteriak tanpa suara. Andai bisa, aku ingin memanggil mereka dan
memberitahu berat badan mereka sesungguhnya. Aku tak tahu apa yang salah dalam
tubuhku. Tetapi yang pasti jarum penunjukku menunjuk dua sampai tiga angka
lebih rendah dari yang seharusnya.
Bintang
datang setelah tiga perempuan lain menimbang badan dan pergi dengan kebahagiaan
semu yang sama. Seperti yang lain, matanya berbinar saat memandangi angka yang
ditunjuk jarumku. Ia tertawa tanpa suara, kemudian dengan langkah kaki lebar berjalan
mendekati gadis-gadis lain sambil melontarkan lelucon. Aku bersorak dalam
hening. Bintang yang dulu telah kembali, semoga kali ini untuk seterusnya.
“Hai!” sapaan Bintang yang lantang dan riang mengalahkan
suara obrolan-obrolan kecil dalam ruangan itu saat ia melihat Leoni dan Amanda
tiba. Aku merapalkan doa. Kuharap sebentar lagi salam Angkasa tak lagi
terhambat mendarat pada Bintang dan membuatnya melupakan si kapten tim basket. Terlebih
lagi, semoga ada banyak waktu sebelum akhirnya seseorang sadar bahwa aku sedang
sakit.
Tadinya aku berharap punya suara untuk
memberitahu semua orang untuk tidak mempercayaiku hari ini. Tetapi sedetik
kemudian aku berpikir bahwa yang diperlukan Bintang dan para gadis itu
sebenarnya hanyalah lebih banyak tertawa dan tersenyum, menanggalkan sebanyak
mungkin kericuhan entah apa dari kepala mereka.
***
Pernah dimuat di GoGirl, 2017
Tetangga Seberang
Wanita yang dipanggil Bu Sasi itu
membuat Raras tidak bisa tidak percaya Tuhan dan surga. Jika ia sendiri tak
mampu membalas rangkaian kebaikan perempuan itu, maka harus ada Sesuatu yang
agung di luar sana yang bisa.
Sepuluh tahun berlalu, dan jika kebaikan
itu adalah utang, ia masih yakin tak sanggup mencicilnya seumur hidup. Satu
dasawarsa hidup di benua lain, tapi rumah itu masih sama seperti yang ada dalam
ingatan masa kecilnya. Lucu. Ketika kita menjalani hari-hari bising serba cepat
yang memaksa orang bergegas mengubah banyak hal, ada dunia lain yang segala di
dalamnya nyaris tak bergeser satu incipun.
Tirai di rumah itu adalah tirai yang
sama yang disibakkan tangan kecil Raras setiap kali mendengar bunyi motor
bapaknya di depan rumah. Kursi panjang di teras yang mirip kursi tunggu di
dokter gigi itu juga masih sama. Kursi tempat ia dan Angga duduk mengayunkan
kaki menunggu pedagang es krim lewat. Angga adalah tetangga depan rumah Raras
sekaligus teman sepermainannya sejak mereka baru bisa merangkak.
Bu Sasi, ibu Angga, dan keluarganya
adalah tetangga yang bagi Raras bahkan lebih dekat dari kerabat yang hanya dijumpainya
setahun sekali pada lebaran keluarga. Wanita itu tergopoh-gopoh menghampiri
ketika Raras terjatuh di depan pintu gerbang rumahnya, saat pertama kali
belajar mengendarai sepeda. Ia memberi Raras kado ketika tahu gadis itu menang
lomba membaca puisi, dan mengantarkan sekantong jambu saat Raras terkena demam
berdarah. Tetangga itu tahu hampir setiap peristiwa dalam hidup Raras dan
keluarganya.
Raras pun demikian. Setiap pagi, ia
mendengar suara Bu Sasi menyanyikan lagu gereja sambil menyapu teras. Itu
menjadi pertanda waktunya ia bangun. Setelah menyapu, ia akan duduk-duduk
sebentar di kursi panjang. Kursi yang sedang diduduki Raras sekarang.
Kursi itu berderit ketika Raras berdiri
dari kursi itu perlahan dan masuk ke dalam. Kini ia tak perlu melompat karena
kedua kakinya telah menjejak tanah. Raras merasa rumah itu lebih kecil dari
yang ia ingat, atau barangkali hanya ia yang kini berpostur tinggi. Semua
jajaran rak kayu penuh buku, lemari kaca dengan pajangan souvenir pernikahan,
posisi TV, dan foto keluarga masih sama. Raras terpukau.
Kenangan itu menyergapnya. Ingatan di hari-hari
saat Raras selalu pergi ke rumah itu tiap pulang sekolah. Ibunya dan ibu
pemilik rumah itu yang bersepakat demikian. Ibu dan ayah Raras baru akan tiba
di rumah paling cepat pukul enam sore. Pukul lima jika beruntung.
Tiap siang sepulang Raras dari sekolah, wanita
berambut keriting itu meletakkan sepiring nasi hangat mengepul setelah ia
berganti pakaian seragam. Lidah dan penciuman Raras merekam setiap masakan Bu
Sasi. Sop sosis, tempe penyet, nasi goreng kambing.
Setelah dewasa, ia memasak
makanan-makanan itu sendiri untuk menghangatkan hatinya yang dingin di tanah
seberang. Lengkap dengan bumbu dan cara memasak gaya Bu Sasi. Lalu ia akan
memakannya seorang diri dengan air mata mengalir. Perut yang kenyang dan
kesedihan yang sudah terusir keluar kemudian membuatnya kembali hangat.
Raras tercekat ketika aroma yang
rindukan itu tiba-tiba merambati penciumannya. Bu Sasi keluar dari pintu dapur
membawa sepanci sop sosis. Senyum Raras terkembang selebar Selat Sunda. Wanita
itu mengenakan daster dengan jenis yang sama dengan yang sering dilihat Raras
dulu. Daster itu juga masih menguarkan aroma masakan. Tercium saat wanita itu
memberikan semangkuk sop ke tangannya. Raras menatap sup dan lalu wajah Bu Sasi
dengan haru.
“Dimakan, Nak Raras,” wanita itu
berujar. Senyumnya masih sama, lengkap dengan lesung pipit yang kini bersanding
dengan guratan-guratan halus di wajahnya. Wanita itu kembali masuk ke dapur.
Raras kembali menatap ke sekeliling, sambil merasakan kembali peristiwa demi
peristiwa di dalam rumah itu.
Sejenak tatapannya tiba pada meja bundar
di hadapannya. Mendadak ia ingat akan sebuah kue mungil berhias di hari saat
usia Raras genap tujuh. Ada namanya tertulis di atas kue dengan warna
favoritnya, biru. Apakah itu bisa
dimakan? Sebelum otaknya menemukan jawaban, mata Raras telah sibuk menelusuri
replika bentuk wajahnya yang tersenyum lebar, lengkap dengan rambut dikuncir
dua.
Raras tercengang girang sambil menatap
punggung Bu Sasi yang berjalan
kembali mendorong pintu dapur. Beberapa detik kemudian wanita itu kembali
mendekati Raras sambil membawa sendok kecil melanin hijau, piring kecil, dan
tumpukan tisu makan dalam sebuah kotak kayu.
“Selamat ulang tahun, Raras,” Bu Sasi berujar,
tersenyum, sambil mengusap kepala Raras, seraya meletakkan perlengkapan itu di
meja dan mengusap kepalanya. Aroma khas bumbu dapur menyeruak dari daster batik
yang dikenakannya. Wanita itu berlalu tanpa menunggu respon Raras yang masih
tercekat, antara senang dan tak percaya. Keesokan harinya, ia baru tahu bahwa
kue yang sudah tandas ia makan itu bernama cupcake.
Bu Sasi membuatnya khusus untuk Raras, mungkin di siang hari sebelum Raras
datang, ketika ketujuh anaknya pergi sekolah dan putri bungsunya yang balita sedang
tidur.
Ibu Raras tak pernah membuat kue semacam
itu. Bekal Raras tiap hari adalah roti tawar berlapis mentega ditaburi gula
pasir. Pagi di hari ulang tahunnya, ibu Raras bangun lebih pagi dan
membuatkannya nasi goreng untuk bekal sekolah. Bersama ayahnya, mereka berdoa
bersama setelah Raras meniup tujuh lilin kecil yang dinyalakan di atas piring
bekas. Begitu saja, lalu seperti biasa, ketiganya berangkat dengan
tergesa-gesa. Raras ke sekolah, ayah ibunya bekerja.
Kadang Raras tak mengerti, mengapa orang
yang bekerja sekeras orangtuanya masih selalu berkata tak ada uang setiap kali
ia bertanya, mengapa tidak membeli mobil saja seperti Bu Sasi. Di sekolah, ia
diberitahu bahwa mengendarai sepeda motor bertiga itu berbahaya. Ia juga tak
suka karena badannya sudah terlampau besar untuk duduk berdesakan di antara ibu
dan bapaknya.
Keinginannya untuk memiliki mobil
semakin menjadi-jadi ketika suatu malam, Raras terbangun oleh suara pekikan
ibunya yang sedetik kemudian sudah membuka pintu rumah, berlari ke rumah depan.
Raras melompat dari tempat tidurnya dan mendapati ayahnya sedang
tersengal-sengal sambil memegang dadanya. Ayahnya seperti tiba-tiba berada di
ruang hampa udara. Raras menangis.
Damar, putra tertua Bu Sasi
tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah Raras sambil mengulurkan tangannya. Ia dan
ibu Raras memapah sang ayah ke mobil keluarga Bu Sasi. Damar memacu mobil
sekencang mungkin. Raras menghabiskan sisa malam itu dengan tidur bersama
Anggi, kakak terdekat Angga, di rumah Bu Sasi. Ayah Raras selamat dari serangan
stroke pertamanya. Seumur hidup, Raras merasa berutang budi pada Bu Sasi dan
keluarganya.
Raras tiba pada suapan sop sosis yang
terakhir ketika matanya tertuju pada foto suami Ibu Sasi, ayah Angga.
Ingatannya mendadak hinggap pada suatu siang yang terik di bulan Desember.
Kecuali Bulan, anak balita yang sedang tidur, semua anak Bu Sasi sedang tak ada
di rumah. Tapi ayah Angga, tak biasanya juga sedang di rumah. Di hari kerja,
pria itu biasa berangkat pukul tujuh pagi dan pulang pukul lima, dengan mobil
berplat merah.
Raras sedang mengagumi pohon Natal yang
baru saja dipasang sehari sebelumnya, ketika terdengar bunyi ketukan kencang di
pintu depan. Raras tersentak. Bu Sasi setengah berlari menuju pintu depan,
disusul suaminya. Di depan pintu yang setengah terbuka, tampak dua pria dengan
seragam yang tampak tak asing. “Polisi...” Raras berbisik pada dirinya sendiri,
ketakutan. Ia tidak memahami pembicaraan Bu Sasi, suaminya, dan kedua polisi
itu. Bukan siatuasi yang baik.
Ayah Angga diminta ikut bersama
polisi-polisi itu. Bu Sasi menolak. Raras ingat suami Bu Sasi berulang kali
berkata, “Semua akan baik-baik saja” sebelum pergi. Raras bisa mendengar suara
degup jantungnya sendiri. Bu Sasi berdiri lama di tepi jalan. Matanya mengekor
mobil itu hingga ke kelokan. Raras menunggu. Mata wanita itu berkaca-kaca saat
menutup pintu. Ia menatap Raras tapi tidak berkata apa-apa. Raras pun tak tahu
harus berujar apa. Selamanya wajah pucat itu akan selalu tersimpan dalam
ingatan Raras. Bu Sasi masuk ke kamarnya dan baru keluar saat bapak dan ibu
Raras datang menjemput. Matanya sembab.
Sejak itu, ayah Angga tidak terlihat
lagi. “Ayah kapan pulang?” Raras mendengar Angga bertanya pada ibunya di dapur,
keesokan harinya. Beberapa detik tak terdengar jawaban. Raras hanya mendengar
Bu Sasi sedang membuka oven. “Ayahmu keluar kota. Kira-kira tiga bulan lagi pulang,”
akhirnya Raras mendengar jawaban. “Kok ayah nggak pamit Angga? Nanti malam kita
telepon ya,” Angga mengejar. Lama tak terdengar jawaban lagi. “Kita coba ya…”
kalimat itu terdengar seperti antara harapan dan penghindaran.
Di usia 9 tahun, Raras nyaris seorang
diri menyimpan rahasia besar tentang tetangga depan rumahnya. Tak ada yang tahu
ke mana ayah Angga sebenarnya. Ibu Raras pun mendapat versi cerita yang sama
dengan yang dikisahkan Bu Sasi pada anaknya. Raras bahkan tahu mengapa pria itu
dijemput paksa. Pria botak itu harus bertanggung jawab atas penggelapan uang
yang dilakukan bawahannya.
Dua hari sekali Raras menduga Bu Sasi
pergi menengok suaminya ke penjara, membawa rantang berisi nasi, sayur, dan
lauk. Raras pernah duduk menunggu di depan rumah ketika wanita itu datang
menenteng plastik transparan berisi rantang biru tua susun tiga. Raras tidak
bertanya, hanya menduga. Peristiwa itu terus berulang. Terkadang ia membawakan
dan membawa pulang pakaian suaminya, lalu mencuci dan menjemurnya di dekat
gudang. Bu Sasi tahu bahwa Raras tahu. Namun ia tidak pernah berucap apapun. Raras
juga tak pernah mengutarakan apapun pada ibunya, apalagi kepada Angga.
Sepuluh tahun telah setelah masa itu,
Raras kembali duduk di teras rumah itu.
Ayah Raras meninggal dunia setelah gagal melalui serangan stroke ketiga,
setahun lalu. Sejak itu Raras berpikir untuk pulang, menemani ibunya yang kini
tinggal sendiri. Selama dua dekade ia hanya pulang dua tahun sekali di masa
lebaran, saat keluarga Bu Sasi pulang ke Sragen.
Bu Sasi kini juga tinggal sendiri. Empat
anaknya tinggal di Jakarta termasuk Angga. Dua anak masing-masing di Batam dan
Bali. Hanya Bulan, anaknya yang paling kecil, tinggal tak jauh dari rumah Bu
Sasi. Sementara suami Bu Sasi, orang yang ia jaga sepenuh hati, juga telah
meninggal, setahun setelah keluar dari penjara. Kesedihan memangsa semangatnya
setelah Dion, anak mereka yang kedua dipenjara 10 tahun karena obat-obatan
terlarang.
Raras tak ada saat peristiwa itu terjadi. Namun ia selalu
membisikkan doa setiap kali ibunya bercerita tentang keluarga Bu Sasi, berharap
wanita itu dapat menanggung semuanya.
Raras kembali duduk di teras, mengusap
tempat Angga biasa duduk di sisinya. Angin sore yang membawa rintik hujan
berembus seperti menampar pipinya. Ia tak akan lagi dapat duduk bersama Angga. Hanya
foto Angga yang ada di dalam rumah, diapit dua lilin dan salib di belakangnya. Raras
pulang tepat sehari setelah Angga meninggal karena kecelakaan. Sepuluh tahun
mereka tak bertemu, tapi Raras merasa seperti kehilangan kerabat. Angga ada
dalam begitu banyak foto masa kecil Raras.
Raras tak bisa membayangkan bagaimana
rasanya menjadi Bu Sasi yang telah melalui semua peristiwa itu. Ia sedikit lega
karena kini mereka kembali bertetangga.
Keesokan paginya, ia terbangun tepat
saat Bu Sasi melakukan aktivitas yang ternyata masih dijalaninya: menyapu
lantai teras di menit yang sama. Sayup-sayup nyanyian Bu Sasi terdengar di
telinga Raras, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, tak akan gentar
kumelangkah, sebab Engkau besertaku…”
Raras tersenyum. Setelah mandi ia perlu
memanasi mobilnya. Ia sudah siap jika ibunya atau Bu Sasi sewaktu-waktu perlu
bantuannya, di tengah malam sekalipun.
***
Dimuat di Majalah Good Housekeeping, 2014
Via Dolorosa
Papan itu seperti memberitahu Grace
untuk berhenti dan menepi. Di atasnya, tertulis sebuah nama jalan. Via
Dolorosa. Jalan kesengsaraan. Tak banyak orang tua yang menggunakan nama itu
sebagai nama yang mereka berikan untuk anak mereka.
Grace hanya
kenal satu orang yang menyandangnya. Nama itu pertama kali ia baca pada suatu
sore di sebuah papan di belakang gereja. Tertulis di antara belasan nama lain,
anggota paduan suara di gerejanya yang terpilih mengikuti lomba.
“Oh kamu yang namanya Amazing Grace.
Kukira hanya namaku yang serupa judul lagu,” ujar si pemilik nama yang ternyata
seorang pria. Grace tersipu sambil menyambut jabatan tangannya.
“Osa,” laki-laki itu menyebut nama
panggilannya.
Saat itu mereka baru lulus sekolah
menengah atas.
Kini nama itu
terpampang pada sebuah papan nama kecil yang tergantung di sebuah tempat tidur
pasien. Baru saja dipan itu didorong melintas di depannya. Saking terkejutnya,
Grace tak sempat melongok wajah si pasien yang berbaring di atasnya. Ia berdiri
tertegun di persimpangan lorong rumah sakit.
Baru beberapa
menit lalu ia berjalan keluar dari paviliun seberang, menengok sahabatnya,
Sarah, yang sedang dirawat. “Enggak! Aku nggak sakit kok!” sergah Sarah,
menggulung lengan bajunya. Di mata Grace, gadis itu memang tak pernah tampak
sakit. Jiwanya sekokoh gugusan gunung yang sering ia tanjak.
“Iya, kamu nggak
sakit. Cuma hilang di gunung. Kalau nggak cepat ditemukan, bisa pingsan
kelelahan, jatuh ke jurang, atau dipatuk ular,” Tante Nat, mama Sarah, menyahut,
gusar. Sarah menyeringai lebar pada Grace, yang dibalas kerlingan mata. Grace
tahu, meski nyawanya seinchi menuju maut, ini tidak akan jadi kali terakhir
sahabatnya itu memanggul ranselnya dan menapakkan kaki menaiki gunung.
“Itulah harga
yang harus kamu bayar untuk kesenangan semu. Kau contohlah Grace. Sekarang
sudah jadi pembawa berita terkenal. Kamu naik gunung terus, mau jadi apa?”
Tante Nat terus berseloroh sambil melipat ulang pakaian putrinya, dan
memasukkannya ke dalam lemari.
Sarah memutar
bola matanya. Grace hanya tersenyum. Tante Nat tak tahu hasrat itu. Letupan
serupa kembang api yang terus datang tiap malam, mengajak untuk mengejar mimpi.
Selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapainya.
Grace masih berdiri terpekur di
koridor, mengingat ucapan Tante Nat. Kini, seakan semesta bahu membahu
menghamparkannya pada ingatan akan harga yang ia bayar untuk mimpinya sendiri.
Ragu-ragu, Grace melangkah perlahan menuju ruangan tempat dipan berpapan nama
Via Dolorosa didorong. Langkahnya seketika terhenti saat seorang wanita
berambut sebahu bergegas memasuki ruangan itu.
Grace bimbang.
Cepat-cepat, ia berjalan melintas tanpa menengok ke dalam ruangan itu. Tapi
langkahnya kembali terhenti di ambang gerbang pintu rumah sakit. Lalu kaki itu
berjalan kembali ke arah semula.
Ia mengokohkan
pijakan kakinya, berdiri di depan pintu ruangan yang terbuka. Dua perawat
sedang memasang selang infus dan mengatur posisi dipan. Wanita berambut sebahu
itu duduk di ujung tempat tidur. Ia menengok ke pintu dan tersentak melihat
kehadiran Grace.
“Ya?” tanyanya sambil berdiri.
Grace menatap wanita itu, berusaha
agar tak tampak sedang berpikir.
“Saya…Amazing Grace,” ujarnya kikuk.
Wanita itu mengangguk. “Saya tahu.”
“Marta,” wanita itu menjabat tangannya.
Grace baru sadar tangannya sudah
terulur lebih dulu.
“Saya menonton siaran berita Anda
setiap hari,” wanita itu buru-buru menambahkan.
“Terima kasih,” Grace tersenyum.
Matanya sekilas melihat papan nama
yang tergantung di tempat tidur. Kemudian dengan cepat beralih ke wajah si
pasien yang berbaring di atas dipan. Napasnya sesak.
“Dia…Osa ya?” Grace bertanya,
setengah berbisik.
“Iya. Anda kenal?” wanita bernama Marta itu mengangguk kencang
dengan tatapan mata takjub.
Grace mengangguk, lalu diam. Marta
menatapnya, menuntut penjelasan.
“Teman di paduan suara gereja dulu…,”
ucap Grace.
Ia mendengar suaranya sendiri yang
menggantung, seperti kalimat pembuka dari sebuah dongeng panjang yang mendadak
terhenti.
“Oh… Kok dia nggak pernah cerita
punya teman hebat,” tukas Marta.
Grace tidak terlalu mendengarkan.
Ia menatap wajah laki-laki itu
lekat-lekat. Mata pria itu masih tertutup. Ada selang di hidungnya, dan balutan
di sekeliling kepalanya. Juga pada pundak, dada kiri, hingga ke tangannya.
Grace merasa jantungnya seperti terhempas.
“Kenapa dia?” ia bertanya pada Marta,
tanpa memandang wanita itu.
“Kecelakaan. Motornya menabrak
mobil.”
“Oh…” bibir Grace tak mampu mengurai
yang terasa di hatinya.
Marta menyorongkan sebuah kursi ke
sisi Grace. Gadis itu menolak dan mempersilakan Marta untuk duduk. Tak ada
kursi lagi di ruangan itu selain sofabed panjang di sudut ruangan.
“Saya kira dia masih di Australia…”
ucap Grace, setengah bertanya, mencari tahu.
Marta menggeleng.
“Ibunya meninggal, pekan lalu. Jadi
dia kembali.”
Grace tersentak.
Ia kecewa pria itu tak
memberitahunya. Teganya tak ada seorangpun yang memberitahukan kabar itu
padanya. Atau barangkali kini sudah tak ada yang tahu nomor kontak pribadinya
selain Osa. Pada satu masa, Ibu Osa
sudah seperti ibunya sendiri. Kini ia yang merasa lebih butuh tempat duduk.
Pengikut akun
twitternya genap 40.000 pagi ini. Mereka rajin mengomentari, menyemangati, juga
kadang mencaci kicauannya. Padahal yang dibutuhkan Grace dalam hidupnya hanya
beberapa orang yang sangat mengenal dan dikenalnya.
***
Laki-laki itu seharusnya bangun dua
jam setelah Grace meninggalkan ruangan itu. Harusnya begitu. Tapi hingga
keesokan harinya, mata itu masih juga tertutup. Jantung Grace berdebar kencang
ketika mendengar penjelasan Marta siang itu, saat ia kembali melangkahkan kaki
ke sana. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Marta.
Grace menghela
napas agar tak memperlihatkan penampakan serupa. Dengan hati-hati, di atas meja
di sisi tempat tidur Osa, ia meletakkan tempat makan berisi bubur ayam yang
sengaja ia buat sendiri untuk lelaki itu. Tanpa bawang goreng. Grace masih
ingat pria itu tak suka apa saja.
Ia menatap wajah
Osa. Alis tebalnya masih sama. Rambutnya kini plontos. Kulitnya lebih gelap.
Tubuhnya masih tampak tegap dan sedikit lebih gemuk. Grace ingin membisikkan
sesuatu ke telinga Osa, dan berharap akhirnya laki-laki itu membuka mata. Ia
rindu melihat mata teduh itu menatap dirinya. Tapi Grace menahan diri.
“Keluarga Osa di
mana? Mereka sudah tahu?” ujarnya mengalihkan perhatiannya sendiri dari wajah
Osa. Grace tahu persis siapa saja anggota keluarga Osa, sampai ke
sepupu-sepupunya. Ia merayakan empat Natal bersama mereka. Tanpa bertanya,
Grace tahu, Marta jelas bukan bagian keluarga Osa. Mungkin belum jika keduanya
adalah kekasih. Grace memilih tidak memikirkan kemungkinan itu.
“Kak Maria sedang menuju kemari,”
ujar Marta.
Wanita itu sepertinya semalaman tak
tidur.
Rambut tebalnya dibiarkan tergerai
tak karuan.
Grace jadi
semakin gelisah. Ia ingin menunggu hingga mata Osa terbuka, tapi dirinya tak
ingin bertemu Kak Maria. Wanita itu menangis saat tahu dirinya dan Osa
berpisah. Osa menahan diri berbulan-bulan agar tak memberitahunya. Entah sudah
berapa kali Kak Maria memperkenalkan dirinya sebagai adik iparnya.
“Ini adikku, calonnya Osa. Cantik
ya.” Grace masih mengingat suara itu. Hingga satu dua tahun setelah mereka
berpisah, Kak Maria masih saja mengiriminya cupcake buatannya setiap kali Grace
berulang tahun, dan di hari Natal.
Cupcake
terakhirnya adalah tiga jajar cupcake dihias icing berbentuk sosok wanita mirip dirinya dalam sebuah kotak TV.
Cupcake itu tiba di meja Grace, sehari setelah wajahnya pertama kali muncul
dalam berita prime time.
Grace anak
tunggal. Mimpinya memiliki kakak wanita yang penyayang sudah menjadi nyata.
Namun kemudian mimpinya yang lain memaksanya untuk menukar mimpi itu. Grace berusaha
menghalau rasa sedih dan tak berdaya saat ia melangkahkan kaki keluar gerbang
rumah sakit.
***
Laki-laki itu koma. Ia tidur dalam
jeda di antara dua kehidupan. Di sini tapi tak ada. Akan ke sana tapi belum
tiba. Grace merasa hatinya terbelah. Satu tiupan saja dan kekuatan yang tersisa
dalam dirinya akan remuk jadi serpihan.
Sarah sudah
diperbolehkan pulang kemarin. Tapi Grace kembali melangkahkan kaki ke rumah sakit
itu. Sekuat tenaga, ia menguatkan langkah kakinya menuju ruangan tempat Osa
berbaring.
Grace selalu
datang saat hari belum siang. Ia menghindari pertemuan dengan Kak Maria yang
baru akan datang setelah jam pulang kantor. Lagipula, petang hari adalah saat
ia sendiri sedang bertugas. Sementara gadis itu selalu di sana setiap pagi.
Marta.
“Ia
hanya punya Kak Maria… Dan aku…” katanya tiba-tiba pagi itu.
Itu dia. Ucapan gadis itu tiba-tiba
seperti embusan ringan yang meruntuhkan hati Grace menjadi kepingan. Marta
duduk di sebuah kursi di sisi kanan, dan Grace duduk di kiri tempat tidur Osa.
Sedetik, Grace ingin bangkit dari kursinya dan mengguncang-guncang pundak Osa.
Meneriakinya, kalau perlu, untuk membuatnya membuka mata. Sementara di saat
yang sama, ia ingin lari kencang. Merasa tak berhak lagi ada dalam ruangan itu.
Namun
ia ingin mendengar Osa bicara padanya, sekali saja. Apapun. Tentang bisnis
mainan yang ia rencanakan. Tentang masa kecilnya di boncengan kakaknya,
menjajakan kue buatan ibunya. Tentang nama-nama anjing yang sempat ingin mereka
miliki. Tentang rumah dengan pekarangan luas yang ingin mereka tanami banyak
cabai.
“Maaf,
kemarin bubur ayammu kuberikan pada pasien sebelah. Kasihan tidak ada yang
menunggui,” ujar Marta sambil berjalan menuju dispenser, menuangkan minuman.
Grace hanya mengangguk. Tak sadar Marta sedang membelakanginya, tak melihat
anggukan itu.
Ia
memberikan segelas air putih, yang disambut Grace dengan canggung. Hanya ia
minum seteguk. Aroma obat-obatan dan cairan antiseptik khas rumah sakit membuat
Grace mendadak pening. Ia tak pernah suka berlama-lama berada di sana.
“Kamu
pernah membaca blog Osa?”
Grace
terkejut, tapi hanya menggeleng perlahan. Matanya mengikuti barisan semut yang
menggotong remah roti menuju pintu. Tidak. Ia tidak pernah berani mencari tahu
hanya untuk semakin tahu apa yang sudah ia lewatkan.
“Di situ ia seperti menceritakan kesehariannya
pada seseorang. Gadis itu ia sebut Schatzi.” Jantung Grace seperti melesat ke
udara.
Semua terjadi
seperti skenario yang tinggal dilakonkan. Osa pertama kali menyebutnya dengan
panggilan itu saat mereka berdua baru sepekan tiba di Jerman. Berapa persen
kemungkinan teman satu paduan suara, mendapat beasiswa yang sama, ke kota dan
negara yang sama? Nyaris nol. Tapi terjadi.
Semua
menjadi lebih ringan karena mereka bersama. Orangtua mereka senang karena
keduanya saling menjaga di negeri antah berantah tanpa keluarga. Osa dan Grace
adalah keluarga bagi satu sama lain.
Setelah
lulus dan pulang ke Jakarta, Osa mendapat pekerjaan idamannya di Australia.
Sesuai rencana, Osa melamar Grace. Rencananya, setelah menikah, mereka berdua
akan tinggal bersama di Melbourne. Tadinya begitu. Hingga mimpi Grace yang lain
menjadi nyata. Mimpi yang tak sejalan dengan mimpi Osa dan impian masa kuliah
mereka.
Dalam
sebuah audisi, Grace dengan cepat diminta menjadi pembaca berita tetap di
stasiun televisi impiannya di Jakarta. Gadis itu harus memilih. Osa memintanya
memilih. Dan ia memilih.
Kini, sepuluh tahun berlalu, apa yang
ia ceritakan pada dirinya di blog yang disebut Marta? Apa alamat blog itu?
Grace setengah mati berusaha bersikap
tak ingin tahu, padahal gemuruh dalam hatinya mengharap sebaliknya. Namun setidaknya
kini ia tahu, Osa tak pernah benar-benar membiarkannya pergi. Kenyataan yang
membahagiakan, sekaligus menyiksanya.
***
Hari ini ulang tahun Osa. Hari
kedelapan ia koma. Grace tak pernah perlu mencatatnya pada agenda ataupun alarm
pengingat dalam telepon genggam. Sembilan April adalah tanggal yang ia ingat
seperti ia mengingat hari lahir ibu dan ayahnya. Seumur hidup, sudah lebih dari
sepuluh kali mereka saling mengucapkan selamat ulang tahun satu sama lain meski
tak pernah bertemu. Lebih dari sepuluh kali juga, Osa selalu menutup ucapannya
dengan kalimat yang sama : Life is short.
Make it fabulous.
Osa tak pernah
tahu betapa berartinya kalimat itu untuk Grace. Kata-kata yang menggerakkan
langkah Grace setiap hari. Membuatnya bersemangat setiap kali membuka mata di
pagi hari. Satu dari sekian banyak hal yang membuatnya selalu menantikan 9
April. Saat ia mengisi ulang energinya untuk setahun ke depan. Saat ia punya
alasan untuk menghubungi Osa selain Hari Natal dan Paskah. Di 362 hari lain, ia
menahan diri.
Marta
belum ada saat Grace memasuki ruangan hari itu. Ia berjingkat mendekati tempat
tidur Osa, seakan ia bisa
membangunkan laki-laki itu. Rasa haru, sedih, sekaligus bahagia menyergapnya.
Ia bahagia bisa berada sedekat itu dengan Osa. Perlahan, Grace memegang tangan
Osa. Hangat.
“Selamat ulang
tahun, Osa. Hidup ini singkat. Jadikan hidupmu luar biasa,” Grace berbisik.
Lidahnya tercekat saat ia mengucap ‘hidup ini singkat.’ Tentu tak sesingkat ini
kan? Tak bisakah ia bangun? Terlalu banyak hal yang ingin ia ungkap. Grace
memohon, entah pada siapa.
Genggaman
tangan itu seketika ia lepas ketika Marta memasuki ruangan, mengucap selamat
pagi. Grace buru-buru menyeka air matanya. Marta mendekati Osa dan melakukan
persis seperti yang sebelumnya dilakukan Grace. Membisikkan selamat ulang
tahun. Minus mantra penutup yang
diucapkan Grace. Lalu hening menyergap keduanya. Mereka kembali duduk di kursi
yang sama. Di sisi kanan dan kiri tempat tidur Osa.
Terdengar
keributan di ruangan sebelah. Dua perawat pria datang setengah berlari
mendorong tabung gas raksasa. Untuk kesekian kalinya, napas pasien sebelah itu
hampir terhenti selamanya. Grace mengira-ngira bagaimana ia sendiri akan mati.
Dan siapa yang akan ada di sisinya di saat terakhir itu.
“Jadi kamu wanita yang Osa sebut Schatzi…”
Kalimat Marta melesat seperti anak-anak
panah yang menancap di sekeliling Grace.
Membuatnya tak dapat lari sembunyi.
Seketika degup jantungnya sendiri
sudah terdengar terlalu riuh untuk diredakan.
“Kak Maria tak sengaja mengucapkannya
semalam.”
Ada hening yang dipaksakan tetap ada.
“Itu…sudah lama berlalu,” ucap Grace
akhirnya, menatap ubin di bawahnya.
“Lama dan baru itu tidak pernah soal
waktu,” tukas Marta. “Seperti juga jarak. Osa tak pergi, tapi juga tak di
sini,” katanya lagi.
“Kamu lebih memilih mimpimu daripada
aku?” Grace masih bisa mendengar suara Osa. Juga setiap detik dan detail kata
yang mereka berdua ucapkan kala itu.
Aku ingin keduanya. Itu terlalu egois ya? Bisik Grace dalam hatinya.
“Ujian cinta adalah pengorbanan, dan
ukuran cinta adalah tidak mementingkan diri sendiri.” Sepuluh tahun dan Grace
masih tak bisa memahami kalimat itu dengan genap.
“Kamu ingin aku mencintaimu dengan
mengorbankan mimpiku?” ia ingat, pertanyaannya itu membuat cahaya di mata Osa seketika
meredup.
“Kenapa bukan kamu saja yang
mengorbankan mimpimu demi aku?”
Osa terdiam.
“Aku akan mencintaimu dengan
mengorbankan mimpiku dan kamu akan mencintaiku dengan mengorbankan mimpimu.
Dengan begitu akan ada dua orang yang saling mencintai tapi tidak pernah
mengejar mimpi mereka.[1]”
Seumur hidup, Grace tidak menyesal
mengucapkan hal rasional yang ia anggap kebenaran itu. Kebenaran yang menikam
keduanya. Tapi ia menyesal kata-kata itu menyapu sinar di mata Osa.
“Amazing Grace, jangan lepaskan
anugerahmu. Aku juga akan menyandang nama dan menempuh jalanku.” Sinar di mata
Via Dolorosa padam dan tak pernah terbit lagi seiring ia melepaskan tangan
Grace dari genggamannya.
Grace lekas mengerjap-ngerjapkan
kelopak matanya ketika air mata itu siap mengembang lagi. Perlahan ia menaiki mobil
dan menutup pintu.
“Ibu sudah selesai kemoterapi?” Pak
Yahya, sopir pribadi Grace menatap dirinya dari kaca di atas kemudi.
Grace menggeleng. “Besok saja, Pak,”
suaranya serak.
Kanker darah. Sekuat tenaga ia
menyembunyikan dua kata itu dari Osa. Dari siapapun selain keluarga dan orang
di rumahnya. Sepuluh tahun ia menjalani pengobatan yang tak pernah menjanjikan
kesembuhan. Kadang ia berpikir kematian terdengar lebih indah daripada
penantian akan kematian itu sendiri. Setiap pagi, Grace bersyukur masih bisa
membuka mata, sekaligus juga selalu sadar bahwa hidupnya memang benar-benar
singkat.
Separuh
hatinya hancur, sementara separuh yang lain lega saat Osa melepaskan tangannya.
Saat itu usianya diperkirakan tinggal dua tahun. Ia telah dan selalu memilih
Osa dengan mengorbankan mimpinya yang paling berharga. Mimpi mereka berdua. Ia
hanya ingin Osa bahagia, tanpa membuatnya bersedih kehilangan dirinya.
“Via Dolorosa, jalan kita sebenarnya
sama,” bisik Grace saat mobilnya bergerak meninggalkan pelataran rumah sakit.
***
Rumah Terakhir
Pada Desember, tujuh tahun silam, Pakdhe
Yok, kakak laki-laki tertua Ibu, datang ke rumah dengan menyandang tas kanvas di
punggung, dan harapan yang hampir pudar di hatinya. Rambutnya yang sudah
memutih dibiarkan gondrong, diikat ke belakang. Kumisnya tampak sudah beberapa
waktu tak dicukur. Setidaknya tiga bulan
sekali, ia datang bermalam tiga empat hari di rumahku. Namun mulai malam itu,
kata Ibu, ia akan tinggal seterusnya.
Sejak
kecil, aku selalu melonjak gembira setiap melihat sepasang sepatu keds putih
bertengger di rak sepatu di halaman rumah. Pertanda Pakdhe Yok sedang
berkunjung. Kadang ia datang bersama istrinya, tapi lebih sering bertandang
seorang diri. Setiap kali berkunjung, ia selalu membawakanku banyak hadiah,
betapapun Ibuku selalu mengingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Sekotak
donat, boneka yang bisa bicara, sepasang sepatu dengan lampu di tumitnya. Aku selalu berdebar-debar saat ia memanggil
namaku, lalu memasukkan tangannya ke dalam tas. Menebak-nebak apa yang akan
dikeluarkannya kali ini, seperti seorang anak yang untuk pertama kalinya menonton
pertunjukan sulap.
Sejak aku berseragam putih kelabu, ia mengaku mulai kebingungan
membawakanku apa. Kubilang tak perlu. Tapi ketika berkunjung kembali pada hari
raya Lebaran, ia tetap membawakanku sesuatu. Sebuah tiket konser grup musik
favoritku yang akhirnya, dia tak tahu, tak jadi kugunakan karena Ibu tak
mengizinkanku pergi.
Sikapnya selalu
hangat, meski aku tidak selalu betah berlama-lama menanggapi obrolannya. Kata Ibu,
baginya, aku seperti anak kandung yang tidak pernah dimilikinya. Istrinya, Budheku,
mengidap kanker rahim. Pasangan suami istri itu tinggal berdua di sebuah rumah
berhalaman luas. Bertiga jika ditambah Ponpon, anjing berbulu lebat yang gemar
mengibaskan ekornya sambil menyalak, menyapa siapapun.
Di tengah halaman,
ada pohon jambu yang saat kecil sering kupanjat. Ketakutan selalu berhasil
mengalahkan keinginanku untuk sampai ke puncaknya. Di bawah pohon itu, ada sebuah
bangku bambu panjang tempat aku dan sepupu-sepupu dari saudara Ibu yang lain
biasa duduk memandangi kembang api yang kami nyalakan sendiri menjelang malam
tahun baru.
Garasi luas di
rumah itu tak pernah menjadi tempat parkir mobil. Kendaraan yang mereka miliki hanya
sebuah sepeda kumbang dan sebuah vespa biru tua usang yang sudah sering mogok.
Sebagai gantinya, ada jajaran bangku dan sebuah meja di bagian dalam garasi.
Sebuah salib polos tergantung di dindingnya. Setiap Minggu pagi, sekitar tiga puluh keluarga jemaat
beribadah di sana. Pakdhe Yok, pendetanya, yang memimpin ibadat.
Pakdheku hidup
dari aktivitasnya menjadi kontributor tetap di beberapa media rohani dan umum. Budheku
adalah seorang guru sekolah dasar. Keduanya adalah vegetarian yang mencukupi
kebutuhan hariannya dari hasil pekarangan rumah yang mereka tanami sendiri. Sesekali,
ada jemaat datang membawakan setandan pisang hasil kebun mereka, atau beberapa
liter beras saat mereka sedang merayakan sesuatu.
Sore itu, Pakdhe
Yok datang sesaat setelah Ibu membentangkan sprei baru di kamar tamu. Ia masih saja memanggil namaku dan mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya. Usiaku saat itu 18, menjelang masuk kuliah. Ia
memberikan sebuah handuk persegi yang label harganya lupa dicopot. Benda itu dibeli
di minimarket, sekitar lima kilometer sebelum mencapai rumahku. Senyum lebar terukir di wajahnya saat
memberikan handuk itu. Aku menerimanya sambil balas tersenyum. Namun senyumku
segera sirna saat kutatap matanya yang tak sehidup dulu.
***
Pakdhe Yok adalah orang terakhir yang
bertahan di kampungnya. Saat itu budheku telah genap dua tahun meninggal.
Pakdhe mengemasi barang-barangnya, setelah untuk kesekian, dan barangkali
terakhir kalinya, tim evakuasi mendesak,
bahkan memohonnya untuk pergi. Desa tempatnya tinggal, Siring, Sidoarjo, telah dikepung
lumpur. Genangan itu mengandung gas beracun yang membahayakan nyawa.
Tak banyak barang
yang ia bawa dalam tasnya. Hanya beberapa pasang pakaian yang bahkan sudah
kukenali sejak bertahun-tahun lalu, album foto, dan buku-buku agama. Aku
memperhatikannya menata satu demi satu barangnya di dalam kamar, di rumah kami.
Pigura kecil terakhir yang ditempatkannya di meja adalah foto Ponpon. Anjing
itu sudah dua pekan tak ditemukan di mana pun, bagaimanapun Pakdheku mencarinya
untuk keluar bersama dari kampung yang akan tenggelam itu.
Di sisi foto
Ponpon, ada foto Pakdhe Yok dan Budhe, tertawa bahagia, saling menggenggam
tangan, dengan latar belakang Candi Borobudur. Di tengah, ada foto mereka
berdua, masih bergandengan, berdiri tersenyum di antara jemaat gerejanya, di halaman
rumah, di bawah pohon jambu. Kini semua
orang dalam foto itu sudah berpencar tinggal di tempat-tempat yang berbeda.
Aku menatap wajah
mereka satu persatu, sambil membayangkan bagaimana mereka melanjutkan hidup
sambil membawa duka setelah kehilangan rumah, sekolah, tempat bekerja, tempat
beribadah, kebun, barangkali juga ternak dan piaraan. Selama bermenit-menit,
kami memandangi jajaran foto itu dalam diam. Saat itu, untuk pertama kalinya
dalam hidupku, aku memahami dimensi lain yang lebih dalam dari kesepian.
Sejak malam itu,
kursi di meja makan kami bertambah. Obrolan antara Ayah dan Pakdhe di
meja makan biasanya kemudian akan berlanjut ke depan televisi. Namun obrolan
itu akan mereda setiap kali berita tiba pada segmen berita dari luar Jakarta. Pakdheku,
jelas, selalu menanti berita seputar Sidoarjo dan lumpur yang melumpuhkan hampir
seluruh sendi kehidupan warganya.
Kadang berita yang dinanti tak
ada, dan aku bisa bernapas lega. Namun tiap kali berita itu muncul, Ayahku akan
dengan sigap mengencangkan volume suara TV. Suasana akan berubah hening,
cenderung mencekam, seperti menonton film horor. Tapi kali ini, film di hadapan
kami itu nyata.
Semburan
lumpur menenggelamkan 16 desa. Tiga belas orang meninggal, dan 50.000
jiwa
mengungsi. Tigabelas ribu keluarga kehilangan tempat tinggal. Ribuan hektar
tanah
pertanian, pabrik, sekolah, dan kantor pemerintahan tenggelam. Bencana ini
diduga
bermula dari kesalahan prognosis pengeboran...
Selama beberapa
saat setelah berita itu berlalu, rumah akan senyap. Jeda komersial baru membuat
kami menghembuskan napas setelah menahannya sekian lama. Seakan satu hembusan
saja bisa makin mengacaukan segalanya.
Hatiku serasa ikut
tertelan hingga melesak ke dasar setiap kali melihat pemandangan peta genangan
lumpur itu di televisi. Menyadari bahwa salah satu atap di antara ribuan rumah
yang siap tenggelam sepenuhnya itu adalah atap rumah Pakdhe. Tak jauh dari
jajaran rumah itu, ada pemakaman umum tempat jasad Budhe beristirahat
selamanya. Selama dua tahun, setiap sore, Pakdhe bersepeda mengunjungi makam
itu. Ia tetap mengayuh sepedanya bahkan saat hari hujan. Hingga tiba hari saat
makam itu sedikit demi sedikit tenggelam.
***
Sehari setelah Hari Raya Natal, aku membawa
sepucuk kartu ucapan Selamat Natal ke kamar Pakdhe Yok. Kartu kesebelas yang ia
terima di Natal yang sama sejak kepindahannya ke rumah kami. Kali ini, amplop
yang diterimanya agak besar. Di antara kartu ucapan itu, terselip sebuah kertas
dengan gambar yang dibuat dari goresan krayon. Ia memperlihatkan kertas itu
padaku.
“Gambar seorang
murid sekolah minggu di gereja Pakdhe
dulu,” katanya datar. Tapi sorot matanya meredup. Aku tak mengenal si pengirim kartu.
Namun gambar itu menyayat hati. Anak itu menggambar sebuah gereja yang miring
dan setengah tenggelam. Di sekelilingnya, ada genangan berwarna kelabu yang arsiran
warnanya sengaja dibuat tak rapi. Atau barangkali digambar dengan kemarahan. Di
sisi kanannya, bocah itu menggambar dirinya sendiri dengan air mata di pipinya.
Pakdhe menempel gambar itu pada kalender di sisi mejanya.
Di hari tertentu, Pakdheku bangun
pagi-pagi benar. Naik kendaraan umum ke pasar, lalu pulang dan memasak untuk
kami sekeluarga. Masakan Jawa. Tanpa daging. Namun entah bagaimana, sama enaknya.
Kebiasaannya memasak justru semakin rutin saat bulan puasa tiba. Ia yang
memasakkan menu sahur dan buka kami sekeluarga.
Menjelang Hari
Raya Idul Fitri, dengan cekatan, ia membantu mencetak adonan kue kering yang
sudah dipipihkan menjadi aneka bentuk. Aku, Ibu, dan Pakdhe mengerjakan semuanya
sambil menonton TV di ruang tengah. Berita petang terdengar saat kami tinggal
menghias kue dengan cokelat.
Pakdhe Yok bersiap
membuat selengkung senyum di atas kue ketiga yang sedang dihiasnya dengan spuit berisi cokelat, saat berita itu
terdengar. Lumpur Sidoarjo. Sudah berbulan-bulan kami tak mengikuti
perkembangannya. Kian hari, peristiwa itu makin jarang diberitakan. Tergeser
berita yang lebih baru.
Aku serta merta
menggapai remote dan mengencangkan
suara TV.
Penelitian
terbaru dari University of Bonn, Jerman, mengungkap bahwa semburan
lumpur
disebabkan oleh gempa jarak jauh 6,3 Skala Richter, dua hari sebelumnya di
Jogja.
Bukan dari penggalian. Sehingga peristiwa ini tepat dikategorikan sebagai
bencana
alam…
Spuit
berisi cokelat cair yang sedang dipegang
Pakdhe Yok jatuh ke lantai, menciptakan genangan yang segera melebar ke segala
arah.
“Maaf! Maaf!”
ucapnya, setengah berlari mengambil lap dari dapur.
Aku dan Ibu saling
bertatapan. Wajah kue yang sedang dihias
Pakdhe menjadi bentuk bibir yang melengkung ke bawah. Wajah yang bersedih.
Ibu bergegas ke
belakang, mengambil kain pel, melihat genangan itu makin melebar. Aku masih
terdiam antara terkejut dan berusaha memahami berita yang baru saja kami dengar.
“Nanti Pakdhe
perbaiki,” kata Pakdhe sambil mengelap lantai, melihatku memperhatikan kue
berwajah sedih itu. Aku ganti mengamati wajah Pakdhe yang tampak letih.
Mendadak
kehilangan rumah saja sudah mengendapkan luka. Tapi yang dialami Pakdheku
barangkali setara dengan pengusiran paksa terhadap orang yang tidak melakukan
apapun selain kebaikan. Seakan seketika ia didesak meninggalkan seluruh hidup,
jalinan pertemanan dan cinta yang telah dibangunnya tahun demi tahun. Menerima
kejadian itu sebagai bencana alam, atau sesuatu yang belum jelas benar, membuat
luka itu makin dalam.
“Tak usah
dipikirkan, Pakdhe…” ucapku pelan.
Aku tertegun
mendengar kalimat yang keluar dari mulutku sendiri.
Kalimat yang
sekian lama ingin kuucapkan pada beliau.
Ia menoleh padaku.
Mata kami bertemu beberapa lama.
Lalu mata itu
berkaca-kaca. Ia mengangguk-angguk. Mengusap kepalaku dengan tangan kirinya,
lalu beranjak pergi ke kamar.
***
Hari pertamaku bekerja sebagai guru taman
kanak-kanak bertepatan dengan peringatan lima tahun bencana lumpur itu terjadi.
Aku mengingatnya benar karena Pakdhe, di usianya yang sudah 70, saat itu bersikeras
ikut berdemonstrasi ke istana.
Pada 18 Agustus
siang, aku pulang membawa seuntai bendera merah putih yang dibuat
murid-muridku. Pakdheku sedang duduk-duduk menatap kolam belakang ketika aku
menyapanya dengan ceria. Akhir-akhir ini, ia sering hanya duduk termenung.
“Selamat Hari
Kemerdekaan, Pakdhe!”
Ia menoleh padaku,
memperhatikan lambaian benderaku, lalu balas tersenyum.
Namun kalimat
balasannya setelah itu membuat senyumku seketika lenyap.
“Merdeka dari apa, Cah Ayu[1]?”
Aku terkesiap.
Meski masih bisa membuat segaris senyum.
Lima tahun Pakdhe
Yok tinggal bersama kami. Tapi jauh dalam hatinya, aku tahu bahwa ia tak pernah
benar-benar hidup sepenuhnya di antara kami. Hati dan sebagian jiwanya masih
dan selalu ada di Siring. Bersama makam Budhe, Ponpon yang hilang, dan rumah
berpohon jambu yang tak akan pernah terlihat lagi.
“Pada akhirnya, satu-satunya
hal yang paling Pakdhe khawatirkan di dunia ini, Cah Ayu, hanyalah hilang ingatan.
Ingatan, adalah satu-satunya tempat
Budhemu tetap hidup. Di mana Pakdhe bisa berkunjung tiap hari. Hanya kenanganlah
yang bisa Pakdhe putar kapanpun. Rumah kami sudah lenyap. Tapi semua yang
terjadi di bawah atapnya tetap tinggal selamanya di sini, dan di sini,” ia
menunjuk dada dan kepalanya.
Genangan di
pelupuk mataku tumpah ketika aku memeluknya.
Pakdhe Yok meninggal
beberapa pekan kemudian. Hingga akhir hidupnya, ia adalah satu dari ratusan
orang yang masih menanti pembayaran ganti rugi akibat lumpur yang menelan rumah
mereka. Ganti rugi yang tentu kini tak lagi dibutuhkan Pakdhe. Akhirnya ia tiba
di rumah yang tak akan pernah dirampas lagi darinya.
***
Dimuat di Majalah Femina, 2015
VIA DOLOROSA
Papan itu seperti memberitahu Grace
untuk berhenti dan menepi. Di atasnya, tertulis sebuah nama jalan. Via
Dolorosa. Jalan kesengsaraan. Tak banyak orang tua yang menggunakan nama itu
sebagai nama yang mereka berikan untuk anak mereka.
Grace hanya
kenal satu orang yang menyandangnya. Nama itu pertama kali ia baca pada suatu
sore di sebuah papan di belakang gereja. Tertulis di antara belasan nama lain,
anggota paduan suara di gerejanya yang terpilih mengikuti lomba.
“Oh kamu yang namanya Amazing Grace.
Kukira hanya namaku yang serupa judul lagu,” ujar si pemilik nama yang ternyata
seorang pria. Grace tersipu sambil menyambut jabatan tangannya.
“Osa,” laki-laki itu menyebut nama
panggilannya.
Saat itu mereka baru lulus sekolah
menengah atas.
Kini nama itu
terpampang pada sebuah papan nama kecil yang tergantung di sebuah tempat tidur
pasien. Baru saja dipan itu didorong melintas di depannya. Saking terkejutnya,
Grace tak sempat melongok wajah si pasien yang berbaring di atasnya. Ia berdiri
tertegun di persimpangan lorong rumah sakit.
Baru beberapa
menit lalu ia berjalan keluar dari paviliun seberang, menengok sahabatnya,
Sarah, yang sedang dirawat. “Enggak! Aku nggak sakit kok!” sergah Sarah,
menggulung lengan bajunya. Di mata Grace, gadis itu memang tak pernah tampak
sakit. Jiwanya sekokoh gugusan gunung yang sering ia tanjak.
“Iya, kamu nggak
sakit. Cuma hilang di gunung. Kalau nggak cepat ditemukan, bisa pingsan
kelelahan, jatuh ke jurang, atau dipatuk ular,” Tante Nat, mama Sarah, menyahut,
gusar. Sarah menyeringai lebar pada Grace, yang dibalas kerlingan mata. Grace
tahu, meski nyawanya seinchi menuju maut, ini tidak akan jadi kali terakhir
sahabatnya itu memanggul ranselnya dan menapakkan kaki menaiki gunung.
“Itulah harga
yang harus kamu bayar untuk kesenangan semu. Kau contohlah Grace. Sekarang
sudah jadi pembawa berita terkenal. Kamu naik gunung terus, mau jadi apa?”
Tante Nat terus berseloroh sambil melipat ulang pakaian putrinya, dan
memasukkannya ke dalam lemari.
Sarah memutar
bola matanya. Grace hanya tersenyum. Tante Nat tak tahu hasrat itu. Letupan
serupa kembang api yang terus datang tiap malam, mengajak untuk mengejar mimpi.
Selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapainya.
Grace masih berdiri terpekur di
koridor, mengingat ucapan Tante Nat. Kini, seakan semesta bahu membahu
menghamparkannya pada ingatan akan harga yang ia bayar untuk mimpinya sendiri.
Ragu-ragu, Grace melangkah perlahan menuju ruangan tempat dipan berpapan nama
Via Dolorosa didorong. Langkahnya seketika terhenti saat seorang wanita
berambut sebahu bergegas memasuki ruangan itu.
Grace bimbang.
Cepat-cepat, ia berjalan melintas tanpa menengok ke dalam ruangan itu. Tapi
langkahnya kembali terhenti di ambang gerbang pintu rumah sakit. Lalu kaki itu
berjalan kembali ke arah semula.
Ia mengokohkan
pijakan kakinya, berdiri di depan pintu ruangan yang terbuka. Dua perawat
sedang memasang selang infus dan mengatur posisi dipan. Wanita berambut sebahu
itu duduk di ujung tempat tidur. Ia menengok ke pintu dan tersentak melihat
kehadiran Grace.
“Ya?” tanyanya sambil berdiri.
Grace menatap wanita itu, berusaha
agar tak tampak sedang berpikir.
“Saya…Amazing Grace,” ujarnya kikuk.
Wanita itu mengangguk. “Saya tahu.”
“Marta,” wanita itu menjabat tangannya.
Grace baru sadar tangannya sudah
terulur lebih dulu.
“Saya menonton siaran berita Anda
setiap hari,” wanita itu buru-buru menambahkan.
“Terima kasih,” Grace tersenyum.
Matanya sekilas melihat papan nama
yang tergantung di tempat tidur. Kemudian dengan cepat beralih ke wajah si
pasien yang berbaring di atas dipan. Napasnya sesak.
“Dia…Osa ya?” Grace bertanya,
setengah berbisik.
“Iya. Anda kenal?” wanita bernama Marta itu mengangguk kencang
dengan tatapan mata takjub.
Grace mengangguk, lalu diam. Marta
menatapnya, menuntut penjelasan.
“Teman di paduan suara gereja dulu…,”
ucap Grace.
Ia mendengar suaranya sendiri yang
menggantung, seperti kalimat pembuka dari sebuah dongeng panjang yang mendadak
terhenti.
“Oh… Kok dia nggak pernah cerita
punya teman hebat,” tukas Marta.
Grace tidak terlalu mendengarkan.
Ia menatap wajah laki-laki itu
lekat-lekat. Mata pria itu masih tertutup. Ada selang di hidungnya, dan balutan
di sekeliling kepalanya. Juga pada pundak, dada kiri, hingga ke tangannya.
Grace merasa jantungnya seperti terhempas.
“Kenapa dia?” ia bertanya pada Marta,
tanpa memandang wanita itu.
“Kecelakaan. Motornya menabrak
mobil.”
“Oh…” bibir Grace tak mampu mengurai
yang terasa di hatinya.
Marta menyorongkan sebuah kursi ke
sisi Grace. Gadis itu menolak dan mempersilakan Marta untuk duduk. Tak ada
kursi lagi di ruangan itu selain sofabed panjang di sudut ruangan.
“Saya kira dia masih di Australia…”
ucap Grace, setengah bertanya, mencari tahu.
Marta menggeleng.
“Ibunya meninggal, pekan lalu. Jadi
dia kembali.”
Grace tersentak.
Ia kecewa pria itu tak
memberitahunya. Teganya tak ada seorangpun yang memberitahukan kabar itu
padanya. Atau barangkali kini sudah tak ada yang tahu nomor kontak pribadinya
selain Osa. Pada satu masa, Ibu Osa
sudah seperti ibunya sendiri. Kini ia yang merasa lebih butuh tempat duduk.
Pengikut akun
twitternya genap 40.000 pagi ini. Mereka rajin mengomentari, menyemangati, juga
kadang mencaci kicauannya. Padahal yang dibutuhkan Grace dalam hidupnya hanya
beberapa orang yang sangat mengenal dan dikenalnya.
***
Laki-laki itu seharusnya bangun dua
jam setelah Grace meninggalkan ruangan itu. Harusnya begitu. Tapi hingga
keesokan harinya, mata itu masih juga tertutup. Jantung Grace berdebar kencang
ketika mendengar penjelasan Marta siang itu, saat ia kembali melangkahkan kaki
ke sana. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Marta.
Grace menghela
napas agar tak memperlihatkan penampakan serupa. Dengan hati-hati, di atas meja
di sisi tempat tidur Osa, ia meletakkan tempat makan berisi bubur ayam yang
sengaja ia buat sendiri untuk lelaki itu. Tanpa bawang goreng. Grace masih
ingat pria itu tak suka apa saja.
Ia menatap wajah
Osa. Alis tebalnya masih sama. Rambutnya kini plontos. Kulitnya lebih gelap.
Tubuhnya masih tampak tegap dan sedikit lebih gemuk. Grace ingin membisikkan
sesuatu ke telinga Osa, dan berharap akhirnya laki-laki itu membuka mata. Ia
rindu melihat mata teduh itu menatap dirinya. Tapi Grace menahan diri.
“Keluarga Osa di
mana? Mereka sudah tahu?” ujarnya mengalihkan perhatiannya sendiri dari wajah
Osa. Grace tahu persis siapa saja anggota keluarga Osa, sampai ke
sepupu-sepupunya. Ia merayakan empat Natal bersama mereka. Tanpa bertanya,
Grace tahu, Marta jelas bukan bagian keluarga Osa. Mungkin belum jika keduanya
adalah kekasih. Grace memilih tidak memikirkan kemungkinan itu.
“Kak Maria sedang menuju kemari,”
ujar Marta.
Wanita itu sepertinya semalaman tak
tidur.
Rambut tebalnya dibiarkan tergerai
tak karuan.
Grace jadi
semakin gelisah. Ia ingin menunggu hingga mata Osa terbuka, tapi dirinya tak
ingin bertemu Kak Maria. Wanita itu menangis saat tahu dirinya dan Osa
berpisah. Osa menahan diri berbulan-bulan agar tak memberitahunya. Entah sudah
berapa kali Kak Maria memperkenalkan dirinya sebagai adik iparnya.
“Ini adikku, calonnya Osa. Cantik
ya.” Grace masih mengingat suara itu. Hingga satu dua tahun setelah mereka
berpisah, Kak Maria masih saja mengiriminya cupcake buatannya setiap kali Grace
berulang tahun, dan di hari Natal.
Cupcake
terakhirnya adalah tiga jajar cupcake dihias icing berbentuk sosok wanita mirip dirinya dalam sebuah kotak TV.
Cupcake itu tiba di meja Grace, sehari setelah wajahnya pertama kali muncul
dalam berita prime time.
Grace anak
tunggal. Mimpinya memiliki kakak wanita yang penyayang sudah menjadi nyata.
Namun kemudian mimpinya yang lain memaksanya untuk menukar mimpi itu. Grace berusaha
menghalau rasa sedih dan tak berdaya saat ia melangkahkan kaki keluar gerbang
rumah sakit.
***
Laki-laki itu koma. Ia tidur dalam
jeda di antara dua kehidupan. Di sini tapi tak ada. Akan ke sana tapi belum
tiba. Grace merasa hatinya terbelah. Satu tiupan saja dan kekuatan yang tersisa
dalam dirinya akan remuk jadi serpihan.
Sarah sudah
diperbolehkan pulang kemarin. Tapi Grace kembali melangkahkan kaki ke rumah sakit
itu. Sekuat tenaga, ia menguatkan langkah kakinya menuju ruangan tempat Osa
berbaring.
Grace selalu
datang saat hari belum siang. Ia menghindari pertemuan dengan Kak Maria yang
baru akan datang setelah jam pulang kantor. Lagipula, petang hari adalah saat
ia sendiri sedang bertugas. Sementara gadis itu selalu di sana setiap pagi.
Marta.
“Ia
hanya punya Kak Maria… Dan aku…” katanya tiba-tiba pagi itu.
Itu dia. Ucapan gadis itu tiba-tiba
seperti embusan ringan yang meruntuhkan hati Grace menjadi kepingan. Marta
duduk di sebuah kursi di sisi kanan, dan Grace duduk di kiri tempat tidur Osa.
Sedetik, Grace ingin bangkit dari kursinya dan mengguncang-guncang pundak Osa.
Meneriakinya, kalau perlu, untuk membuatnya membuka mata. Sementara di saat
yang sama, ia ingin lari kencang. Merasa tak berhak lagi ada dalam ruangan itu.
Namun
ia ingin mendengar Osa bicara padanya, sekali saja. Apapun. Tentang bisnis
mainan yang ia rencanakan. Tentang masa kecilnya di boncengan kakaknya,
menjajakan kue buatan ibunya. Tentang nama-nama anjing yang sempat ingin mereka
miliki. Tentang rumah dengan pekarangan luas yang ingin mereka tanami banyak
cabai.
“Maaf,
kemarin bubur ayammu kuberikan pada pasien sebelah. Kasihan tidak ada yang
menunggui,” ujar Marta sambil berjalan menuju dispenser, menuangkan minuman.
Grace hanya mengangguk. Tak sadar Marta sedang membelakanginya, tak melihat
anggukan itu.
Ia
memberikan segelas air putih, yang disambut Grace dengan canggung. Hanya ia
minum seteguk. Aroma obat-obatan dan cairan antiseptik khas rumah sakit membuat
Grace mendadak pening. Ia tak pernah suka berlama-lama berada di sana.
“Kamu
pernah membaca blog Osa?”
Grace
terkejut, tapi hanya menggeleng perlahan. Matanya mengikuti barisan semut yang
menggotong remah roti menuju pintu. Tidak. Ia tidak pernah berani mencari tahu
hanya untuk semakin tahu apa yang sudah ia lewatkan.
“Di situ ia seperti menceritakan kesehariannya
pada seseorang. Gadis itu ia sebut Schatzi.” Jantung Grace seperti melesat ke
udara.
Semua terjadi
seperti skenario yang tinggal dilakonkan. Osa pertama kali menyebutnya dengan
panggilan itu saat mereka berdua baru sepekan tiba di Jerman. Berapa persen
kemungkinan teman satu paduan suara, mendapat beasiswa yang sama, ke kota dan
negara yang sama? Nyaris nol. Tapi terjadi.
Semua
menjadi lebih ringan karena mereka bersama. Orangtua mereka senang karena
keduanya saling menjaga di negeri antah berantah tanpa keluarga. Osa dan Grace
adalah keluarga bagi satu sama lain.
Setelah
lulus dan pulang ke Jakarta, Osa mendapat pekerjaan idamannya di Australia.
Sesuai rencana, Osa melamar Grace. Rencananya, setelah menikah, mereka berdua
akan tinggal bersama di Melbourne. Tadinya begitu. Hingga mimpi Grace yang lain
menjadi nyata. Mimpi yang tak sejalan dengan mimpi Osa dan impian masa kuliah
mereka.
Dalam
sebuah audisi, Grace dengan cepat diminta menjadi pembaca berita tetap di
stasiun televisi impiannya di Jakarta. Gadis itu harus memilih. Osa memintanya
memilih. Dan ia memilih.
Kini, sepuluh tahun berlalu, apa yang
ia ceritakan pada dirinya di blog yang disebut Marta? Apa alamat blog itu?
Grace setengah mati berusaha bersikap
tak ingin tahu, padahal gemuruh dalam hatinya mengharap sebaliknya. Namun setidaknya
kini ia tahu, Osa tak pernah benar-benar membiarkannya pergi. Kenyataan yang
membahagiakan, sekaligus menyiksanya.
***
Hari ini ulang tahun Osa. Hari
kedelapan ia koma. Grace tak pernah perlu mencatatnya pada agenda ataupun alarm
pengingat dalam telepon genggam. Sembilan April adalah tanggal yang ia ingat
seperti ia mengingat hari lahir ibu dan ayahnya. Seumur hidup, sudah lebih dari
sepuluh kali mereka saling mengucapkan selamat ulang tahun satu sama lain meski
tak pernah bertemu. Lebih dari sepuluh kali juga, Osa selalu menutup ucapannya
dengan kalimat yang sama : Life is short.
Make it fabulous.
Osa tak pernah
tahu betapa berartinya kalimat itu untuk Grace. Kata-kata yang menggerakkan
langkah Grace setiap hari. Membuatnya bersemangat setiap kali membuka mata di
pagi hari. Satu dari sekian banyak hal yang membuatnya selalu menantikan 9
April. Saat ia mengisi ulang energinya untuk setahun ke depan. Saat ia punya
alasan untuk menghubungi Osa selain Hari Natal dan Paskah. Di 362 hari lain, ia
menahan diri.
Marta
belum ada saat Grace memasuki ruangan hari itu. Ia berjingkat mendekati tempat
tidur Osa, seakan ia bisa
membangunkan laki-laki itu. Rasa haru, sedih, sekaligus bahagia menyergapnya.
Ia bahagia bisa berada sedekat itu dengan Osa. Perlahan, Grace memegang tangan
Osa. Hangat.
“Selamat ulang
tahun, Osa. Hidup ini singkat. Jadikan hidupmu luar biasa,” Grace berbisik.
Lidahnya tercekat saat ia mengucap ‘hidup ini singkat.’ Tentu tak sesingkat ini
kan? Tak bisakah ia bangun? Terlalu banyak hal yang ingin ia ungkap. Grace
memohon, entah pada siapa.
Genggaman
tangan itu seketika ia lepas ketika Marta memasuki ruangan, mengucap selamat
pagi. Grace buru-buru menyeka air matanya. Marta mendekati Osa dan melakukan
persis seperti yang sebelumnya dilakukan Grace. Membisikkan selamat ulang
tahun. Minus mantra penutup yang
diucapkan Grace. Lalu hening menyergap keduanya. Mereka kembali duduk di kursi
yang sama. Di sisi kanan dan kiri tempat tidur Osa.
Terdengar
keributan di ruangan sebelah. Dua perawat pria datang setengah berlari
mendorong tabung gas raksasa. Untuk kesekian kalinya, napas pasien sebelah itu
hampir terhenti selamanya. Grace mengira-ngira bagaimana ia sendiri akan mati.
Dan siapa yang akan ada di sisinya di saat terakhir itu.
“Jadi kamu wanita yang Osa sebut Schatzi…”
Kalimat Marta melesat seperti anak-anak
panah yang menancap di sekeliling Grace.
Membuatnya tak dapat lari sembunyi.
Seketika degup jantungnya sendiri
sudah terdengar terlalu riuh untuk diredakan.
“Kak Maria tak sengaja mengucapkannya
semalam.”
Ada hening yang dipaksakan tetap ada.
“Itu…sudah lama berlalu,” ucap Grace
akhirnya, menatap ubin di bawahnya.
“Lama dan baru itu tidak pernah soal
waktu,” tukas Marta. “Seperti juga jarak. Osa tak pergi, tapi juga tak di
sini,” katanya lagi.
“Kamu lebih memilih mimpimu daripada
aku?” Grace masih bisa mendengar suara Osa. Juga setiap detik dan detail kata
yang mereka berdua ucapkan kala itu.
Aku ingin keduanya. Itu terlalu egois ya? Bisik Grace dalam hatinya.
“Ujian cinta adalah pengorbanan, dan
ukuran cinta adalah tidak mementingkan diri sendiri.” Sepuluh tahun dan Grace
masih tak bisa memahami kalimat itu dengan genap.
“Kamu ingin aku mencintaimu dengan
mengorbankan mimpiku?” ia ingat, pertanyaannya itu membuat cahaya di mata Osa seketika
meredup.
“Kenapa bukan kamu saja yang
mengorbankan mimpimu demi aku?”
Osa terdiam.
“Aku akan mencintaimu dengan
mengorbankan mimpiku dan kamu akan mencintaiku dengan mengorbankan mimpimu.
Dengan begitu akan ada dua orang yang saling mencintai tapi tidak pernah
mengejar mimpi mereka.[1]”
Seumur hidup, Grace tidak menyesal
mengucapkan hal rasional yang ia anggap kebenaran itu. Kebenaran yang menikam
keduanya. Tapi ia menyesal kata-kata itu menyapu sinar di mata Osa.
“Amazing Grace, jangan lepaskan
anugerahmu. Aku juga akan menyandang nama dan menempuh jalanku.” Sinar di mata
Via Dolorosa padam dan tak pernah terbit lagi seiring ia melepaskan tangan
Grace dari genggamannya.
Grace lekas mengerjap-ngerjapkan
kelopak matanya ketika air mata itu siap mengembang lagi. Perlahan ia menaiki mobil
dan menutup pintu.
“Ibu sudah selesai kemoterapi?” Pak
Yahya, sopir pribadi Grace menatap dirinya dari kaca di atas kemudi.
Grace menggeleng. “Besok saja, Pak,”
suaranya serak.
Kanker darah. Sekuat tenaga ia
menyembunyikan dua kata itu dari Osa. Dari siapapun selain keluarga dan orang
di rumahnya. Sepuluh tahun ia menjalani pengobatan yang tak pernah menjanjikan
kesembuhan. Kadang ia berpikir kematian terdengar lebih indah daripada
penantian akan kematian itu sendiri. Setiap pagi, Grace bersyukur masih bisa
membuka mata, sekaligus juga selalu sadar bahwa hidupnya memang benar-benar
singkat.
Separuh
hatinya hancur, sementara separuh yang lain lega saat Osa melepaskan tangannya.
Saat itu usianya diperkirakan tinggal dua tahun. Ia telah dan selalu memilih
Osa dengan mengorbankan mimpinya yang paling berharga. Mimpi mereka berdua. Ia
hanya ingin Osa bahagia, tanpa membuatnya bersedih kehilangan dirinya.
“Via Dolorosa, jalan kita sebenarnya
sama,” bisik Grace saat mobilnya bergerak meninggalkan pelataran rumah sakit.
***
Ruang Tengah
11 September 2019
Bagi Ben, ruang
tamu adalah ruang pura-pura. Di rumahnya, ruang kecil itu selalu menjadi
ruangan paling rapi, sekaligus paling sepi. Seperangkat meja kursi kayu jati di
sana hampir tidak pernah dipakai. Foto keluarga mereka bertengger di salah satu
sisi dinding, kesepian, tak pernah dilihat. Juga jajaran porselen berdebu koleksi
ibunya. Belakangan, Ben meletakkan tumpukan bukunya di sana. Tidak muat lagi di
rak kamarnya.
Ruangan itu memang
nyaris tidak ada gunanya. Semua yang bertandang ke rumah Ben tidak pernah
diterima di ruang tamu. “Masuk! Masuk ke sini!” begitu ibunya selalu berteriak
dari dapur, mengajak tamu-tamunya masuk ke ruang tengah; ruang keluarga yang
terbuka. Semua yang masuk ke sana seketika juga bebas masuk ke dapur, juga duduk
di meja makan.
“Tidak ada tamu
di sini,” begitu kata ibunya; kalimat lain dari “Anggap saja rumah sendiri.”
Teman-teman ibu Ben yang datang kemudian akan ngobrol dengan suara lantang,
bersahutan dengan ibunya yang selalu di dapur. Teman-teman Ben yang berkunjung
juga akan menguasai ruangan itu, atau langsung naik ke kamarnya.
Begitu juga
ketika Jena datang untuk kali pertama. Seperti pada semua orang lain, ibunya mengundang
gadis itu masuk ke ruang keluarga. Jena, masih berseragam, duduk di ujung sofa
dengan kikuk. Ia memandangi ruangan itu dengan ekspresi yang sulit ditebak Ben.
Kagum? Aneh? Tidak suka?
Diam-diam Ben
juga jadi ikut memperhatikan sekeliling. Ada tumpukan majalah masakan lama
ibunya di sudut ruangan, belum diambil tukang loak. Di sudut atas, dekat lemari
kayu, ada sarang laba-laba samar yang Ben harap lolos dari pandangan Jena.
Sekilas ia lalu melihat Jena tertawa kecil melihat foto kecil Ben di dinding,
mengenakan pakaian adat Dayak di Hari Kartini.
Ben tidak malu.
Ia justru tersenyum lega.
Di ruang
tengah, seharusnya memang tidak ada yang perlu pura-pura. Bersama Jena, ia
merasa tidak butuh menyembunyikan apa-apa.
***
Namun,
bertandang ke rumah Jena selalu membuat Ben resah. Sudah dua bulan, hampir
setiap hari mengantar Jena pulang sekolah, ia selalu hanya diterima di ruang
tamu; di ruang pura-pura.
Ben sudah hapal
betul tata letak benda di ruangan itu. Di atas sofa, foto-foto wisuda dua
kakaknya dipajang berjajar. Masing-masing dengan selempang bertuliskan “lulus
dengan pujian.” Pada dinding di sisi jendela, ada piagam-piagam penghargaan
lomba karya ilmiah, debat, cerdas cermat, menyanyi, dan renang. Sebagian milik
Jana, sebagian lagi milik kakaknya, Jana dan Joni. Dua orang yang belum pernah
dijumpai Ben. Kata Jena, Kak Joni sedang S2 Ekonomi di Australia. Kak Jani S1
Bioteknologi di Singapura.
Semua sudut di
rumah itu memancarkan keberhasilan hidup. Sesuatu yang Ben dan semua teman Jena
sudah tahu tentang keluarga itu. Ben ingin duduk di ruang tengah; mengenal Jena
di ruang santai. Tapi rupanya hari ini pun ia harus puas duduk di ruang tamu.
Menyesap sirup yang terlalu manis meski sudah dijejali es-es batu.
Jena duduk di
hadapannya. Tapi seperti biasa, pikiran gadis itu seakan sedang tergesa-gesa ke
tempat lain, lalu terantuk batu.
***
“Bapak Ibu
sehat, Jen?” ibu Ben bertanya, seakan-akan pernah bertemu kedua orang tua gadis
itu. Ben melihat tangan Jena berhenti sebentar. Gadis itu sedang membantu ibu Ben
memasukkan kue lemper, sus, dan keik
cokelat ke dalam kotak-kotak kardus putih. Masih ada setumpuk yang belum
terisi. Selusin kotak lagi sedang dirangkai Ben.
“Sehat, Tante,”
Jena menjawab singkat tapi tanpa menatap balik ibu Ben. Seperti isyarat ia
tidak ingin ditanya lebih jauh. Jawaban serupa yang didapat Ben jika ia bertanya
yang sama. Sejak pertama melihat Jena, Ben sadar, gadis itu seperti punya
dinding tak kasat mata di sekelilingnya.
“Alhamdulillah,”
ibu Ben bukannya tidak sadar sedang mengetuk dinding. Anaknya sudah bercerita
soal ini. Perempuan itu menatap Ben sekilas sebelum membawa sebuah baskom
kosong ke dapur. Ben menatap balik ibunya tanpa suara.
***
Ben bersiap
turun dari Starlet renta almarhum ayahnya ketika mendengar sebuah ponsel
bergetar. Ia meraba saku depan tasnya. Ponselnya sendiri tak bergetar. Pria itu
menengok ke sumber suara. Di kursi depan samping kemudi, tampak sebuah ponsel
bergetar. Ponsel Jena tertinggal.
Ben segera
menyalakan mesinnya kembali. Menempuh delapan kilometer jarak kembali ke rumah
Jena.
Pintu
terbuka perlahan tepat ketika Ben hendak menekan bel rumah Jena untuk keempat
kalinya.
Dari
balik pintu, Jena muncul, menunduk.
Bahunya
tampak naik turun.
Ben
terkesiap.
Dalam
diam, mereka duduk bersisian.
Pertanyaan
berlompatan, tapi Ben memaksa diri tidak menuntut jawaban.
Ia
tahu Jena tidak suka ditanya.
Ia
hanya duduk menemani Jena menangis.
Langit
belum senja, tapi awan sudah menjadi gelap saat akhirnya gadis itu bicara,
“Ayahku…akhirnya pergi.”
Ben
terdiam. Ia mencoba menyerap yang tak terucap.
Gadis
itu perlahan menyingsingkan kemejanya, memperlihatkan lebam kebiruan di
lengannya.
Mata
Ben bertemu mata Jena, ikut merasakan luka.
Ben
merasa dinding di sekeliling Jena seketika runtuh.
Ben
belum begitu mengerti apa yang terjadi dalam rumah penuh piala itu. Mungkin ia
tidak perlu mengerti sekarang.
Pria
itu memeluk Jena yang kembali menangis.
Ia
tidak lagi ingin ke ruang tengah. Ia tidak ingin ke mana-mana.
Di ruang tamu
itu, ia tidak lagi merasa menjadi tamu.
***
Sebelum Hari Terakhir
Kabar itu berdengung tepat saat taplak altar dan pakaian liturgi pastor berganti menjadi ungu. Harga batu bara anjlok. Sebagian penambang di lapangan sudah berhenti bekerja.
Bahan tambang itulah yang selama ini menghidupi karyawan dan menghidupkan perusahaan tempat Sesilia baru masuk bekerja.
Di pagi yang gerimis, semua karyawan diminta berkumpul di ruang serbaguna demi sebuah pemberitahuan yang singkat dan mencekam. Gaji dan THR Natal akan dicicil dua kali: di tengah dan akhir bulan. Sesilia tercekat. Dua bulan sebelumnya, ia masih berada dalam lautan anak muda yang dengan gembira melambungkan topi toga ke angkasa. Menutup empat tahun masa yang tak sabar ingin diakhiri dan menyongsong dunia yang sebenar-benarnya. Tak tahu bahwa dunia yang sebenarnya itu sering tidak sebenar angan semula.
Baru tadi pagi, dari balik bilik kerjanya, Sesil bertanya-tanya apakah kehidupan hampir semua manusia dewasa memang harus bermuara di depan layar komputer, delapan jam tiap hari. Di pukul dua belas tepat, tanpa dikomando semua beranjak menuju ruang makan. Menu hari itu adalah nasi goreng, bakso, tumis pakcoy, dan puding buah.
“Memang gaji kita terasa kecil karena tak ada uang makan. Tetapi lihat sendiri, makan siang di sini prasmanan dan setara dengan menu kondangan,” ucap Anastasia, karyawan keuangan yang duduk di sebelah Sesil di meja makan. Sesil hanya mengangguk-angguk. Bagaimanapun gadis itu lebih memilih uang makan. Dengan begitu ia bisa berhemat dengan memasak bekalnya sendiri dan menyimpan sisanya untuk keperluan lain.
Namun kini Sesil ragu apalagi yang bisa ia hemat jika gajinya pun akan dicicil. Anastasia bercerita bahwa biasanya ini saatnya perusahaan membentuk kepanitiaan kecil, bersiap berkunjung ke panti asuhan untuk merayakan Natal. Kali lain diadakan wisata akhir tahun bersama, ke Bandung atau Bogor. Tapi tahun ini tidak.
***
Semua tiba seperti bola salju yang menggelinding menuruni bukit yang curam dan sulit diredam. Pada pertengahan masa Advent, Bu Ong, direktur perusahaan, menyatakan perusahaan akan tutup hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan. Di luar gaji bulan Desember, perusahaan hanya sanggup memberikan THR dan pesangon sebesar sebulan gaji. Di ruang makan, beredar obrolan bahwa Bu Ong mengeluarkan dana pribadinya sendiri untuk membayar gaji karyawan. Tak ada yang protes karena tahu pada akhirnya semua kehilangan.
Bu Leoni pernah berkata, setiap jelang akhir tahun, diumumkan karyawan yang sudah mengabdi 10, 15, dan 20 tahun untuk mendapat penghargaan. Sesil tertegun. Berhenti bekerja dari kantor itu pastilah seperti mengubah sebagian dari jati diri orang-orang ini.
Hari-hari terakhir menjelang Natal sekaligus mendekati hari terakhir bekerja, seisi kantor itu sedang mencari cara terbaik untuk berduka sekaligus barangkali mencoba bahagia. “Sarapan dulu, Sesil. Kapan lagi kita makan pagi bersama,” tepukan Bu Arum di pundak mengejutkan Sesil. Pukul delapan lewat lima pagi. Pekerjaan di dua pekan terakhir di kantor bisa jadi hanya merapikan semuanya sebelum ditinggalkan.
“Aneh juga rasanya tak ada pohon Natal raksasa yang biasa dipasang di lobi. Bertahun-tahun saya membantu memasang kerangkanya,” Pak Lukas meletakkan piringnya yang hanya menyisakan bumbu kacang siomay, lalu terkekeh. Sepuluh karyawan keuangan itu duduk berdesakan di sekeliling meja bundar di balkon.
“Apa jadinya Natal tapi krisis uang? Hadiah, kue natal, dekorasi rumah, belum lagi bepergian ke rumah saudara. Semua perlu uang,” sahut Bu Leoni. Semua terdiam, barangkali meredakan gemuruh di pikiran masing-masing. Hanya terdengar denting sendok garpu bertemu permukaan piring. Di halaman, hujan turun pelan-pelan.
“Apa Natal memang selalu perlu uang, pohon, dan dekorasi?” pertanyaan Sesil terlontar begitu saja seperti bola pingpong yang melenting dari balkon lalu jatuh ke tanah. Ia sendiri tak benar-benar berpikir sebelum mengajukan pertanyaan itu. Namun seketika orang-orang di sekeliling meja tampak terkejut tanpa suara. Sesil jadi kikuk sendiri.
***
Sebuah kotak kardus bekas diletakkan di atas meja dekat mesin absen pagi keesokan harinya. Di bagian luar kardus, ditempel kertas putih bekas kalender yang ditulisi dengan spidol papan tulis. Donasi buku dan pakaian layak pakai untuk korban banjir. Sesil tertegun. Banjir di kabupaten tempo hari memaksa ratusan keluarga mengungsi. Tetapi segenap isi kantor ini pun sedang berduka dan mendadak harus mencoba menyelamatkan diri serta keluarga masing-masing. Ia berpikir bagaimana orang bisa diajak memberi dan berbagi saat diri mereka sendiri kekurangan.
“Kamu benar,” sebuah suara mengejutkan Sesil saat ia mencapai anak tangga teratas menuju ruangan kantornya. Anastasia sedang berdiri di sisi meja di balkon. Di atas meja itu, ada tumpukan pakaian seukuran tubuhnya yang ia lipat kembali dengan rapi ke dalam sebuah tas karton cokelat berukuran besar.
“Benar tentang apa?” Sesil berjalan mendekat, meletakkan tasnya di atas meja. “Natal harusnya bukan tentang membeli, tapi memberi,” jawab Anastasia singkat, sambil tersenyum. Sesil tak ingat pernah mengucapkan hal seperti itu, tapi senang jika ada yang menangkap kalimatnya dari sudut pandang yang lebih indah. “Karena kalimatmu kemarin, dalam perjalanan pulang, aku dan Bu Leoni jadi punya ide untuk tetap merayakan Natal dengan berbagi untuk korban banjir, memberi dari yang kita punya,” tukas gadis itu lagi. Senyum Sesil terkembang seperti sayap malaikat Natal yang terentang di atas kandang tempat bayi Yesus lahir. Hari itu mereka mengirim surel dan pesan singkat pada hampir semua karyawan, mengingatkan untuk membawa donasi.
Keesokan paginya, Sesil yang tak berharap banyak terperanjat mendapati tumpukan kantong plastik penuh pakaian dan kardus-kardus penuh buku memenuhi meja yang tak cukup besar untuk menampung semuanya. Pak Lukas datang menenteng sebuah tas kain berisi boneka. Ia berkata cucunya sudah terlalu besar untuk memainkan boneka-boneka itu. “Akhirnya Sil, kita bisa memberi dari kekurangan,” pria itu berbisik sambil menempatkan jempolnya pada pemindai mesin absen, lalu melangkahkan kakinya ringan. Mata Sesil berkaca-kaca.
***
Tak ada panggung, balon, musik dan pengeras suara seperti pesta Natal. Tapi mata-mata yang berbinar saat menyaksikan kardus demi kardus pakaian dan buku diturunkan dari mobil itu dirasakan Sesil lebih meriah dari kembang api tahun baru. Bu Leoni, Anastasia, dan Sesil menyandarkan punggung mereka yang letih setelah mengangkat kardus demi kardus donasi. Tetapi mereka tahu, hati mereka jauh lebih kuat karena bahagia dan sedih yang berpadu.
***
Tanggal 24 bulan 12. Hari terakhir kantor itu beroperasi sebelum papan nama diturunkan, perabot dipindahkan, dan ruangan demi ruangan dikunci. Sesil merasa dadanya sesak. Bukan karena kekhawatiran akan aliran sumber hidup yang sebentar lagi harus dicari gantinya, tetapi karena ia akan merindukan semua orang yang baru ia kenal itu. Begitu juga semua rutinitas, dari bagian terbaiknya hingga sisi yang paling membosankan.
Sebulan lalu ia berencana jalan-jalan merasakan Natal di luar negeri dan membeli baju Natal bermerek karena merasa layak dan mampu setelah bekerja. Semua urung. Namun toh tanpa semua itu, ini masih tetap Natal. Justru di tengah kekurangan, bayi Yesus tak lagi tenggelam di antara gemerlap lampu Natal, kado mewah, ataupun mal megah.
(dimuat di Majalah Katolik "Hidup", Desember 2016)
***
Saat ayah berkata bahwa
kami akan pindah rumah, aku melompat-lompat kegirangan hingga terantuk kaki meja
dan membuat lampu duduk di atasnya pecah berantakan. Meski ayah berkata bahwa
kami baru akan pindah empat bulan kemudian, aku sudah memasukkan semua komik
dan koleksi boneka kucingku ke dalam kardus, siap diangkut ke rumah baru.
Saat itu, bagi anak usia
delapan tahun sepertiku, pindah rumah adalah sebuah hal yang sangat hebat.
Sebelumnya kupikir hal-hal besar hanya terjadi pada orang-orang di
sekelilingku, seperti Lilia, Bombi, dan Rebecca, sahabat-sahabatku. Bukan
padaku. Juli lalu keluarga Lilia sudah dua kali berlibur ke Singapura. Padahal
aku ke Bali sekali pun belum pernah. Ayah Bombi baru membeli sebuah mobil baru
yang akhir-akhir ini sering kulihat di televisi. Keren sekali! Sedangkan
Rebecca baru saja dibelikan sebuah telepon genggam, benda yang sangat
kuinginkan setelah piano.
“Kamu baru kelas dua SD,
Salwa. Apa pentingnya punya benda semacam itu? Setelah punya HP kau pasti juga
akan minta dibelikan pulsa setiap minggu. Bahkan mungkin setiap hari.” Begitu
komentar bunda saat aku menceritakan telepon genggam Rebecca.
Padahal aku tidak bilang
ingin dibelikan barang yang sama. Kalaupun bilang, sebenarnya aku sudah tahu
bunda akan bicara begitu. Sama seperti jawaban yang diucapkannya saat aku ingin
dibelikan playstation, televisi baru,
kasur air, atau kucing persia. Aku tak bilang ingin punya piano karena tahu tak
ada tempat untuk benda sebesar itu di rumah kami.
Anehnya bunda langsung
mengiyakan saat aku minta satu set ensiklopedia seperti milik Bombi. Padahal
harganya lebih mahal dari kucing persia.
Bagaimanapun, kabar bahwa
kami akan pindah rumah sungguh adalah sebuah kejutan luar biasa di tengah
hidupku yang datar. Aku tak sabar menantikan saat aku bangun pagi di kamar yang
baru. Yang tak kumengerti, bunda menyuruhku untuk tidak membicarakan rencana
kepindahan kami kepada para tetangga. Juga tak terlalu menunjukkan
kegembiraanku, terutama pada Lilia, Bombi, dan Rebecca. Meski tidak satu
sekolah, kami semua tinggal di kompleks perumahan yang sama.
Bunda tak menjawab saat
kutanya mengapa. Lima menit kemudian ia malah menyuruhku memasukkan kembali
kardus-kardus yang sudah penuh terisi barang-barangku ke dalam gudang.
Aku berusaha keras
menyembunyikan cerita kepindahan itu saat bertemu Lilia esok paginya dalam mobil antarjemput ke
sekolah. Biasanya kami selalu bercerita apapun. Rumah Lilia hanya berada satu
blok dari rumahku. Begitu juga rumah Bombi dan Rebecca. Bundaku dan Tante Nay, ibu
Lilia, bersahabat. Kata bunda, saat balita aku tak mau makan kalau tidak jalan-jalan
dulu ke rumah Lilia.
Hingga sekarang, yang
selalu kuingat dari Tante Nay adalah baju-bajunya yang menurutku cantik sekali.
Tidak seperti bunda yang selalu memakai baju yang itu-itu saja, aku menduga
Tante Nay tak pernah menggunakan baju yang sama lebih dari tiga kali. Saat
menyiapkan sebuah pengajian di rumahku, aku sempat mendengar Tante Nay
bercerita bahwa pakaian yang sedang dikenakannya saat itu ia beli dengan harga
satu setengah juta.
“Salwa, bantu aku ya
menyiapkan hiasan-hiasan untuk pesta ulangtahunku,” kata Lilia
pagi itu.
Aku menatapnya.
Kalau aku pindah, aku tak
akan berangkat dan pulang sekolah bersamanya lagi.
Aku akan sangat
merindukan Lilia.
“Ya ampun, ulangtahunmu
kan masih lama. Masih…empat bulan lagi kan?” jawabku sambil menghitung jarak
bulan ini ke bulan ulangtahun Lilia dengan jari-jariku. “Hihi…iya sih. Tapi aku
mau mengundang anak sekelas. Jadi aku ingin semuanya bagus. Kamu juga harus
datang ya!” katanya berseri-seri sambil menyisir rambut keritingnya dengan
sisir ungu yang senada dengan warna tas, sepatu, dan jepit rambutnya.
Aku hanya tersenyum. Pada
ulangtahun Lilia, rumahku pasti sudah berada jauh dari rumahnya. Tapi aku
berjanji tetap membantunya mempersiapkan pesta ulangtahunnya yang selalu
dirayakan setiap tahun.
Minggu pagi keesokan
harinya ayah dan bunda rupanya bicara sesuatu yang serius di dapur. Ayah bicara
setengah berbisik sambil menunjuk-nunjuk koran yang baru saja dibacanya. Bunda,
yang sedang mengupas kentang, mengangguk-angguk sambil sesekali menanggapi. “Sinyal”
detektifku sedang tak bagus. Aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
Saat ayah masuk ke kamar
mandi, aku menyambar koran hari ini dan membawanya ke dalam kamar. Mencari-cari
apa yang kira-kira dibicarakan ayah. Lembaran koran itu terlalu besar untukku.
Butuh waktu lama untuk menelusuri satu persatu berita di dalamnya. Tulisannya
banyak sekali, dengan huruf kecil-kecil dan sedikit gambar. Sungguh tak menarik.
Setelah lebih dari
sepuluh menit membolak balik halaman dengan berisik, aku terdiam lama menyadari
apa yang kutemukan. Perumahan Arga Hijau
akan Digusur. Aku membaca berita itu beberapa kali. Tak percaya. Di kota
kecil ini, pasti hanya ada satu tempat bernama Perumahan Arga Hijau. Itu
kompleks perumahan di mana kami tinggal. Meski tak mengerti seluruh isi berita,
yang jelas di situ dikatakan bahwa penghuni perumahan ini harus segera
meninggalkan rumah. Jadi bukan hanya keluarga kami yang akan pindah, tapi
seluruh tetangga juga, paling lambat pada bulan Agustus. Itu berarti sekitar dua
bulan lagi! Lebih cepat dari rencana ayah.
Tiba-tiba aku merasa
sesak napas.
Aku tak bisa membayangkan
jika perumahan ini tak ada lagi. Kupikir kalaupun pindah, aku masih dapat
berkunjung ke sini sesekali.
Aku beringsut mendekat ke
jendela dan membukanya lebar-lebar sambil menjulurkan kepala, memandang
sekeliling. Pohon jambu di halamanku yang dulu sering dipanjat Bombi sekarang
sudah tinggal tunasnya. Ayah menebangnya karena pohon itu ternyata dipenuhi
ulat bulu. Entah sejak kapan.
Di halaman ini juga saat
masih belum bersekolah, hampir setiap hari aku, Lilia dan Rebecca main lompat
tali, masak-masakan, boneka. Lalu beralih ke playstation di rumah Bombi.
Jika semuanya pindah,
berarti aku tak bisa lagi makan soto di warung Pak Sabar setelah olahraga Sabtu
pagi. Tak akan ada lagi adu cepat makan krupuk bersama Bombi saat 17Agustus,
atau jajan di warung Bu Mula. Juga tak lagi bisa memberi makan ikan di kolam
ikan Pak Darmin, atau bersepeda keliling kompleks berempat.
Untuk pertama kalinya
dalam hidupku, aku mengkhawatirkan hidup begitu banyak orang. Pak Sabar akan
berjualan soto di mana? Lalu Bu Mula, tukang sayur, penjual tempe dan daging
itu? Pasti mereka kehilangan banyak pelanggan. Bagaimana dengan Bu Santi, nenek
yang sudah berumur delapanpuluh dan
tinggal seorang diri itu? Lalu Lilia, Rebecca, dan Bombi? Bisa jadi selamanya
kami tidak akan bersama-sama lagi.
Tiba-tiba semua
kegembiraan yang kurasakan seminggu terakhir ini lenyap begitu saja. Kini aku
merasa sedih membayangkan ada sebuah tempat lain yang akan kusebut rumah.
Aku berjalan
lambat-lambat ke ruang makan sambil melipat koran itu kembali dan meletakkannya
di meja ruang tamu, sesaat setelah bunda memanggilku untuk sarapan.
Aku tak dapat
menyembunyikan kesedihanku sendiri lama-lama.
“Ayah…jadi benar kompleks
ini akan digusur?” tanyaku begitu duduk di kursi meja
makan.
Senyap.
Ayah menatap bunda,
kemudian memandangku. Lalu ia meletakkan sendoknya.
“Begini Salwa…” katanya
sambil melipat tangannya di dada.
Dua kata yang selalu
diucapkan ayah setiap kali ia memulai pembicaraan
penting. Aku harus fokus
mendengarkan saat ayah sudah mengucapkan
dua kata itu.
Aku mengangguk.
Kata bunda, saat aku bayi,
eyang yang lebih sering mengasuhku karena bunda
harus bekerja. Eyang
meninggal saat aku berusia dua tahun.
“Eyangmu
itu dosen. Rumah ini adalah rumah dinas yang disediakan universitas untuk
eyang. Jadi sebenarnya rumah ini memang bukan milik eyang, juga bukan milik
kita. Tapi milik universitas. Setelah eyang tidak ada, memang seharusnya rumah
ini dikembalikan ke universitas. Itu sebabnya kita memang harus pindah… Begitu
juga semua tetangga. Sebagian besar penghuni asli perumahan ini kan memang
sudah pensiun atau meninggal dunia,” ayah menjelaskan.
Aku terdiam. Berusaha
mencerna.
“Kau paham Salwa?” tanya
ayah lagi. Aku mengangguk, padahal tak sepenuhnya
mengerti. Yang jelas
sekarang aku tahu bahwa kepindahan kami bukan dalam rangka
bersenang-senang.
Sejak berita penggusuran
itu ada di koran, banyak orang tak kukenal silih berganti datang ke rumah. Ada
yang berpakaian seragam, ada yang tidak. Bukan hanya ke rumahku. Tapi ke hampir
semua rumah di kompleks ini. Mereka datang membawa kertas-kertas berisi tabel-tabel
penuh angka. Tabel yang jauh lebih rumit dari tabel perkalianku. Semua
bertuliskan “kredit” atau “pinjaman.”
Begitu dipersilakan
masuk, mereka akan langsung bersemangat bicara panjang lebar sambil mengeluarkan
semakin banyak kertas. Biasanya bunda hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan
mereka. Setelah orang-orang itu selesai bicara dan pulang, kertas-kertas itu bunda
taruh saja di bawah tumpukan koran. Tak pernah dilihat-lihat lagi.
Selain orang-orang dengan
tabel angka, banyak peristiwa aneh lain terjadi. Seminggu terakhir dagangan Pak
Untung, penjual tempe keliling, selalu tandas. Biasanya hanya aku dan tiga
orang lain yang membeli tempe di ujung jalan ini, tempat Pak Untung biasa
mangkal. Tapi akhir-akhir ini, saat disuruh bunda membeli tempe, aku harus
mengantri untuk mendapatkan bagianku. Padahal sebelumnya di perumahan ini bisa
dibilang hanya keluarga kamilah yang jadi pelanggan setia Pak Untung. Biar
hemat, kata bunda.
Jika memang orang bisa
berhemat dengan membeli tempe, entah mengapa sepertinya semua penghuni
perumahan ini tiba-tiba ikut berlomba-lomba berhemat. Selain beralih ke tempe,
beberapa tetangga kulihat bahkan menghemat pemakaian listrik dengan tidak
menyalakan lampu ruang tamu di malam hari. Bu Ikhsan, penghuni rumah nomor
27A yang biasa naik mobil warna merah
muda yang kusuka itu ke kantornya, tadi pagi tampak berdiri di depan kompleks, menunggu
kendaraan umum. Kak Nandria, tetangga sebelah rumah, berhenti berlangganan TV
kabel. Aku jadi tak bisa numpang nonton Nickolodeon
lagi di rumahnya.
Lilia juga tak pernah
membicarakan pesta ulangtahunnya lagi saat kami bertemu di mobil antarjemput.
Sebenarnya ia jauh lebih pendiam dari biasanya. Aku jadi enggan bertanya ke
mana ia akan pindah rumah. Tante Nay juga tak pernah bertandang lagi ke rumah.
Terakhir ia datang seminggu lalu, Tante Nay bicara pada bunda dengan berbisik-bisik.
Sebelum Tante Nay pulang, kulihat bunda masuk ke kamar dan keluar sambil
membawa sebuah amplop, lalu memberikan amplop itu kepada Tante Nay.
“Saya setiap hari tidak
bisa tidur, Pak. Bingung! Kalau tabungan saya yang tidak seberapa itu saya
belikan rumah, lalu saya meninggal, siapa yang membiayai anak-anak saya
sekolah?! Tapi kalau sekarang saya berhutang untuk beli rumah, nanti kalau sewaktu-waktu
saya meninggal dan cicilannya masih banyak, masa’ saya akan mewariskan hutang
ke anak-anak saya?!”
Aku mempererat genggaman
tanganku pada tangan ayah. Ketakutan. Aku tahu Om Dani, ayah Lilia, yang saat
itu bicara pada ayah, tidak sedang marah-marah. Tapi tetap saja menyeramkan. Aku
sering bertemu Om Dani saat main ke rumah Lilia, tapi belum pernah kulihat ia
tampak begitu sedih. Kami berpapasan di jalan saat aku dan ayah jalan-jalan di
sekitar kompleks di suatu Minggu pagi.
Ayah bicara panjang
sambil menepuk-nepuk pundak Om Dani. Tiba-tiba aku memikirkan Lilia. Sekarang
aku benar-benar yakin ulangtahunnya Oktober nanti tak akan dirayakan. Padahal
aku tahu dia sangat menantikan pesta itu.
Sambil menunggu ayah
selesai bicara, aku memilih bermain dengan Miu, kucing hitam milik Kak Nandria
yang dari tadi menggosok-gosokkan badannya ke kakiku. Tak biasanya ia dibiarkan
bebas berkeliaran.
Aku
siap mengejar Miu yang lari mengejar kucing lain saat ayah meraih tanganku. “Yuk!”
katanya.
Kami melanjutkan
jalan-jalan pagi kami yang terhenti.
Ayah diam saja selama
beberapa waktu.
Aku jadi ikut diam.
Sebuah mobil boks hitam
melintas.
Akhir-akhir ini banyak
mobil serupa yang lewat dan berhenti di rumah salah satu warga. Mobil-mobil boks
itu kemudian ada yang pergi membawa beberapa perabotan. Ada juga yang membawa
kertas-kertas koran bekas. Kata ayah beberapa tetangga memang sudah mulai
memindahkan barang-barangnya dari rumah.
Saat kutanya mengapa kami
tak melakukan hal yang sama, ayah mengucapkan sebuah kalimat yang tak
kumengerti. Yang jelas ada kata “nanti dulu,” dan “solidaritas.” Kata ayah,
tetangga yang sudah siap pindah jumlahnya hanya sebagian kecil dibandingkan
yang memilih bertahan. Sebagian besar tak punya cukup uang untuk pindah rumah,
membeli, atau bahkan sekedar menyewa tempat tinggal lain.
“Apapun yang terjadi…kamu harus terus sekolah,
Salwa,” kata ayah tiba-tiba.
“Kamu tidak usah
khawatir. Kalau terjadi apa-apa pada ibu dan ayah…,”
ia berhenti lama saat mengucapkan
kata-kata itu.
Mengapa ayah bilang
begitu?
Aku jadi sedih dan takut.
Tahun lalu ayah Yasmin, teman sebangkuku meninggal
karena sakit. Aku tak
bisa membayangkan rasanya jadi Yasmin.
Sejak itu hampir setiap
pagi aku berdoa agar Tuhan selalu menjaga kesehatan ayah
bundaku.
“…AJB Bumiputera akan
melanjutkan membayar biaya sekolahmu,” ayah
melanjutkan.
Aku mendongak menatap
ayah.
Ayah balik memandangku.
Lalu mengelus kepalaku, dan tersenyum.
Aku ingin mengucapkan
sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar sedikitpun.
Kami kembali berjalan
dalam diam.
Aku teringat Yasmin dan
mendoakannya.
“Ayah…”
“Ya?”
“Ngomong-ngomong…Bumiputera
itu siapa?” tanyaku saat memasuki
halaman rumah.
“AJB Bumiputera 1912… Itu
nama asuransi,” jawab ayah sambil mengetukkan
buku jarinya ke kepalaku.
Aku mengerutkan kening.
Kata-kata baru buatku.
“Ya…pokoknya mereka
membantu ayah menyiapkan semua keperluan
keluarga kita. Termasuk
biaya pendidikan sampai kamu sarjana. Tidak usah
khawatir,” kata ayah. Kami
duduk-duduk di teras sambil melepas sepatu.
“Ayah juga nabung untuk
beli rumah ya?” Aku bersandar di pundak ayah.
“Iya… Alhamdulillah cukup
lah, Nak.” Ayah memelukku.
“Ayah pasti menabung
banyak sekali… Sampai-sampai kita nggak punya
mobil…” ujarku.
Ayah tertawa.
Aku tak tahu apa yang
lucu.
“Iya, maaf ya. Ayah belum
bisa antar jemput kamu sekolah naik mobil.”
Aku balik memeluk ayah tanpa
mengucapkan apapun lagi.
Apa ya yang harus
dimaafkan? Sepertinya tak ada.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kuharap suatu saat ayah
akan mengenalkanku pada Bumiputera, meski aku belum
tahu betul apakah ia
adalah seorang bapak, atau saudara, atau apa.
Seminggu kemudian Tante
Nay, Om Dani, dan Lilia datang ke rumah. Mereka berpamitan untuk meninggalkan
perumahan lebih dulu. Bahkan meninggalkan kota kami. Keluarga Lilia akan pindah
ke Salatiga, tinggal bersama salah seorang saudara.
Dulu aku memang ingin ada
setidaknya satu adegan dari film-film yang sering kutonton terjadi juga di
hidupku.
Tapi bukan bagian
sedihnya.
Apalagi perpisahan.
Aku benci perpisahan.
Saat berpamitan, Lilia
memberiku sebuah kotak pensil cantik berwarna ungu.
Aku bingung memikirkan
kata apa yang harus kuucapkan di saat seperti ini.
“Jangan khawatir…”
Tiba-tiba aku mengucapkan
dua kata yang tak pernah kusangka akan kuucapkan pada Lilia. Bukan begini
dialog yang biasa ada di film. Tapi rasanya hanya dua kata itu yang ternyata
ingin kuucapkan selama berminggu-minggu terakhir. Dua kata yang selama ini
hanya kuucapkan dalam doa-doaku untuk semua orang yang kuingat di perumahan
ini.
Pada Ramadhan yang
ketujuh sejak kepindahan kami, aku memasukkan kotak pensil yang sudah berkarat
dari Lilia ke dalam kardus.
***
[1] Nenek dalam bahasa Jawa
Cerpen ini memenangkan Lomba Cerpen AJB Bumiputera 2009 dan menjadi bagian dari Antologi Cerpen "Kain Batik Ibu."
Rumah Fin sudah berubah. Tak seperti dalam
ingatan masa kecilku. Tanaman di halaman rumahnya tak sebanyak dulu. Hijau cat
dindingnya tak secerah delapan tahun lalu. Kursi putih panjang di teras sudah
tak ada. Dulu aku dan Fin sering duduk-duduk di situ sambil mengayun-ayunkan
kaki yang belum sampai menjejak lantai saat duduk. Menunggu penjual es krim
lewat.
Sepertinya sekarang rumah ini lebih banyak
penghuninya. Kamar di sebelah ruang sholat yang dulu selalu gelap tak pernah
dipasangi bohlam, sekarang tampak terang. Ada sebuah sepeda motor pria diparkir
di samping sepeda motor Fin. Entah milik siapa. Mungkin ibunya membuka
kos-kosan. Atau ada saudara yang sedang datang bermalam. Aku tahu benar dulu hanya
ada tiga orang yang tinggal di rumah ini : Fin, ibunya, dan Yos, adik
laki-lakinya.
“Ayahku jaga hutan di Kalimantan,” katanya
ketika kutanya tentang ayahnya. “Wah keren!” teriakku saat itu. “Ayahmu sering
ketemu orang utan dong,” ujarku
antusias. Sejak kecil segala jenis hewan selalu menarik perhatianku. Tapi wajah
Fin berubah muram dan hanya mengedikkan bahu. Kupikir itu hanya karena ia tak
terlalu suka binatang.
Kadang aku berharap kalau-kalau ayah Fin
pulang saat aku ada di situ. Aku ingin dengar ceritanya tentang hutan Kalimantan.
Selama ini bentuk hutan hanya bisa kubayangkan saja dari foto-foto di ensiklopedia.
Lalu tentu saja aku ingin minta foto orang utan.
Tetapi pertemuan itu tak pernah terjadi.
Kadang aku bertanya-tanya tidakkah Fin rindu pada ayahnya. Aku tak berani
bertanya.
Aku meraba sofa kuning tempatku sekarang
duduk. Masih sofa yang sama. Hanya permukaannya sudah lebih melesak ke dalam.
Coretan pulpen hitam yang pernah kubuat dulu bahkan masih nampak di ujung kanan
sandaran.
Saat SD, hampir setiap hari selepas pulang
sekolah aku bertandang ke rumah itu. Bermain kartu, lalu monopoli. Kemudian
jika ibu Fin menyuruh, kami akan tidur siang atau mengerjakan PR. Jika tidak,
aku, Fin, dan Yos, bermain komputer hingga setengah lima sore.
Pukul lima, aku sudah duduk lagi di sofa
kuning ini, menunggu bel di gerbang depan berbunyi. Ayahku datang menjemput
setelah pulang dari kantornya. Lalu kami menjemput ibu. Tak ada orang di rumah
saat aku pulang sekolah. Itu sebabnya aku harus tinggal di rumah Fin hingga
menjelang maghrib.
Jadi saat itu rasanya aku punya dua rumah.
Di dapur Fin, aku bahkan punya gelas dan piring khusus untukku sendiri. Ibunya
selalu menempatkan nasi dan sayurku di piring yang sama, juga es krim atau
puding buatannya.
Saat liburan akan masuk SMP, aku sekeluarga
pindah ke Surabaya. Tapi aku tak frustasi atau sedih berlebihan seperti cerita
perpisahan di film-film. Ada internet. Sepanjang tahun-tahun kami tak bertemu,
aku dan Fin masih sering janjian ngobrol di messenger
dan SMS saat kami sama-sama sudah boleh punya telepon genggam.
Aku bisa melihat foto-foto Fin mengenakan
baju basket, memenangkan berbagai perlombaan bersama timnya. Sesekali ia juga
mengomentari foto-fotoku saat bersama teman-teman pecinta hewan langka. Aku tak
mengerti mengapa sejak masuk SMP dia begitu tergila-gila basket. Seperti juga
dia tak habis pikir mengapa ada orang sepertiku yang menghabiskan waktu
memikirkan bagaimana harimau bisa tetap hidup.
“Kau tinggal di kos?” tanyaku suatu siang, menghubungi telepon
genggamnya. Saat kutelepon ke rumah, ibunya bilang Fin sedang tidak tinggal di
rumah.
“Iya,” jawabnya.
Aku terbahak. “Kenapa? Masa’ kamu ngekos di kota yang sama dengan rumahmu? Itu kan konyol.”
Fin ikut tertawa. “Ya…bosen
aja di rumah. Ingin tahu rasanya ngekos,” Fin berkata.
“Ha? Aneh kamu. Jelas enak di rumah sendiri lah!” ujarku.
“Belum tentu…” ia berucap lirih. Lalu segera mengalihkan topik pembicaraan, menanyakan bagaimana
perjalananku tempo hari mengunjungi kawanan tapir.
***
“Wah, badanmu sekarang tinggi sekali! Dulu kan aku yang lebih tinggi,” kataku
sambil tertawa saat Fin berjalan keluar dari kamarnya ke arahku. Dari tempatku
duduk, ia memang tampak sangat jangkung. Fin tersenyum. “Makanya, olahraga dong, olahraga, jangan ngurusin badak terus,” ujar Fin sambil
menyilangkan kaki panjangnya di atas sofa.
Aku melotot. Fin mengangkat tangannya sambil menyeringai, menahanku
yang sudah siap berkomentar panjang lebar.
“Jadi kau bekerja setelah pulang sekolah?” tanyaku setelah menenggak
habis sirup buatan Fin. Kurang manis.
“Iya. Kasir. Di swalayan,” jawabnya.
Aku memandanginya. Hanya perasaanku saja, ataukah memang raut
mukanya sekarang tampak lebih kaku?
“Sebenarnya aku tak cocok dengan pekerjaan seperti itu…” katanya
sambil mengikat rambutnya ke atas. Aku mengangguk-angguk cepat. Duduk
berjam-jam, memegang uang, menekan tombol angka, jelas berlawanan dengan
karakter dan kegemarannya berlari sana sini. “Terus…kenapa tetap kerja di
situ?” tanyaku.
“Kaaak! Bukain dong!” sesosok mungil berlari keluar dari dapur,
memberi jeda pada percakapan kami. Tangan kecilnya menyodorkan sebuah botol
kecil selai nanas kepada Fin.
“Ah kamu. Begini aja nggak
bisa.”
Fin mengacak-acak rambut si kecil itu sambil meraih botol selai itu.
“Ini,” Fin menaruh botol yang sudah terbuka tutupnya itu ke tangan
si mungil. “Eh! Bilang apa?” Fin menangkap tangan itu lagi. “Makasih kaaak!”
ucap si kecil, lalu berlari lagi ke dapur.
“Itu siapa, Fin?” tanyaku ingin tahu.
“Adik tiriku,” jawabnya singkat. Datar. Tanpa ekspresi.
Senyap.
Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
Aku menatapnya. “Mm…maksudnya?”
“Anak ayahku,” kata Fin tanpa menoleh padaku.
Aku terkesiap.
Suara adzan maghrib terdengar dari masjid di ujung jalan.
Aku berusaha mencerna dua kata yang baru saja kudengar.
“Maaf…kau tak pernah cerita...” akhirnya kataku pelan.
Fin tersenyum. Tapi tetap tak menatapku.
“Maghrib, Van,” ujarnya sambil beranjak dari sofa.
***
Dulu Fin tak pernah mau menempatkan boneka
tampan Ken miliknya bersanding di sebelah
Barbie. “Tapi di mana-mana Barbie kan selalu berdua sama Ken,” kataku
saat itu. Fin menggeleng kencang. “Barbie yang ini bisa sendiri,” katanya
bersikeras sambil kembali memasukkan si coklat Ken ke kotaknya. Aku cemberut.
“Ayahku tak pernah melihatku mengenakan
seragam sekolah. SD…SMP…SMA. Ia hanya pulang setahun sekali saat lebaran. Itu
pun tak pernah lebih dari tiga hari,” kata Fin. Lagi-lagi nyaris tanpa
emosi. Aku memperhatikannya memasukkan
mukena ke dalam lipatan sajadah. Kami baru selesai sholat mahgrib.
Buru-buru kututup pintu kamar Fin. Khawatir
kalau-kalau ibunya melintas dan mendengar percakapan kami.
Meski kami sahabat, tapi seumur hidupku aku
belum pernah terlibat percakapan serius dengan Fin. Masa-masa saat kami
sama-sama berseragam putih merah adalah masa seorang manusia paling banyak
tertawa. Hal paling serius yang pernah kami bicarakan adalah apakah Billy, tetangga
seberang rumahnya itu juga naksir aku atau tidak.
Setelah kepindahanku, kami hanya bicara
lewat bantuan teknologi. Teknologi yang memungkinkan setiap orang menyembunyikan
hidupnya yang sebenar-benarnya.
Masih bersimpuh, ia menceritakan sesuatu
yang sedikitpun tak pernah terpikir olehku. “Aku tak suka hutan…dan semua
isinya. Saat kecil aku sering bertanya-tanya apa yang membuat mereka
lebih penting dariku, ibu, dan Yos… Begitu pentingnya hingga ayah menghabiskan
hampir seluruh hidupnya menjaga mereka. Dari tiga ratus enam puluh lima
hari, tak sampai lima hari dalam setahun aku melihat ayahku di sini.”
Lidahku kelu. Kisah penjaga hutan yang dalam bayangan masa kecilku
begitu hebat dan heroik, kini tenggelam, amblas tak berbekas.
Terdengar suara pintu depan dibuka.
“Assalamualaikum.” Suara seorang remaja laki-laki.
Itu pasti Yos, pikirku.
“Ayahku pensiun dini, pulang ke sini,” kata Fin.
Kali ini menatapku.
“Maksudmu ayahmu sudah tinggal di sini sekarang?” aku terbelalak. Fin
mengangguk.
Aku memandang pintu kamar Fin. Khawatir jika tiba-tiba pintu itu terbuka
dan ayahnya tahu bahwa kami sedang membicarakannya.
Fin melanjutkan cerita tanpa sedikitpun mengecilkan volume suaranya.
Agaknya ia tak peduli kalaupun ayahnya mendengar suaranya.
“Awalnya ibuku tak tahu kalau ayahku menikah lagi di Kalimantan… Tak
seorang keluarga pun tahu…”
Aku menggigit bibirku.
“Tak ada yang tahu…hingga suatu malam ada seorang perempuan datang.
Membawa dua anak kecil. Saat melihat ayahku, kedua anak itu memanggil ayahku
dengan sebutan sama…’ayah…’”
Aku mengernyitkan dahi. “Anak kecil tadi ya?” tanyaku. “Iya…Keisha.
Lalu kakaknya Rifqi, yang baru pulang tadi.”
Aku menghela napas panjang. Kupikir kisah
semacam itu hanya ada di sinetron. Aku selalu tertawa-tawa jika ada adegan
semacam itu. Ternyata ini benar-benar terjadi di dunia nyata…pada sahabatku.
“Kak Fin!” suara Keisha mengetuk kamar Fin.
“Ya, Keisha. Masuk…”
“Buat kakak…” katanya. Kali ini tangan mungilnya menyodorkan sebuah
bintang yang dibuat dari kertas lipat.
“Wah…terimakasih. Kamu pintar sekali…”
Aku memperhatikan keduanya bercakap-cakap.
Ini perasaan yang tak bisa kujelaskan.
“Ke mana ibunya?” tanyaku setelah Keisha keluar dan menutup pintu
kamar. Fin tersenyum. “Itu juga
pertanyaanku.”
Aku menaikkan alis. “Ibunya pergi begitu saja?”
“Iya…sambil membawa seluruh uang pensiun ayahku.”
Aku menatap Fin lekat-lekat. Bagaimana ia bisa melewati semua ini?
Terlebih lagi ibunya…
“Jadi… ibumu merawat dua anak ayahmu di rumah ini?”
Fin mengangguk.
Tanganku dingin.
“Ingat aku dulu pernah tinggal di kos?”
Ganti aku yang mengangguk.
“Aku marah pada ibuku. Marah karena ia tak mau menceraikan ayahku.
Semua orang pasti setuju, ibuku punya begitu banyak alasan untuk meninggalkan
ayahku. Tapi ia memilih menerima ayahku kembali…”
Kali ini kata-kata Fin penuh emosi.
“Ini sebab kenapa kau sekolah sambil bekerja?” tanyaku.
Ia mengangguk lagi. “Ibuku tidak bekerja kantoran. Kupikir tadinya
ia bertahan karena bergantung pada nafkah ayahku. Tapi setelah tahu istri
barunya membawa pergi semuanya...aku pulang ke rumah, bertekad membantu
keuangan keluarga. Meski hingga sekarang tak mengerti mengapa ibu
mempertahankan ayahku.”
Aku menatap langit-langit kamar Fin sambil menghela napas panjang.
Rasanya seakan baru dililit sebuah tali besar yang diikat kencang ke tubuhku.
“Fin, ini pisang goreng buat Vania,” ibu Fin memanggilnya dari
dapur.
“Aku saja yang ke dapur,” kataku sambil menahan Fin yang sudah akan
berdiri.
“Lho, Fin ini gimana. Kok kamu yang ke dapur,” Ibu Fin mengangsurkan
piring berisi pisang goreng yang masih mengepul ke tanganku.
“Nggak apa, Tante…” suaraku bergetar. Kuharap beliau tak menyadari.
Sambil menempatkan pisang goreng satu persatu ke atas piring yang lebih kecil,
aku memperhatikan ibu Fin.
Rasanya ingin memeluknya.
“Piringmu masih ada, Fin,” ujarnya tiba-tiba.
Menunjuk ke rak piring. Aku berusaha tersenyum. “Oya?”
Ia balas tersenyum. “Sekarang dipakai Keisha…”
Mataku panas.
Aku tersenyum sekilas dan segera pamit keluar dapur sebelum air
mataku mulai menetes. Langkahku tergopoh-gopoh. Hampir saja aku menabrak
sesosok pria saat sedang berjalan kembali ke kamar Fin. “Eh…Om,” kataku. Ayah
Fin…
Bertahun-tahun aku menunggu momen ini. Saat bertemu dan mendengarkan
kisah penjaga hutan Kalimantan yang jagoan. Sekarang aku sudah tak ingin
mendengar apapun.
***
Cerpen ini ditulis pada 2011 dan memenangkan lomba cerpen lokal Malang.
Saya lupa judul lombanya apa :)
MANIS
Benda-benda kecil
berwarna-warni itu nampak lagi. Kali ini mereka datang dalam pasukan besar.
Menari-nari bergaya memamerkan diri dalam toples-toples kaca gembul. Sementara
yang berbadan lebih besar berbaris berjajar, berderap di atas nampan.
Loli memandangi
tangan-tangan yang terulur meraih satu dua isi toples. Mendengar suara
lidah-lidah mengecap rasa manis dari benda-benda kecil yang melumer dan mengalir
ke dalam rongga mulut mereka.
Loli
menelan air liur. Memaksa bibirnya sendiri membuat segaris senyum saat sebuah
toples tinggi yang terbuka menganga disodorkan tepat di depannya. Ia mencuri
pandang melongok isinya. Puluhan stik wafer panjang berwarna salur hijau krem
berisi lelehan cokelat seakan berlompatan ingin keluar dari mulut toples. Loli
bergidik. Di matanya stik-stik wafer itu
lebih mirip bambu runcing ketimbang jajanan renyah.
Gadis
itu meringis sambil menatap perempuan berkacamata yang menyodorkan toples itu
di hadapannya. Berharap perempuan itu mengerti bahwa ia tak bisa mengunyah
bambu-bambu runcing itu.
Loli
kembali menunduk, buru-buru menggerakkan kedua jempol tangannya lebih cepat, menekan
tombol-tombol di telepon genggamnya. Pura-pura sibuk mengetik pesan singkat. Padahal
yang tampak di layar hanya rangkaian huruf-huruf yang saling bertabrakan, tak
membentuk kata apapun.
Perempuan
penyodor toples melangkah pergi sambil melengos. Mungkin mengira tamu yang satu
itu sedang diet ketat, atau kelewat sombong sehingga menolak makan jajanan
gratisan yang mungkin baginya kurang higienis.
Loli
bukannya tak suka kue, coklat, dan
permen. Hanya saja, makanan-makanan kecil ini punya sesuatu yang baginya
mengerikan. Mereka semua…manis.
Sudah
lama Loli diharuskan untuk berkacak pinggang pada manis, menghardiknya agar
menjauh, menaruh lakban pada mulutnya agar si manis yang menari-nari mengetuk
bibirnya itu tak bisa masuk.
***
“Ini
apa, Non?” Gendhis, pembantu rumah tangga baru itu bertanya pada Loli. Tangannya
yang ceking mengelap permukaan meja kaca di depan televisi, lalu mengangkat dan
mendekatkan sebuah benda ke depan mukanya.
Gendhis
hanya dua tahun lebih tua dari Loli. Sudah lebih dari tiga kali Loli
mengingatkan agar pembantunya itu tak memanggilnya dengan sebutan “non.” Tapi Gendhis
tak juga mengubah caranya memanggil Loli.
Loli
mendongak, menengok benda yang sedang diamati Gendhis. Sebuah toples bulat yang
masih bersegel berisi bola-bola coklat berbungkus kertas aluminium warna emas.
“Oh…coklat,”
ujar Loli singkat. Setoples coklat itu adalah satu dari tumpukan isi parcel
lebaran yang dikirim teman-teman kantor ayah dan bunda dua tiga minggu lalu.
Loli
ingat betul, dulu sempat ada masa saat makanan mungil warna warni itu begitu
berlimpah di setiap sudut rumahnya. Di atas meja, di kulkas, di lemari, bahkan
di meja belajar kamarnya sendiri. Ia tak perlu mencari atau merengek-rengek
meminta. Benda-benda mungil warna-warni berasa manis itu tak pernah berhenti
disodorkan terus menerus di hadapannya. Loli meraup semuanya sendiri, setiap
hari, sambil nonton televisi, atau main game
di komputer.
Itu
dulu. Sekarang mungkin ada selusin parcel di rumah. Tapi bunda telah
menempatkan semuanya di lemari biru besar dekat dapur. Tentu saja Loli tak
berminat membuka satu pun di antaranya. Ayah dan bunda pasti juga tidak. Mereka
sudah lama lebih dulu harus bermusuhan dengan manis.
Gendhis
menaikkan alisnya, menatap Loli. Berharap mendapat penjelasan lebih. Tapi
majikannya itu sudah menunduk lagi, berkutat kembali dengan ponselnya. Kali ini
sambil menaikkan kedua kakinya, meringkuk di atas sofa.
Satu
menit berlalu. Gendhis masih berlutut di sisi meja, menatap isi toples. Loli
melirik memperhatikannya tanpa mendongak. Beberapa saat kemudian Gendhis pergi
juga, berjalan lambat-lambat menuju dapur. Tatapan matanya kosong, seperti
sedang berpikir sesuatu.
Loli memandangi
tubuh kurus Gendhis berjalan menjauh. Mungkin pembantunya itu mengira dirinya
sedang terobsesi punya tubuh seperti Gwyneth Paltrow sehingga coklat pun tak
disentuh, pikir Loli. Padahal sama sekali tidak. Ia jarang menceritakan kisah
permusuhannya dengan manis kepada orang lain, kecuali pada Zania dan Mala, dua
sahabatnya.
Semua
berawal dari sebuah kunjungan ke dokter setelah Loli sering merasa cepat lelah,
mual, sering haus, dan berat badan turun drastis. Saat itu ia masih kelas satu
SD. Ingatannya masih samar. Tapi ia tak pernah lupa wajah dan mata ibunya yang tiba-tiba
memerah menahan tangis saat dokter mengucapkan serangkaian kalimat penuh
kata-kata yang tak ia mengerti. Hanya beberapa kata yang bisa ia tangkap, manis,
makanan cepat saji, kurang olahraga, dan sebuah kata yang beberapa tahun
kemudian baru bisa ia mengerti dan ucapkan dengan benar : diabetes.
***
“Gula
yang biasa ya, Loli,” ujar bunda Loli seraya membuka dompet dan memberikan
selembar uang limapuluh ribu ke tangan Loli. Ia menekankan kata biasa sambil menatap mata Loli.
Loli
mengangguk-angguk. Kali ini ia bertugas menemani Gendhis ke supermarket di
seberang gerbang depan kompleks perumahan. Pembantunya itu belum tahu apa merk gula
yang biasa digunakan di rumah itu.
“Ini,”
telunjuk Loli akhirnya berhenti pada sebuah kemasan gula setelah beberapa saat
berputar di udara, menjelajahi deretan gula berbagai merk di supermarket.
“Oh
yang ini…” Gendhis mengangguk-angguk, perlahan mengambil kemasan kuning yang
ditunjuk Loli. Sedetik kemudian ia terbelalak setelah iseng membaca harga yang
tertera di rak. Ia terdiam. Lalu matanya menyusuri harga-harga kemasan gula
lain. Membandingkan. Dahinya berkerut. Lalu gadis itu menatap Loli, masih dengan
dahi berkerut.
“Kenapa
nggak pakai merk gula yang lebih murah? Sama-sama gula kan? Yang ini paling
mahal di antara yang lain,” Gendhis protes. Seakan-akan ia lah yang harus
membayar sekantong gula itu. Loli terdiam. Bagaimana ia harus menjelaskan ini. Gula
yang digunakan keluarganya adalah gula khusus untuk penderita diabetes. Ia
sendiri tak pernah memperhatikan harganya.
Loli
hanya mengedikkan bahu. “Bunda sih biasa pakai ini,” katanya singkat. Membuat
Gendhis semakin tampak gusar. Ia tak habis pikir kenapa keluarga Loli
menghabiskan uang begitu banyak hanya untuk sekantong gula. Sementara Loli juga
tak mengerti mengapa itu jadi hal besar bagi Gendhis.
***
Keesokan
paginya, ternyata gula masih menjadi sesuatu yang tak terjelaskan di antara
mereka. “Gulanya masih banyak tersisa di dasar cangkir,” ujar Gendhis setelah
Loli selesai meminum susu vanila. Tangan Gendhis mengangkat cangkir putih
gading bekas Loli minum dan melongok ke dalamnya, lalu melirik Loli dengan
tatapan dingin, membuat Loli merasa seakan-akan baru saja membuat kesalahan
besar seperti mencuri.
Loli
diam saja. Ia menenteng tas ranselnya dan berjalan dengan langkah lebar menuju
rak sepatu. Seharusnya sepuluh menit lalu ia sudah berangkat ke sekolah. Tak
cukup waktu untuk mengaduk semua gula yang tadi ia tuang sendiri ke dalam
cangkirnya.
Lagipula
itu kan bukan hal besar, pikir Loli sambil menalikan tali sepatunya. Ia mulai
sedikit kesal.
***
Gendhis
merekomendasikan bapaknya yang adalah seorang tukang bangunan saat ibu Loli
mengeluh butuh seseorang untuk memperbaiki langit-langit teras yang bocor. Loli
yang diminta bundanya menunjukkan jalan ke gudang belakang berkesimpulan bahwa Pak
Rusmin, bapak Gendhis, ternyata punya kesamaan
dengan anaknya. Ia suka memperhatikan apapun di sekelilingnya, terutama
yang baru pertama kali ia lihat. Langkahnya terhenti begitu sampai di pintu gudang
tempat perkakas pertukangan disimpan.
Pria
beruban lebat itu mengamati isi rak-rak di gudang, tak segera mengambil
peralatan. Satu persatu ia membaca label-label yang dibuat ibu Loli pada
kardus-kardus masing-masing kardus, lalu berhenti pada sebuah kardus
bertuliskan “tas bekas.” Ia melongok ke
dalamnya.
Tangannya
meraih isi kardus, mengeluarkan sebuah tas ransel berwarna kuning pucat, dan
membersihkan debu-debu yang menempel pada sisi atas tas dengan tangan kirinya.
“Ini sudah nggak dipakai?” tanya Pak Rusmin pada Loli.
Loli
menggeleng. Ia sudah tak ingat itu tas siapa, atau kapan pernah dipakai. Biasanya
barang-barang yang sudah dimasukkan gudang tak akan dikeluarkan lagi sampai
ibunya merasa gudang sudah terlalu penuh. Dan itu hanya terjadi beberapa tahun
sekali.
“Tas
ini saya ambil, boleh?” Pak Rusmin menatap Loli penuh harap. Loli tercenung. Di
satu sisi ia tak tega melihat bapak tua ini memungut tas jelek itu, tapi di
sisi lain jelas tak ada ruginya ia membiarkan tas bekas tak bertuan itu menjadi
millik Pak Rusmin. Loli mengangguk, sampai tiga kali.
“Terimakasih
ya!” Pak Rusmin tersenyum lebar seakan baru saja menemukan perhiasan emas atau
semacamnya. Gigi putihnya ternyata masih berderet rapi dan lengkap, kontras
dengan warna kulitnya yang gelap.
Loli
melihat Pak Rusmin benar-benar menggunakan tas kuning itu dengan bangga. Saat
melintasi teras dengan menuntun sepedanya, Loli melihat tas itu sudah terisi
dan bertengger di atas kursi rotan di sisi teras. Rupanya Pak Rusmin memasukkan
tas lama beserta isinya ke dalam tas kuning itu.
“Mbak,
ban belakangnya kempes,” ujar Pak Rusmin, menunjuk ban sepeda Loli.
“Ah…iya!
Pantas berat,” Loli mendesah sambil berjongkok menatap ban sepedanya.
Tak
disangka Pak Rusmin mengambil pompa yang sempat sekilas dilihatnya di pojok
garasi, lalu dengan sigap memompa ban belakang sepeda Loli. Loli
berterimakasih, lalu berlari ke dalam rumah menuju dapur sambil membawa teko es
teh untuk Pak Rusmin yang dilihatnya sudah kosong.
Pak
Rusmin menenggak es tehnya perlahan-lahan setelah Loli menempatkan teko yang
sudah terisi penuh di meja teras. Ban sepeda Loli sudah tak gembos lagi.
“Saya jarang
bisa merasakan manis,” kata Pak Rusmin sambil menuang teh ke dalam gelas
kacanya.
Perkataan
itu mengejutkan Loli. Ia menatap Pak Rusmin, mencoba mencerna maksud perkataan
bapak tua itu. Pak Rusmin kembali meminum tehnya perlahan-lahan. Baru kali ini Loli
melihat ada orang terlihat sebahagia itu hanya dengan meminum es teh manis.
“Di
rumah, istri saya tidak pernah pakai gula. Semua minuman dan makanan kami
selalu tawar,” katanya lagi setelah tegukan kedua, “Biar hemat,” ia menyambung.
Loli
tercekat. Tiba-tiba ia merasa kerongkongannya kering. Sekarang ia tahu mengapa
Gendhis berlama-lama memandangi toples coklat, mempertanyakan merk dan harga
gula, serta menatapnya tajam saat ia menyisakan gula di dasar cangkir.
Loli
memperhatikan Pak Rusmin yang kembali menenggak tegukan terakhir es teh
manisnya. Ia menyeka peluh yang mengucur dari dahinya, menetes di kerah baju. Lalu
tersenyum puas. Seperti orang yang baru berbuka setelah berpuasa berhari-hari.
Loli baru
tahu bahwa rasa manis bisa semewah itu.
***
Lucia
Priandarini, 2009/2010
(diilhami
dari kisah nyata)
Cerpen ini sempat saya kirim ke Majalah Gadis, tapi tentu saja tidak dimuat :).