Cerita Pendek



DALAM GELAP

Ketika melihat para tetangga duduk-duduk di teras rumah mereka sore itu, tahulah Sonya bahwa listrik belum juga menyala. Manusia menjadi lebih manusia setiap kali mesin-mesin yang mereka punya tak lagi menyala. Televisi tak lagi bisa diajak bertatapan. Telepon genggam yang baterainya kosong, ditinggalkan di sudut meja. Tak ada yang betah berada dalam rumah tanpa semilir pendingin buatan, apalagi di sore seterik itu.
Yang tersisa tinggal yang nyata. Obrolan tentang pilihan sekolah untuk anak, atau sayup-sayup bunyi lagu dari radio berbaterai gemuk susun dua. Seperti radio kuning Sonya dulu yang sampai sekarang masih disimpannya di sudut lemari pakaian. Barangkali benda itu kini hanya dimiliki para pembantu rumah tangga atau satpam perumahan.
Menurut pemberitahuan, hari ini listrik di area rumah Sonya hanya akan dipadamkan selama lima jam. Jadi harusnya semua sudah normal sejak satu jam lalu. Sonya kesal. Mestinya ia lembur saja di kantor atau menginap di kos teman. Tidak biasanya ia percaya begitu saja pada info pelayanan publik.
Langkah Sonya jadi pendek-pendek. Sambil menghela napas, ia mengibaskan punggung kemejanya yang basah oleh keringat. Sebulan terakhir, ia meninggalkan mobil mungilnya di garasi, lalu berangkat dan pulang kantor dengan berdesakan di kereta. Di tangan kirinya, ada tentengan tambahan. Tas merah kecil berisi kotak bekal makan siang. Ia tak berkomentar ketika teman-teman kantornya membicarakan menu baru di kafe favoritnya. Wanita itu tak pernah lagi ikut ke sana saat jam makan siang.
 “Kukira kau sudah pindah rumah,” sebuah seruan mengejutkan Sonya. Ia menilik dari sela-sela jeruji pagar. Dilihatnya Lamria berdiri dari kursi di terasnya, berkacak pinggang sambil memicingkan mata. Antara meminta penjelasan, atau silau terkena sinar matahari. Sonya senang ada yang membuatnya tiba lebih lambat ke rumah. Tapi ia tak suka dengan topik pembicaraan Lamria.
Tetangganya itu menghampiri gerbang, tapi tidak tampak akan membuka gemboknya. Sonya agak lega. Hanya jawaban singkat, setelah itu ia akan pergi. “Yah, ternyata perkiraan meleset. Kabel listriknya belum juga dipasang. Kami belum tahu kapan akan pindah ke rumah itu,” kata Sonya. “Oh…” Lamria mengangguk. Sonya pamit setelah mereka sejenak saling lontar pendapat soal listrik dan kredit perumahan.
Sesungguhnya rumah tipe 50 yang tadinya akan dihuni Sonya telah lama siap. Sudah ada lebih dari 20 keluarga yang tinggal di sekitarnya. Sonya bahkan telah membeli pagar kayu bercat putih setinggi pinggang untuk ditempatkan di depannya. Namun sejak peristiwa itu, pembayaran uang muka yang mulanya akan dicicil tiga kali, terhenti di kali kedua.

***
Andes terkejut saat mendapati Sonya sudah duduk di teras, melepas sepatunya. “Kapan kau membuka pintu pagar?” tanya Andes kebingungan. Slang di tangannya mengalirkan air sia-sia ke tanah. “Saat kau memasangkan mulut slang ke keran air,” jawab Sonya datar. Pikirannya sedang menimbang apakah mandi dalam remang cahaya lilin akan jadi menenangkan atau mengesalkan. 
Langit sudah tak menyisakan warna lembayung saat Sonya menutup rambutnya yang basah dengan handuk. Ia hendak membuka pintu belakang saat gagang pintu itu lepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Ini untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini bunyinya terdengar lebih nyaring dari biasanya, lantaran tak tertimbun suara TV atau musik.
Andes datang tergopoh-gopoh setelah sempat mengerang ketika kakinya terantuk kaki meja. “Maaf, besok kuperbaiki,” katanya. Sonya dapat melihat pantulan api lilin yang bergoyang pada kacamata suaminya itu. “Tak apa. Aku lupa menahannya.” Untuk kali keseribu, Sonya berpikir bahwa mereka memang sudah seharusnya pindah dari rumah sewaan itu. Semestinya akhir bulan ini. Tapi ternyata tidak jadi.
Sejak menikah, Sonya merelakan beberapa hal tidak berjalan sesuai skenario di benaknya. Tadinya ia berharap rumahnya dapat menjadi tempat teman-temannya dan kawan Andes berkumpul di akhir pekan. Nyatanya, mereka hanya mampu menyewa rumah sekitar satu kilometer dari stasiun terujung jalur rel kereta Jakarta – Serpong. Sungguh merepotkan mengundang teman bertandang.
Ruang tamunya menjadi satu dengan ruang TV. Meja makan kecil diletakkan di sudut ruangan, berdesakan dengan lemari es dan dispenser. Sepetak dapur dibuat seadanya di luar pintu belakang. Tak ada gudang. Mereka menyimpan barang-barang yang jarang digunakan dalam sebuah koper besar. Disimpan di atas lemari pakaian. Buku dan benda-benda lain yang tak muat disimpan di rak atau laci mana pun, mereka tumpuk dalam kardus di sudut ruangan. Setiap kali melihatnya, Sonya jadi semakin semangat menabung untuk keluar dari rumah itu.
Untung, satu-satunya tamu yang pernah mendatangi mereka di luar hari raya adalah agen asuransi kesehatan Andes. Ia datang saat pintu depan terbuka. Sonya sedang santai menonton kuis sambil mengangkat kaki. Kuis yang tidak terlalu menarik. Tapi toh, Sonya tetap agak kesal karena tergusur.
Di bulan ke-24, setelah ratusan hari mengencangkan ikat pinggang, akhirnya ia dan Andes punya cukup uang untuk membayar uang muka sebuah rumah, sekitar 5 km dari rumah sewaan itu. Rumah bercat kuning itu sedikit lebih luas dari rumah yang kini mereka tinggali. Sayangnya, Andes jadi tak perlu lagi menyiram tanaman. Rumah itu nyaris tak menyisakan tanah untuk ditanami. Harganya yang miring, memaksa mereka untuk tidak pindah ke kompleks lain.

***

Sonya ingin bertingkah biasa. Membawa piringnya ke depan TV, lalu makan sambil bersila. Setidaknya itu yang dilakukannya sebulan terakhir. Tapi gelap memaksanya duduk bersama Andes di meja makan persegi. Saat benda itu datang, Sonya sempat menduga mereka salah membeli meja belajar untuk siswa SD. Kini, ia menyendok makanan dengan berhati-hati agar sikunya tak menyenggol siku Andes.
Tak ada suara selain denting sendok beradu dengan piring. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sonya begitu membenci sepi. Kesunyian kadang ditakuti lantaran lebih lantang meneriakkan kejujuran. Sonya enggan membuka mulutnya untuk percakapan. Ia khawatir bicara terlalu jujur. Perutnya baru terisi seperempatnya, tapi Sonya sudah membawa piringnya ke tempat cuci. Andes  mendongak, menatapnya. Sonya mencuci piringnya, memunggungi Andes.
Tak ada yang lebih diinginkannya selain bersembunyi di balik laptopnya, sambil memasang earphone. Seperti malam-malam dalam sebulan terakhir. Ia begitu menyesal tak mengisi ulang baterainya setelah mengetik cerita pendek di kafe, akhir pekan lalu. Telepon genggamnya pun sudah mati sejak dalam perjalanan pulang. Tak ada yang bisa digunakannya agar tampak sibuk. Membaca buku, mungkin. Tapi apa enaknya membaca novel tanpa merebahkan diri di tempat tidur?
 Ia beringsut menyeret sandalnya ke kamar. Terakhir ia tidur pukul setengah delapan malam adalah saat ia terkena gejala tipus, berbulan-bulan lalu. Sedetik Sonya merasa bodoh tak punya alasan rasional untuk tidur sesore itu. Menghindari suaminya. Ia makin frustasi ketika mengulang alasan itu untuk didengarnya sendiri.
Dalam gelap, Sonya mereka ulang kejadian ketika semuanya bermula. Sore itu, saat hendak mengambil uang untuk membayar parkir, ia baru menyadari bahwa dompet kecilnya tak lagi ada di dalam tas. Setengah jam Andes mencari dompet itu di seluruh penjuru rumah. Sonya sudah menduga Andes tak menemukannya. Sonya masih ingat betul ia sudah memasukkan benda itu ke dalam tasnya, setelah sarapan.
Ia juga menentengnya saat jam makan siang, lalu menaruhnya kembali ke dalam tas. Kemungkinannya, benda itu terjatuh saat ia membeli bensin. Setelah memastikan bahwa dompet itu tidak tertinggal juga di meja kerjanya, buru-buru Sonya menghubungi bank yang mengeluarkan kartu debit dan kreditnya.
“Tidak ada transaksi dua bulan terakhir,” jawabnya yakin, ketika petugas menanyakan tanggal transaksi terakhirnya. Selain untuk membeli tiket pesawat dan mendapat diskon nonton di XXI, Sonya tak pernah menggunakan kartu kreditnya. “Tapi dalam catatan kami ada, Bu,” kata suara di ujung sana. Jantung Sonya serasa terlempar ke udara. Mungkinkah pencuri dompetnya bergerak secepat itu? “Atas nama Bapak Andes Putra, penarikan tunai…” ujar suara itu lagi. “Oh…” Sonya bingung memutuskan antara harus merasa lega atau di awal kekesalan. “Iya, benar. Itu suami saya,” Sonya merasakan pening di kepalanya. Tubuhnya lemas.
Andes tak pernah mengajukan aplikasi kartu kredit. Kartu yang digunakannya adalah kartu turunan dari kartu kreditnya. Bank memberikannya cuma-cuma. Sonya memindahtangankan kartu itu pada Andes tanpa mengharap suaminya itu menggunakannya. Aneh memang. Tapi Andes memang sama sekali bukan tipe orang yang berprinsip “senang sekarang, bayar pikir nanti.” “Untuk jaga-jaga,” Sonya masih ingat kalimat yang dikatakannya saat memberikan kartu itu pada Andes. Entah berjaga dari apa.
Rincian tagihan datang sekitar sepuluh hari setelah dompetnya hilang. Jumlahnya melebihi perkiraan Sonya. Gajinya sebulan hanya sepertiga dari nominal yang tertera. Seketika napasnya terasa berat.
Siang itu ia langsung menelepon Andes untuk bertanya, untuk menghakimi. Pria itu tak berhenti meminta maaf dan berjanji segera melunasi utangnya. Sonya sangsi. Andes tak akan mengambil dana itu jika tidak benar-benar terjepit. Bagaimana ia akan mengembalikan uang yang belum pernah ia punya? Apalagi jika ia belum berhasil keluar dari situasinya sekarang.
Malamnya, Sonya meringkuk di ujung tempat tidur. Mendengarkan cerita Andes tentang seorang klien yang menipunya. Andes bersama rekannya telah menyelesaikan sebuah web bernilai puluhan juta. Namun sang klien mangkir dan menghilang tanpa jejak. Sementara rekan Andes, sedang menunggu-nunggu hasil proyek itu untuk anaknya yang akan menjalani operasi.
Sonya ingat, malam itu ia belum sanggup bersimpati. Baik pada Andes, maupun pada rekannya. Wanita itu kehilangan dompet persis setelah ia mengambil uang untuk belanja bulanan. Tak ada apapun di kulkas. Sementara gajinya baru akan masuk 20 hari kemudian. Dengan cepat ia memangkas semua pengeluaran yang bisa dihemat.
Dengan mata sembap, esok harinya ia menarik hampir seluruh tabungan mereka selama 2 tahun, yang tadinya akan dijadikan uang muka rumah. Andes sebenarnya berkeras membayar utang itu sendiri, meski belum tahu kapan. Tapi Sonya tak ingin mereka harus membayar bunga dari bunga utang. Bulan depan, ia berharap semua sudah lunas.
Sonya memutar ulang semua di kepalanya. Matanya sama sekali tak bisa terpejam. Andes sudah ikut masuk ke balik selimut, seperempat jam lalu. Kini Sonya bisa mendengar tarikan napasnya yang teratur. Tanda ia sudah terlelap.
Ketika jam dinding di ruang TV berdentang sepuluh kali, Sonya memutuskan untuk menyelinap keluar kamar. Dinyalakannya lilin merah dengan lilitan pita di atas meja makan. Lilitan pita? Sonya baru menyadari, lilin itu adalah sisa peringatan hari pernikahan mereka yang kedua, Januari lalu.
Saat itu Andes menggelar tikar di lantai atas. Sebuah tempat terbuka untuk menjemur pakaian. Lilin itu tentu saja berulang kali mati tertiup angin. Mereka memutuskan makan sambil ngobrol dalam gelap, lalu berbaring menatap langit. Begitu jauhnya rumah sewaan itu dari hiruk pikuk kendaraan ibukota, hingga mereka masih bisa melihat bintang. Andes memasakkan sate lilit khas Bali dan tumpeng nasi kuning dalam ukuran mini. Tidak romantis, bahkan aneh, tapi Sonya suka.
Sonya tersenyum dalam remang cahaya. Didekatkannya lilin pada jajaran foto-foto mereka di atas bufet. Di paling kiri, ada foto mereka di halaman sekolah, berpakaian putih – abu-abu. Andes si ketua OSIS. Sedangkan Sonya tak aktif berorganisasi. Ia justru sering bolos karena ikut kejuaraan renang di luar kota. Mereka berdiri bersebelahan, malu-malu. 
Di bagian tengah, Sonya memandangi fotonya sendiri. Rambutnya masih di atas bahu. Rok terusan bermotif batik mega mendung itu kini sudah tak muat di pinggangnya. Ia sedang berdiri di sebelah sebuah rangkaian bunga setinggi setengah meter di meja kantornya.
Pipinya bersemu merah. Ia tertawa, bukan lagi tersenyum. Andes mengirim kejutan itu ke kantor di tahun pertama hari ulangtahun pernikahan mereka. Teman-teman sekantornya seketika berteriak heboh ketika benda itu datang.
Ada sepucuk amplop berisi sehelai surat di dalamnya. Ternyata puisi. Teman-temannya berebutan ingin membaca, betapapun Sonya setengah mati ingin menyembunyikannya. Lobi kantor riuh oleh siulan saat Andes datang menjemput Sonya, sorenya. Sejak itu, Andes menjadi ‘idola’ di kantor. Sonya tersenyum-senyum sendiri saat meletakkan pigura itu kembali.  
Di sebelah bufet, ada TV pemberian ayah Sonya. “Andes bilang kamu bisa gila kalau tidak ada TV,” ujar ayahnya saat menyuruh Andes membawa TV itu masuk ke rumah. Sonya tertawa sendirian, mengenang dalam gelap. Jika sedang tidak mengajar renang, di akhir pekan Sonya memang hanya bermalas-malasan menonton Fox Movie di TV.
Sonya beranjak mendekatkan lilin itu ke dalam lemari pendingin, berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan kudapan. Ada sepanci sop ayam buatan Andes, sisa makan malam tadi. Salah satu dari sekian banyak menu racikannya yang jadi favorit Sonya. Meski isinya tak sebanyak dulu, susunan bahan makanan dalam kulkas itu tetap sama.
Andes melabeli hampir semuanya. Pada kertas-kertas mungil persegi empat itu, ia menuliskan nama bahan, tanggal dibeli, berikut perkiraan kadaluarsanya. Ia telah mengolah dan mengemas semuanya dalam wadah-wadah kecil hingga bisa digunakan dengan cepat. Setelah lebih dari 10 tahun mengenal, Sonya masih sering terkesima dengan kecermatan Andes. Ia menutup pintu lemari es perlahan, seakan khawatir akan mengacaukan susunan yang dibuat Andes.
Sejak awal menikah, keduanya bertukar tempat. Sonya bekerja kantoran di luar rumah, sedangkan Andes bekerja sebagai freelancer di rumah. Mulanya Sonya bersikeras untuk mengerjakan sebagian besar urusan domestik seperti memasak, menyetrika, membereskan rumah. Tapi diam-diam Andes terus melakukan semuanya sendiri. Setiap kali Sonya pulang, tak ada lagi hal tersisa yang harus dilakukannya.
“Sudahlah. Kamu pasti capek, terutama karena perjalanan pulang pergi kantor,” begitu kata Andes setiap kali Sonya berniat menata ulang pembagian tugas mereka. Lagipula, Andes benar soal kepenatan pulang pergi bekerja. Tak ada lagi yang sanggup dilakukannya begitu tiba di rumah. Tubuhnya meminta istirahat setelah 1,5 jam di jalan.   
Sonya membawa lilin itu berkeliling rumah. Dalam cahaya yang tidak sempurna, jajaran buku miliknya dan Andes tampak lebih indah dilihat. Jari-jari Sonya mengusap punggung-punggung buku pada rak tinggi itu. Sampul-sampul plastiknya tampak berkilau. Andes yang menyampul buku Sonya satu persatu. Beruntung Sonya bersama orang yang memposisikan buku sama tinggi seperti dirinya.
 Saat akan mengambil air minum, pandangan Sonya tertambat pada sekeranjang pakaian yang sudah rapi disetrika. Siap disimpan di lemari. Ia mungkin tak akan sanggup serapi itu jika mereka bertukar tempat. Sonya sudah mengusulkan untuk mempekerjakan seorang asisten rumah tangga yang sekedar berbenah di pagi hari. Tapi Andes tak mau.
“Kakakku dan istrinya bisa melakukan semua hal sendiri, dengan dua balita. Ini tidak seberapa,” Andes akan mengulang cerita tentang kakaknya yang tinggal di Atlanta, Amerika itu, tiap kali Sonya mengulang idenya tentang pekerja rumah tangga.
Good Housekeeping, 20`3
Ia membayangkan Andes melakukan semua pekerjaan yang sering dianggap remeh temeh itu hampir tiap pagi. Tak pernah Sonya mendengar Andes mengeluh. Entah bagaimana selama ini, Sonya tak pernah benar-benar melihat semua itu. Justru dalam gelap, Sonya baru bisa melihat dengan terang.   
Mendadak sebuah perasaan hangat menelusup ke hati. Simpul kerumitan yang beberapa waktu lalu ia pikirkan dalam gelap, seketika terurai. Tak ada yang hilang. Sonya justru merasa begitu kaya. Uang datang dan pergi. Tapi Sonya tak bisa membayangkan andai Andes tidak ada. Matanya jadi berat, menahan air mata.
Tak hanya hati, kini Sonya merasakan tubuhnya menghangat. Andes tiba-tiba perlahan memeluknya dari belakang. “Maafkan aku…” bisiknya. Sesaat, tak ada suara. Tangan mereka berpegangan. “Tak apa. Rumah tanpa halaman berumput sama sekali tidak ada dalam daftar mimpiku,” Sonya membalik badan, balik memeluk Andes. Sayup-sayup terdengar suara gitar dipetik di rumah tetangga. Mendadak Sonya rindu pada api unggun perkemahan sekolah. Saat itu Andes untuk pertama kali membacakannya puisi.

***
Dimuat di Majalah Good Housekeeping, 2013



Kepada Pohon

Hingga tutup usia, Ibu menepati janjinya untuk tak menjejakkan kaki ke mal besar itu. Mal tiga tingkat yang biasa kukunjungi dengan lima menit jalan kaki dari rumah. Ibu memilih naik kendaraan umum ke pertokoan di alun-alun untuk membeli pakaian, bahan kue, hingga bingkisan untuk kerabat, meski semua barang itu sebenarnya bisa dibeli dengan mudah di mal dekat rumah. Sedangkan aku bahkan berhenti membeli odol dan deterjen di toko kelontong seberang rumah hanya agar punya alasan belanja ke supermarket di lantai bawah mal itu.

Di masa awal mal itu dibangun, puluhan mahasiswa membawa spanduk  berdemonstrasi hampir tiap hari, menolak pembangunan mal yang lokasinya berdekatan dengan kampus mereka itu. Tetapi Malang di siang hari semakin panas, apalagi dengan jas almamater dan tangan mengepal ke udara. Suara garang “hidup rakyat” dari pengeras suara kian melirih. 

Mahasiswa-mahasiswa yang sama kemudian lulus dan menggantung jas almamater. Perlahan mereka mulai ikut menyesap kopi sambil bersantai di bawah semilir pendingin ruangan mal, atau membeli ponsel merek terbaru di lantai paling atas. Namun tidak demikian dengan Ibu.
“Pengembang mal itu menebang setidaknya lima belas pohon trembesi yang tadinya tumbuh di laha bangunan itu!” ujar Ibu berulang kali setiap kali aku bertanya mengapa ia tak mengambil langkah mudah dan normal seperti berbelanja ke mal terdekat. Aku tak tahu seerat itu hubungan Ibu dengan pohon.  Aku bahkan tak pernah berhasil mengenali dan mengingat nama-nama pohon.

Relasiku dengan pohon tidak begitu baik. Pohon terdekat dari tempatku tumbuh, yaitu di halaman rumah, adalah pohon cemara yang hampir selalu dipenuhi ulat bulu. Ulat-ulat itu terus datang kembali bahkan ketika pohon itu mungkin telah berulang kali mabuk oleh semprotan bahan kimia pembasmi ulat.

Satu-satunya tautan menenangkan yang kurasakan pada pohon adalah saat aku duduk terkantuk-kantuk di atas becak, melintasi jajaran pohon rimbun di Jalan Tanggamus, sepulang sekolah. Atau ketika aku berteduh di pohon paling besar di Jalan Pandan, saat terengah-engah lari mengelilingi sekolah di pelajaran olahraga. Pohon yang tentu saja tak kutahu jenisnya.  

Pohon itu kini masih ada di sana saat aku tak sengaja mengambil jalan memutar ke Jalan Panderman dan melintasi sekolah. Aku ingat mengendurkan gas motorku beberapa saat, memandanginya seakan ia kawan lama yang membawa kembali semua kenangan masa kecil.  
 “Trembesi itu bahkan sudah ada sejak ibu balita. Saat SD, ibu sering bersepeda melewati jajaran pohon itu. Bagaimana orang bisa dengan mudah mematikan sesuatu yang lebih tua dari republik ini? Atas nama apa? Pembangunan?” aku ingat kalimat Ibu suatu sore, lagi-lagi tentang trembesi. Kadang kupikir ia berlebihan. Tapi saat itu aku jadi membayangkan pepohonan yang barangkali ikut menyaksikan Soekarno melintas untuk meresmikan Monumen Tugu.

“Kau tahu? Pohon-pohon kenari ini sudah berusia lebih dari seratus tahun,” ucap Ibu sambil melihat keluar jendela, menatap rimbunnya pepohonan yang kami lewati. Mobil Kijang renta kami perlahan melintasi bangunan sekolah tua Cor Jesu. Ibu lebih sering menyebut bangunan itu Biara Ursulin.

Pohon-pohon itu pasti telah menjadi saksi banyak kematian dan kehidupan baru. Mereka berdiri di sana saat Nippon jadi tuan dan tuan tanah setempat jadi warga kelas dua. Jajaran trembesi itu pasti telah menaungi ratusan warga yang berdiri di tepi jalan, menanti pawai kemerdekaan tiap bulan delapan. Mereka menyaksikan bayi-bayi yang digendong ibu mereka dalam jarit batik kemudian menjadi manusia berseragam pegawai negeri, berjubah dokter, ataupun digelandang ke kantor polisi lalu berseragam narapidana.

***
Siapa sangka aku menikah karena pohon. Dahlia, teman kantor berambut cepak yang gemar menjodohkan orang itu memperlihatkan foto seorang pria  mengenakan syal kelabu berlatar pohon pinus raksasa. Foto pria kesekian yang ia sodorkan padaku. Tetapi foto yang satu itu membuatku tertegun. Entah siapa yang lebih kuperhatikan, pinus atau sosok si pria. Buatku foto itu lebih berupa foto pinus gagah dengan seorang pria yang kebetulan berdiri di depannya, seakan mereka adalah kawan lama.

“Itu pinus bristlecone di Utah, Nevada. Aku berfoto setelah selesai ujian tesis di kampus,” kata pria itu saat kami bertemu di sebuah kafe berdinding kuning. Kemudian ia berseloroh soal betapa buruknya penataan lalu lintas, dan nyaris segala hal di Indonesia dibanding Amerika. Aku tak begitu menyimak. Dalam benakku, yang penting adalah ia tahu nama pohon yang kuduga sudah berumur 1000 tahun itu. Belakangan aku baru tahu pohon jenis itu bisa berusia 4000 tahun. Jika seseorang atau sekelompok orang menebangnya, berarti ia telah menumbangkan sebuah kehidupan yang bisa jadi lebih purba dari peradaban yang mereka kenal.

Tahu-tahu ia sudah membelikanku sebuah rumah di pusat kota, tepat setelah undangan pernikahan berwarna merah emas itu disebar. Meski berlantai dua, tapi rumah itu nyaris tak punya halaman berumput di depan. Semua habis dibangun jadi tumpukan bata. Tentu itu bukan rumah impianku, meski Dahlia dan semua teman kantorku memujiku sebagai wanita beruntung. “Kau bahkan bisa berjalan kaki ke mal baru itu! Ya meski nggak mungkin Tonton membiarkanmu jalan kaki keluar rumah,” ujarnya girang menyebut nama suamiku, lalu terbahak.

Hanya pohon di belakang rumah yang tampak tak mengada-ada. Pohon jambu yang sudah meranggas itu biasa kupandang lekat-lekat dari jendela dapurku. Ia sebatang kara, dengan dua dahannya di kanan kiri yang simetris, seperti manusia sedang mengangkat tangannya ke langit, pasrah.

Dapur lengkap dengan oven dan kompor listrik di dapur itu semakin jarang kugunakan. Pria yang membelikanku rumah itu tak akan pulang sebelum satpam perumahan berkeliling memeriksa keamanan, pukul 00. Esok paginya, ia sudah mengeluarkan mobil pukul lima. Mau olahraga dulu di pusat kebugaran katanya.

“Kurasa dia tidak mencintaiku,” kataku pada Dahlia di kafetaria, saat istirahat kantor. Tentu aku sudah tak lagi bekerja kantoran. Tonton bilang aku tak lagi perlu mencari uang. Semua sudah ada. Tak perlu atau tak boleh, aku sudah tak tahu bedanya.

“Tidak mencintaimu? Yang benar saja. Kau punya segalanya. Ia tak pernah absen memberimu uang kan,” Dahlia mengunyah es batu sisa jusnya tanpa menatapku. Lalu ia membuka tas kulitnya, mengeluakan katalog kosmetika terbaru, dan membuatku membeli satu lagi pemulas pipi dan bedak yang tak kuperlukan seharga lima ratus ribu.

***
Di suatu sore saat hujan tak jadi turun, Tonton mendadak memasuki rumah dengan menenteng tas-tas kertas yang berisi penuh di kedua tangannya. Ia menyuruhku membukanya sambil mondar-mandir mengeluarkan pakaiannya sendiri dari lemari. Dari dalam tas-tas itu, tanganku perlahan menarik gamis-gamis panjang dan hijab. Aku tertegun.

“Kamu akan berperan penting menentukan kemenanganku,” lelaki itu tak menatapku saat menyebutku sebagai orang penting. Ia menurunkan koper dari atas almari, sambil berujar panjang lebar tentang kampanye sesuatu. Dari yang kutangkap, ia menyalonkan diri menjadi bupati di tanah kelahirannya. Sebelum aku benar-benar mencerna kalimat-kalimatnya, malam itu Alphard yang kami tumpangi, entah milik siapa, melaju cepat membelah gelap malam.

***
Foto Tonton menjadi berlipat ganda. Wajah di foto itu sumringah dengan beskap Jawa Timuran. Di sisinya, tampak seorang wanita berhijab dengan riasan wajah tebal, yang ternyata adalah calon wakil bupati.

Jantungku berdegup kencang saat mendengar ayunan palu seorang pria kurus memaksa ujung runcing paku menembus batang pohon. Dang dang dang! Aku menutup telinga dengan kedua tangan seperti anak kecil ketakutan mendengar suara petir.

Sambil berkacak pinggang, Tonton tersenyum lebar menyaksikan wajahnya akhirnya terpasang pada satu batang pohon. Masih ada setidaknya sepuluh pohon lagi yang akan dipaku di sepanjang jalan utama itu. Aku meminta izin pergi menjauh, ke warung kopi terdekat, seperti orang yang tidak tahan melihat hewan disembelih.

“Kenapa kau siksa pohon?” Alphard perlahan menjauh dari pohon-pohon dengan wajah Tonton. Sengaja kulirihkan suaraku agar tak terdengar pria kurus di kursi depan dan pengemudi.
“Pohon? Tersiksa? Apanya?” Tonton balik bertanya, tapi wajahnya sedang melongok ke dalam tas, mencari-cari sestuatu. Ia kemudian bicara pada si pria kurus tentang jadwalnya naik panggung esok. Katanya aku juga perlu ikut. Si pria kurus mengonfirmasi bahwa artis dangdut dan massa bayaran sudah siap.

***
“Jangan menikah dengan pria yang tak peduli pada pohon,” kata-kata Ibu kembali terdengar, seperti ayat kitab suci yang terlintas begitu saja saat gamang. Saat itu, menjelang ajalnya, aku ingin memintanya ikut merapal doa atau menghela napas panjang saja ketimbang membahas pohon. Tetapi akhirnya kubiarkan saja ia bicara sambil aku sekuat tenaga menahan air mata.

“Pohon itu, Nak, adalah makhluk hidup yang paling tabah menantang sinar matahari dan menyaring rintik hujan. Meski sering disalahkan, mereka memberi hidup tanpa syarat dan tanya. Siapapun yang dengan mudah mematikan pohon tanpa alasan, sesungguhnya mereka tak pernah benar-benar menghargai kehidupan.” Sejak Ibu meninggal, deru bunyi mesin pemotong pohon di telingaku terdengar seperti rudal Rusia menggempur Suriah.

Pintu ruang tamu berderik. Aku tersentak. Pukul satu dini hari. “Jadi kapan kira-kira lahan itu bebas dari semua pohon?” aku mengusap mata saat mendengar Tonton memasuki ruang TV sambil bicara dengan seseorang di telepon. Pohon apa? Di mana? Untuk apa? “Kalau sampai akhir bulan ini belum selesai, kita bisa kehilangan kesempatan dapat 2 M untuk dana kampanye.” Pria itu mengucapkan satu dua kalimat lagi yang lolos kudengar sebelum mengakhiri pembicaraan.

Punggungku menegak. Aku tak tahu proyek suamiku membuatnya perlu mematikan pepohonan. Jantungku berdegup kencang ketika ia memutar gagang pintu kamar. Aku berusaha tak bersuara saat ia mengganti pakaian dan gosok gigi, lalu berbaring di sisiku. Tanganku gemetar. Aku tidur bersama pembunuh.

***
Pernikahanku bermula dan berakhir karena pohon. Namun setidaknya Ibu benar. Setahun kemudian rumah pemberian Tonton yang jadi tempatku melamun tiga tahun disita. Sepekan sebelumnya, pria itu ditangkap atas kasus sengketa lahan. Aku singgah ke rumah itu untuk mengambil satu koper pakaian lama yang tersisa.



Aku menyelinap perlahan ke dapur, berharap dapat mengantongi kenangan, entah apa. Pohon jambu di belakang rumah itu masih ada di sana. Anehnya kedua dahannya sedikit lebih rimbun. Ia kini tampak seperti anak kecil yang mengangkat kedua tangan riang.

***


Jawa Pos Radar Malang, Minggu, 30 Oktober 2016 

Petunjuk untuk Bintang

Mulanya kukira aku bukan siapa-siapa. Sekedar benda pelengkap yang dipajang di sudut ruangan berlantai kayu yang dikelilingi kaca. Temboknya dilapisi kertas dinding putih bertekstur dengan detail bunga-bunga kecil. Dua pengeras suara besar berdiri gagah di sudut-sudut ruangan. Empat pendingin ruangan bertengger di atas jendela-jendela lebar di tiap sisi, dilengkapi kantong pewangi warna hijau yang bergoyang ke sana kemari tertiup angin.
Sebelum pukul sembilan pagi dan setelah pukul lima sore, Lamalera, nama ruko dua lantai tempatku berada itu dipenuhi perempuan-perempuan berkaos dan celana pas badan. Tak ada lelaki yang dapat masuk, kecuali sesekali, saat mereka memperbaiki pendingin ruangan atau membetulkan daun jendela yang rusak.
Begitu tiba di lantai atas tempatku berdiri, wanita-wanita itu, tua muda, berganti pakaian, mengikat rambut ke atas, sebagian membuka hijab, dan mengenakan sepatu warna-warni. Tentu saja diiringi celotehan tentang harga cabai yang sedang turun, toko online yang sedang diskon, atau anak yang sedang ujian.    
Sebagian perempuan hanya gemar berkutat di lantai bawah, bergantian menggunakan treadmill, sepeda statis, hingga mengangkat beban. Sebagian lain tampak lebih sering duduk ngobrol daripada olahraga. Ada yang begitu rajin hingga datang dua kali sehari. Pagi hari selepas mengantarkan anak ke sekolah, dan sore hari, setelah membereskan rumah. Sementara sebagian perempuan lain hanya datang di sore hari dengan pakaian rapi, selepas pulang kantor.
Jika lantai bawah penuh berisi alat, lantai atas dibiarkan kosong menjadi satu ruangan lapang, tempat para wanita ini menggerakkan tubuh mereka mengikuti gerakan instruktur perempuan yang tangkas dan cekatan. Sesekali si instruktur akan berkeliling sambil berteriak, memastikan peserta kelas mengikuti gerakannya dengan tepat. Aku senang setiap kali melihat bola-bola besar, matras, dambel, hingga tongkat-tongkat kayu ikut membantu mereka meliuk-liukkan tubuh.
Beberapa wanita sangat mahir menggerakkan tubuh dan menggunakan alat. Beberapa yang lain bahkan tidak berniat mencoba. Mereka yang paling sigap mengikuti gerakan tentu saja adalah wajah-wajah yang sudah lama kukenal dan terus datang. Sementara wanita-wanita yang wajahnya baru pertama kali kulihat kadang terlihat canggung dan kebingungan. Beberapa tidak pernah datang lagi, sementara yang lain akan perlahan menyesuaikan diri.

Semula aku tidak tahu bahwa kehadiranku ternyata penting bagi para perempuan ini. Setiap angka yang kutunjuk seperti mantra yang bisa mengendalikan pikiran dan perasaan mereka. Sejak hari pertama aku tiba, mereka rajin sekali menghampiri dan naik ke atas penampangku, seringnya sesudah berolahraga. Beberapa gadis bahkan menimbang sebelum dan sesudah olahraga. Mungkin untuk menghitung sudah berapa berat badan mereka turun setelah bergerak ke sana kemari. Aku bukan ahli kebugaran, tapi yang kutahu berat badan tidak bisa turun naik secepat itu.
            Aku ikut senang setiap kali mereka tersenyum lebar setelah melihat angka yang kutunjuk. Setelah itu mereka akan mematut-matut diri, melihat bayangan mereka pada cermin sambil mengelus perut atau meniruskan pipi. Beberapa bahkan mengambil swafoto bersamaku. Namun yang lebih sering terjadi, aku ikut sedih saat mereka mendesah resah, kesal, bahkan berjalan menjauh dengan mengentakkan kaki setelah melihat angka yang kutunjuk.  
Di antara gadis-gadis yang kerap mendatangiku, Bintang adalah favoritku. Alisnya tebal, rambutnya ikal sebahu, dan kulit sawo matangnya seperti bersinar setiap tertimpa cahaya lampu atau sinar matahari yang menerobos lewat kaca jendela. Ia adalah gadis paling ceria yang pernah kulihat. Tiap kali datang, ia menyapa hampir semua orang, anggota lama hingga baru, termasuk Mbak Narti, pembersih ruangan, yang sering terabaikan. 
Dari tempatku berdiri di dekat jendela, aku pernah melihatnya membeli dua bungkus nasi uduk dari warung tenda di ujung parkiran. Sebungkus ia tenteng dalam kantong plastik putih, sementara sebungkus lagi ia berikan pada Pak Dar, tukang parkir renta yang entah sejak kapan sudah menjaga parkiran di sepanjang pertokoan ini.
Kali lain, kulihat ia mengeluarkan dua kotak susu UHT dari tasnya, lalu mengangsurkannya ke tangan anak penjual koran yang kerap duduk di tepi trotoar seberang jalan. Senyum anak itu merekah, seiring dengan tawa lepas Bintang sebelum ia kemudian menyeberang jalan, menuju tempatku berada.
Namun rupanya bukan aku saja yang senang memperhatikan Bintang. Dari sisi jendela tempatku berdiri, di sore saat gadis itu memberikan susu UHT pada penjual koran, tak sengaja aku melihat seorang pria di toko sebelah yang memperhatikan Bintang. Lelaki itu membuka jendela dan melongokkan kepalanya keluar. Caranya memandangi Bintang seperti tak biasa. Matanya seolah berbinar dengan selengkung senyum yang terlalu kentara di bibirnya. Hidungnya mancung, kulitnya bersih, rambutnya dipangkas cepak seperti tentara. Kemeja kotak-kotaknya agak digulung ke atas.
Pria itu baru kulihat ada di sana sekitar sebulan terakhir. Dua pekan lalu, toko itu baru dibuka dan sejak itu hampir tak pernah sepi. Lima pegawainya mengenakan celemek cokelat dan topi koki. Pengunjung yang keluar dari sana menenteng kantong berisi kotak-kotak segiempat. Aroma martabak terus menguar dari toko itu menerobos ke Lamalera, seperti serangan peluru yang meruntuhkan pertahanan mereka yang sudah berikrar untuk tidak jajan. Gadis-gadis di Lamalera berkelakar bahwa olahraga mereka sia-sia. Selepas kelas mereka hampir selalu mampir ke sana.

***
Dentuman musik kencang dengan irama cepat yang diteriakkan si pengeras suara selalu membuatku penampangku sedikit bergerak-gerak. Si penyejuk ruangan sering berkata ia lebih suka musik yoga yang syahdu dan menenangkan. Ia bilang yoga sedikit banyak menggambarkan dirinya yang tenang dan menyejukkan.
Namun aku terus terang lebih suka musik zumba yang cepat dan ceria. Begitu juga dengan Bintang. Pernah kudengar ia mengeluh mengantuk setiap kali mencoba melakukan yoga. Sebaliknya, gadis itu selalu berada di baris paling depan dengan senyum lebar saat menggerakkan badannya diiringi musik hiphop hingga salsa.  Pakaian favoritnya adalah kaos kuning pas badan dengan gambar bintang di dada dengan legging tujuh per delapan.
Akan tetapi hari ini jiwa Bintang seperti terbang dari raganya. Sore ini ia menaiki anak tangga ke lantai dua dengan langkah kaki perlahan, seperti ada beban yang diikatkan pada pergelangan kakinya. Kepalanya menunduk ke bawah. Matanya enggan menatap, apalagi menyapa siapapun di ruangan. Bibirnya yang selalu melengkungkan senyum kini membentuk garis lurus. Ia menghempaskan tubuhnya, duduk tak jauh dari tempatku berdiri setelah meletakkan tas ransel cokelatnya, sedikit dibanting.
Biasanya ia akan langsung mengeluarkan sepatu birunya dari dalam tas dan mengenakannya sambil mengajak ngobrol siapapun di dekatnya. Tetapi kali ini gadis itu memilih mengeluarkan telepon genggam putihnya, menggeser dan memencet layar beberapa kali, lalu mendesah. Tatapannya hinggap sejenak ke lantai kayu, lalu ia memasukkan ponselnya lagi ke saku depan tas. Ia menoleh, kemudian berdiri menghampiriku.
Sebelumnya Bintang tak pernah benar-benar peduli pada berapa angka yang kutunjuk dengan jarumku. Tetapi kali ini berbeda. Perlahan ia menaiki penampangku. Matanya terpaku menunggu jarumku bergerak menuju satu angka. Ia memiringkan kepala dengan bibir yang  masih terkatup rapat. Kemudian tak kusangka, ia berjalan menjauh dariku dengan wajah masam sambil mendengus. Bintang telah menjadi seperti sebagian gadis lain yang menjadikanku mercusuar, penunjuk arah, penentu kebahagiaan.
Kelas zumba sore itu sungguh terasa sepi tanpa senyum dan tawa Bintang. Untuk pertama kalinya, ia memilih berdiri di baris paling belakang, tak bersemangat mengikuti gerakan instruktur. Gadis itu hanya menggeleng saat teman-temannya mengajak dirinya menempati posisi biasa di depan.
Sinar matahari sore sudah meredup saat musik sesi pendinginan berhenti mengalun pertanda kelas usai. Peserta kelas sore itu sudah menepikan diri, duduk merapat di depan kaca-kaca di sekeliling ruangan, membuka botol minum dan melepas sepatu. Di saat yang sama, satu dua peserta kelas berikutnya, yoga, sudah mulai menaiki tangga.
“Apa artinya kalau cowok cuma baca, tapi nggak membalas pesan singkat kita? Padahal dia online terus,” aku mencuri dengar Bintang menggerutu. Di sisinya, gadis berambut keriting yang kutahu bernama Leoni sedang menggulung kaosnya yang basah oleh keringat. Ini untuk kali pertama aku mendengar Bintang membicarakan pria. Beberapa gadis sempat kulihat diantar jemput pacarnya saat datang ke Lamalera. Tapi tidak dengan Bintang. Aku belum pernah melihatnya dekat dengan pria manapun.
“Mungkin dia sedang sibuk aja? Kita kan pasti juga pernah lupa balas pesan,” Leoni berhati-hati menanggapi. Gadis itu paling dekat dengan Bintang, setidaknya di Lamalera. Bintang menatap Leoni sekilas, lalu memutar bola mata. Tak pernah kulihat ia seresah itu. “Aku sih nggak akan lupa balas kalau orang yang mengirimiku pesan kuanggap penting,” tukas Bintang, terdengar seperti merajuk. Leoni diam saja, barangkali sedang memikirkan respon yang tepat untuk meredakan kegundahan sahabatnya itu.
“Menurutmu dia suka cewek seperti apa ya? Apa mungkin aku kurang cantik? Kurang langsing? Kulitku terlalu gelap ya? Atau rambutku kurang lurus?” tanya Bintang pada Leoni. Mungkin juga ia bertanya ke dirinya sendiri. Ia memutar posisi duduknya, menatap cermin sambil membenahi ikatan rambut, lalu mengusap kulitnya yang sawo matang. Ganti Leoni yang mendesah. Ia bergeser mendekati sahabatnya, lalu berkata, “Bintang, kau sendiri yang pernah bilang, jangan pernah mengubah diri untuk menarik perhatian cowok.”
Bintang menatap mata Leoni, lalu menunduk. Perlahan gadis itu mengemasi sepatu dan kaos kakinya yang masih berserakan, lalu memasukkannya ke dalam ransel. “Aku pulang duluan, ya. Sampai besok di sekolah,” kata Bintang pada Leoni lima menit kemudian, dengan suara tak bersemangat. Sebelumnya, ia menyisir rambut ikalnya yang setengah basah dengan jari.
Leoni menatap langkah kaki Bintang menuruni anak tangga tanpa sempat berkata apa-apa. Aku baru tahu bahwa saat sedang suka dengan pria, seorang gadis bisa berubah jadi seseorang yang mungkin tidak ia kenal sendiri.
Ruangan itu sudah dipenuhi peserta kelas yoga saat seorang gadis berambut lurus yang diikat ekor kuda menghampiri Leoni yang masih duduk sambil menggeser-geser layar ponselnya. “Gimana? Salam dari kakakku sudah disampaikan ke Bintang?” gadis rambut ekor kuda duduk di sisi Leoni dengan wajah cerah. Aku baru ingat, dia adalah adik Angkasa, lelaki muda pemilik toko martabak di sebelah Lamalera. Lelaki yang sama yang memperhatikan Bintang tempo hari. Aku tahu nama Angkasa ketika lelaki itu mampir saat istirahat siang, mengantarkan martabak untuk Mbak Menik, pegawai administrasi di meja depan.
Sesekali aku pernah memperhatikan pria itu turun dari mobilnya menjelang pukul 10 pagi. Pria seusianya, barangkali di akhir 20-an, biasanya baru mulai menapaki karier dengan bekerja di kantor. Tetapi Angkasa memulai hidup dengan berdiri di atas kaki sendiri sambil membukakan jalan rezeki untuk orang lain, para pegawainya.
“Belum. Dia sedang kesal. Cowok yang dia sukai tidak membalas pesannya,” Leoni menyeringai pada Amanda sambil memasukkan telepon genggamnya ke saku jaket. Amanda terkekeh.
“Siapa cowok itu? Tapi siapapun dia, kakakku pasti lebih hebat,” Amanda ingin tahu. Rambutnya yang diikat tinggi ke belakang bergoyang setiap kali ia bicara. Senyumnya melebar, memperlihatkan deretan kawat gigi berkaret merah. Leoni balik terkekeh.
“Jelas! Aku tak tega mengatakan ini padanya. Menurutku pria yang disukai Bintang itu hanya memanfaatkannya untuk mengerjakan PR-PR yang enggan dia kerjakan,” ujar Leoni sambil melipat handuk kecil yang ia gunakan untuk menyeka keringat. Amanda terbelalak. “Iya, dia kapten tim basket di sekolah yang sering izin untuk ikut kejuaraan. Jadi nilai akademisnya di tepi jurang,” Leoni menambahkan.
Keduanya kemudian sama-sama berdiri bersiap meninggalkan ruangan saat seorang ibu menghamparkan matras yoga yang ujungnya tak sengaja menyentuh kaki Amanda. Pembicaraan mereka saat menuruni tangga kemudian tertelan suara musik yoga yang segera membuatku mengantuk.

***
Sabtu pagi yang tak biasa. Aku bangun saat sinar matahari sudah hampir mencapai dasar jendela. Biasanya aku sudah bangun saat matahari bahkan belum nampak. Tetapi sesiang itu aku masih merasa mengantuk dan lelah. Jarum penunjukku seperti terlalu berat untuk beranjak naik.
            Lantai bawah telah riuh dengan suara orang mengobrol, bunyi sepatu menapaki treadmill, serta dentang alat berat yang dinaik turunkan. Lima menit kemudian terdengar suara dua pasang langkah kaki menaiki tangga. Aku cemas, tak siap jika harus digunakan. Benar saja, dua gadis itu berjalan mendekat. Aku sudah khawatir mereka akan kecewa atau sedih. Tetapi ekspresi keduanya setelah bergantian menimbang sungguh membuat perasaanku bercabang.
            “Wah, aku turun dua kilo!” ujar gadis berhijab putih yang tersenyum lebar, memperlihatkan lesung pipinya. “Aku juga! Tiga kilo! Ternyata berhasil juga olahraga kita,” gadis berambut keriting di sisinya menimpali sambil melompat-lompat kecil. Bagaimana ini? Aku berteriak tanpa suara. Andai bisa, aku ingin memanggil mereka dan memberitahu berat badan mereka sesungguhnya. Aku tak tahu apa yang salah dalam tubuhku. Tetapi yang pasti jarum penunjukku menunjuk dua sampai tiga angka lebih rendah dari yang seharusnya.
            Bintang datang setelah tiga perempuan lain menimbang badan dan pergi dengan kebahagiaan semu yang sama. Seperti yang lain, matanya berbinar saat memandangi angka yang ditunjuk jarumku. Ia tertawa tanpa suara, kemudian dengan langkah kaki lebar berjalan mendekati gadis-gadis lain sambil melontarkan lelucon. Aku bersorak dalam hening. Bintang yang dulu telah kembali, semoga kali ini untuk seterusnya.
 “Hai!” sapaan Bintang yang lantang dan riang mengalahkan suara obrolan-obrolan kecil dalam ruangan itu saat ia melihat Leoni dan Amanda tiba. Aku merapalkan doa. Kuharap sebentar lagi salam Angkasa tak lagi terhambat mendarat pada Bintang dan membuatnya melupakan si kapten tim basket. Terlebih lagi, semoga ada banyak waktu sebelum akhirnya seseorang sadar bahwa aku sedang sakit.
Tadinya aku berharap punya suara untuk memberitahu semua orang untuk tidak mempercayaiku hari ini. Tetapi sedetik kemudian aku berpikir bahwa yang diperlukan Bintang dan para gadis itu sebenarnya hanyalah lebih banyak tertawa dan tersenyum, menanggalkan sebanyak mungkin kericuhan entah apa dari kepala mereka.

***
Pernah dimuat di GoGirl, 2017


Tetangga Seberang

Wanita yang dipanggil Bu Sasi itu membuat Raras tidak bisa tidak percaya Tuhan dan surga. Jika ia sendiri tak mampu membalas rangkaian kebaikan perempuan itu, maka harus ada Sesuatu yang agung di luar sana yang bisa.

Sepuluh tahun berlalu, dan jika kebaikan itu adalah utang, ia masih yakin tak sanggup mencicilnya seumur hidup. Satu dasawarsa hidup di benua lain, tapi rumah itu masih sama seperti yang ada dalam ingatan masa kecilnya. Lucu. Ketika kita menjalani hari-hari bising serba cepat yang memaksa orang bergegas mengubah banyak hal, ada dunia lain yang segala di dalamnya nyaris tak bergeser satu incipun.

Tirai di rumah itu adalah tirai yang sama yang disibakkan tangan kecil Raras setiap kali mendengar bunyi motor bapaknya di depan rumah. Kursi panjang di teras yang mirip kursi tunggu di dokter gigi itu juga masih sama. Kursi tempat ia dan Angga duduk mengayunkan kaki menunggu pedagang es krim lewat. Angga adalah tetangga depan rumah Raras sekaligus teman sepermainannya sejak mereka baru bisa merangkak.

Bu Sasi, ibu Angga, dan keluarganya adalah tetangga yang bagi Raras bahkan lebih dekat dari kerabat yang hanya dijumpainya setahun sekali pada lebaran keluarga. Wanita itu tergopoh-gopoh menghampiri ketika Raras terjatuh di depan pintu gerbang rumahnya, saat pertama kali belajar mengendarai sepeda. Ia memberi Raras kado ketika tahu gadis itu menang lomba membaca puisi, dan mengantarkan sekantong jambu saat Raras terkena demam berdarah. Tetangga itu tahu hampir setiap peristiwa dalam hidup Raras dan keluarganya.
Raras pun demikian. Setiap pagi, ia mendengar suara Bu Sasi menyanyikan lagu gereja sambil menyapu teras. Itu menjadi pertanda waktunya ia bangun. Setelah menyapu, ia akan duduk-duduk sebentar di kursi panjang. Kursi yang sedang diduduki Raras sekarang.  
Kursi itu berderit ketika Raras berdiri dari kursi itu perlahan dan masuk ke dalam. Kini ia tak perlu melompat karena kedua kakinya telah menjejak tanah. Raras merasa rumah itu lebih kecil dari yang ia ingat, atau barangkali hanya ia yang kini berpostur tinggi. Semua jajaran rak kayu penuh buku, lemari kaca dengan pajangan souvenir pernikahan, posisi TV, dan foto keluarga masih sama. Raras terpukau.

Kenangan itu menyergapnya. Ingatan di hari-hari saat Raras selalu pergi ke rumah itu tiap pulang sekolah. Ibunya dan ibu pemilik rumah itu yang bersepakat demikian. Ibu dan ayah Raras baru akan tiba di rumah paling cepat pukul enam sore. Pukul lima jika beruntung.
Tiap siang sepulang Raras dari sekolah, wanita berambut keriting itu meletakkan sepiring nasi hangat mengepul setelah ia berganti pakaian seragam. Lidah dan penciuman Raras merekam setiap masakan Bu Sasi. Sop sosis, tempe penyet, nasi goreng kambing.

Setelah dewasa, ia memasak makanan-makanan itu sendiri untuk menghangatkan hatinya yang dingin di tanah seberang. Lengkap dengan bumbu dan cara memasak gaya Bu Sasi. Lalu ia akan memakannya seorang diri dengan air mata mengalir. Perut yang kenyang dan kesedihan yang sudah terusir keluar kemudian membuatnya kembali hangat.  

Raras tercekat ketika aroma yang rindukan itu tiba-tiba merambati penciumannya. Bu Sasi keluar dari pintu dapur membawa sepanci sop sosis. Senyum Raras terkembang selebar Selat Sunda. Wanita itu mengenakan daster dengan jenis yang sama dengan yang sering dilihat Raras dulu. Daster itu juga masih menguarkan aroma masakan. Tercium saat wanita itu memberikan semangkuk sop ke tangannya. Raras menatap sup dan lalu wajah Bu Sasi dengan haru.

“Dimakan, Nak Raras,” wanita itu berujar. Senyumnya masih sama, lengkap dengan lesung pipit yang kini bersanding dengan guratan-guratan halus di wajahnya. Wanita itu kembali masuk ke dapur. Raras kembali menatap ke sekeliling, sambil merasakan kembali peristiwa demi peristiwa di dalam rumah itu.    

Sejenak tatapannya tiba pada meja bundar di hadapannya. Mendadak ia ingat akan sebuah kue mungil berhias di hari saat usia Raras genap tujuh. Ada namanya tertulis di atas kue dengan warna favoritnya, biru. Apakah itu bisa dimakan? Sebelum otaknya menemukan jawaban, mata Raras telah sibuk menelusuri replika bentuk wajahnya yang tersenyum lebar, lengkap dengan rambut dikuncir dua.

Raras tercengang girang sambil menatap punggung Bu Sasi yang berjalan kembali mendorong pintu dapur. Beberapa detik kemudian wanita itu kembali mendekati Raras sambil membawa sendok kecil melanin hijau, piring kecil, dan tumpukan tisu makan dalam sebuah kotak kayu.

“Selamat ulang tahun, Raras,” Bu Sasi berujar, tersenyum, sambil mengusap kepala Raras, seraya meletakkan perlengkapan itu di meja dan mengusap kepalanya. Aroma khas bumbu dapur menyeruak dari daster batik yang dikenakannya. Wanita itu berlalu tanpa menunggu respon Raras yang masih tercekat, antara senang dan tak percaya. Keesokan harinya, ia baru tahu bahwa kue yang sudah tandas ia makan itu bernama cupcake. Bu Sasi membuatnya khusus untuk Raras, mungkin di siang hari sebelum Raras datang, ketika ketujuh anaknya pergi sekolah dan putri bungsunya yang balita sedang tidur.

Ibu Raras tak pernah membuat kue semacam itu. Bekal Raras tiap hari adalah roti tawar berlapis mentega ditaburi gula pasir. Pagi di hari ulang tahunnya, ibu Raras bangun lebih pagi dan membuatkannya nasi goreng untuk bekal sekolah. Bersama ayahnya, mereka berdoa bersama setelah Raras meniup tujuh lilin kecil yang dinyalakan di atas piring bekas. Begitu saja, lalu seperti biasa, ketiganya berangkat dengan tergesa-gesa. Raras ke sekolah, ayah ibunya bekerja.  

Kadang Raras tak mengerti, mengapa orang yang bekerja sekeras orangtuanya masih selalu berkata tak ada uang setiap kali ia bertanya, mengapa tidak membeli mobil saja seperti Bu Sasi. Di sekolah, ia diberitahu bahwa mengendarai sepeda motor bertiga itu berbahaya. Ia juga tak suka karena badannya sudah terlampau besar untuk duduk berdesakan di antara ibu dan bapaknya.

Keinginannya untuk memiliki mobil semakin menjadi-jadi ketika suatu malam, Raras terbangun oleh suara pekikan ibunya yang sedetik kemudian sudah membuka pintu rumah, berlari ke rumah depan. Raras melompat dari tempat tidurnya dan mendapati ayahnya sedang tersengal-sengal sambil memegang dadanya. Ayahnya seperti tiba-tiba berada di ruang hampa udara. Raras menangis.

Damar, putra tertua Bu Sasi tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah Raras sambil mengulurkan tangannya. Ia dan ibu Raras memapah sang ayah ke mobil keluarga Bu Sasi. Damar memacu mobil sekencang mungkin. Raras menghabiskan sisa malam itu dengan tidur bersama Anggi, kakak terdekat Angga, di rumah Bu Sasi. Ayah Raras selamat dari serangan stroke pertamanya. Seumur hidup, Raras merasa berutang budi pada Bu Sasi dan keluarganya.

Raras tiba pada suapan sop sosis yang terakhir ketika matanya tertuju pada foto suami Ibu Sasi, ayah Angga. Ingatannya mendadak hinggap pada suatu siang yang terik di bulan Desember. Kecuali Bulan, anak balita yang sedang tidur, semua anak Bu Sasi sedang tak ada di rumah. Tapi ayah Angga, tak biasanya juga sedang di rumah. Di hari kerja, pria itu biasa berangkat pukul tujuh pagi dan pulang pukul lima, dengan mobil berplat merah.

Raras sedang mengagumi pohon Natal yang baru saja dipasang sehari sebelumnya, ketika terdengar bunyi ketukan kencang di pintu depan. Raras tersentak. Bu Sasi setengah berlari menuju pintu depan, disusul suaminya. Di depan pintu yang setengah terbuka, tampak dua pria dengan seragam yang tampak tak asing. “Polisi...” Raras berbisik pada dirinya sendiri, ketakutan. Ia tidak memahami pembicaraan Bu Sasi, suaminya, dan kedua polisi itu. Bukan siatuasi yang baik.

Ayah Angga diminta ikut bersama polisi-polisi itu. Bu Sasi menolak. Raras ingat suami Bu Sasi berulang kali berkata, “Semua akan baik-baik saja” sebelum pergi. Raras bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri. Bu Sasi berdiri lama di tepi jalan. Matanya mengekor mobil itu hingga ke kelokan. Raras menunggu. Mata wanita itu berkaca-kaca saat menutup pintu. Ia menatap Raras tapi tidak berkata apa-apa. Raras pun tak tahu harus berujar apa. Selamanya wajah pucat itu akan selalu tersimpan dalam ingatan Raras. Bu Sasi masuk ke kamarnya dan baru keluar saat bapak dan ibu Raras datang menjemput. Matanya sembab.

Sejak itu, ayah Angga tidak terlihat lagi. “Ayah kapan pulang?” Raras mendengar Angga bertanya pada ibunya di dapur, keesokan harinya. Beberapa detik tak terdengar jawaban. Raras hanya mendengar Bu Sasi sedang membuka oven. “Ayahmu keluar kota. Kira-kira tiga bulan lagi pulang,” akhirnya Raras mendengar jawaban. “Kok ayah nggak pamit Angga? Nanti malam kita telepon ya,” Angga mengejar. Lama tak terdengar jawaban lagi. “Kita coba ya…” kalimat itu terdengar seperti antara harapan dan penghindaran. 

Di usia 9 tahun, Raras nyaris seorang diri menyimpan rahasia besar tentang tetangga depan rumahnya. Tak ada yang tahu ke mana ayah Angga sebenarnya. Ibu Raras pun mendapat versi cerita yang sama dengan yang dikisahkan Bu Sasi pada anaknya. Raras bahkan tahu mengapa pria itu dijemput paksa. Pria botak itu harus bertanggung jawab atas penggelapan uang yang dilakukan bawahannya.

Dua hari sekali Raras menduga Bu Sasi pergi menengok suaminya ke penjara, membawa rantang berisi nasi, sayur, dan lauk. Raras pernah duduk menunggu di depan rumah ketika wanita itu datang menenteng plastik transparan berisi rantang biru tua susun tiga. Raras tidak bertanya, hanya menduga. Peristiwa itu terus berulang. Terkadang ia membawakan dan membawa pulang pakaian suaminya, lalu mencuci dan menjemurnya di dekat gudang. Bu Sasi tahu bahwa Raras tahu. Namun ia tidak pernah berucap apapun. Raras juga tak pernah mengutarakan apapun pada ibunya, apalagi kepada Angga.

Sepuluh tahun telah setelah masa itu, Raras  kembali duduk di teras rumah itu. Ayah Raras meninggal dunia setelah gagal melalui serangan stroke ketiga, setahun lalu. Sejak itu Raras berpikir untuk pulang, menemani ibunya yang kini tinggal sendiri. Selama dua dekade ia hanya pulang dua tahun sekali di masa lebaran, saat keluarga Bu Sasi pulang ke Sragen.

Bu Sasi kini juga tinggal sendiri. Empat anaknya tinggal di Jakarta termasuk Angga. Dua anak masing-masing di Batam dan Bali. Hanya Bulan, anaknya yang paling kecil, tinggal tak jauh dari rumah Bu Sasi. Sementara suami Bu Sasi, orang yang ia jaga sepenuh hati, juga telah meninggal, setahun setelah keluar dari penjara. Kesedihan memangsa semangatnya setelah Dion, anak mereka yang kedua dipenjara 10 tahun karena obat-obatan terlarang. 

Raras tak ada saat peristiwa itu terjadi. Namun ia selalu membisikkan doa setiap kali ibunya bercerita tentang keluarga Bu Sasi, berharap wanita itu dapat menanggung semuanya.    
Raras kembali duduk di teras, mengusap tempat Angga biasa duduk di sisinya. Angin sore yang membawa rintik hujan berembus seperti menampar pipinya. Ia tak akan lagi dapat duduk bersama Angga. Hanya foto Angga yang ada di dalam rumah, diapit dua lilin dan salib di belakangnya. Raras pulang tepat sehari setelah Angga meninggal karena kecelakaan. Sepuluh tahun mereka tak bertemu, tapi Raras merasa seperti kehilangan kerabat. Angga ada dalam begitu banyak foto masa kecil Raras.

Raras tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Bu Sasi yang telah melalui semua peristiwa itu. Ia sedikit lega karena kini mereka kembali bertetangga.

Keesokan paginya, ia terbangun tepat saat Bu Sasi melakukan aktivitas yang ternyata masih dijalaninya: menyapu lantai teras di menit yang sama. Sayup-sayup nyanyian Bu Sasi terdengar di telinga Raras, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, tak akan gentar kumelangkah, sebab Engkau besertaku…”


Raras tersenyum. Setelah mandi ia perlu memanasi mobilnya. Ia sudah siap jika ibunya atau Bu Sasi sewaktu-waktu perlu bantuannya, di tengah malam sekalipun. 


***
Dimuat di Majalah Good Housekeeping, 2014


Via Dolorosa


Papan itu seperti memberitahu Grace untuk berhenti dan menepi. Di atasnya, tertulis sebuah nama jalan. Via Dolorosa. Jalan kesengsaraan. Tak banyak orang tua yang menggunakan nama itu sebagai nama yang mereka berikan untuk anak mereka.
Grace hanya kenal satu orang yang menyandangnya. Nama itu pertama kali ia baca pada suatu sore di sebuah papan di belakang gereja. Tertulis di antara belasan nama lain, anggota paduan suara di gerejanya yang terpilih mengikuti lomba.
“Oh kamu yang namanya Amazing Grace. Kukira hanya namaku yang serupa judul lagu,” ujar si pemilik nama yang ternyata seorang pria. Grace tersipu sambil menyambut jabatan tangannya.
“Osa,” laki-laki itu menyebut nama panggilannya.
Saat itu mereka baru lulus sekolah menengah atas.
Kini nama itu terpampang pada sebuah papan nama kecil yang tergantung di sebuah tempat tidur pasien. Baru saja dipan itu didorong melintas di depannya. Saking terkejutnya, Grace tak sempat melongok wajah si pasien yang berbaring di atasnya. Ia berdiri tertegun di persimpangan lorong rumah sakit.
Baru beberapa menit lalu ia berjalan keluar dari paviliun seberang, menengok sahabatnya, Sarah, yang sedang dirawat. “Enggak! Aku nggak sakit kok!” sergah Sarah, menggulung lengan bajunya. Di mata Grace, gadis itu memang tak pernah tampak sakit. Jiwanya sekokoh gugusan gunung yang sering ia tanjak.
“Iya, kamu nggak sakit. Cuma hilang di gunung. Kalau nggak cepat ditemukan, bisa pingsan kelelahan, jatuh ke jurang, atau dipatuk ular,” Tante Nat, mama Sarah, menyahut, gusar. Sarah menyeringai lebar pada Grace, yang dibalas kerlingan mata. Grace tahu, meski nyawanya seinchi menuju maut, ini tidak akan jadi kali terakhir sahabatnya itu memanggul ranselnya dan menapakkan kaki menaiki gunung.
“Itulah harga yang harus kamu bayar untuk kesenangan semu. Kau contohlah Grace. Sekarang sudah jadi pembawa berita terkenal. Kamu naik gunung terus, mau jadi apa?” Tante Nat terus berseloroh sambil melipat ulang pakaian putrinya, dan memasukkannya ke dalam lemari.
Sarah memutar bola matanya. Grace hanya tersenyum. Tante Nat tak tahu hasrat itu. Letupan serupa kembang api yang terus datang tiap malam, mengajak untuk mengejar mimpi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapainya.

Grace masih berdiri terpekur di koridor, mengingat ucapan Tante Nat. Kini, seakan semesta bahu membahu menghamparkannya pada ingatan akan harga yang ia bayar untuk mimpinya sendiri. Ragu-ragu, Grace melangkah perlahan menuju ruangan tempat dipan berpapan nama Via Dolorosa didorong. Langkahnya seketika terhenti saat seorang wanita berambut sebahu bergegas memasuki ruangan itu.
Grace bimbang. Cepat-cepat, ia berjalan melintas tanpa menengok ke dalam ruangan itu. Tapi langkahnya kembali terhenti di ambang gerbang pintu rumah sakit. Lalu kaki itu berjalan kembali ke arah semula.
Ia mengokohkan pijakan kakinya, berdiri di depan pintu ruangan yang terbuka. Dua perawat sedang memasang selang infus dan mengatur posisi dipan. Wanita berambut sebahu itu duduk di ujung tempat tidur. Ia menengok ke pintu dan tersentak melihat kehadiran Grace.
“Ya?” tanyanya sambil berdiri.
Grace menatap wanita itu, berusaha agar tak tampak sedang berpikir.
“Saya…Amazing Grace,” ujarnya kikuk.
Wanita itu mengangguk. “Saya tahu.”
 “Marta,” wanita itu menjabat tangannya.
Grace baru sadar tangannya sudah terulur lebih dulu.
“Saya menonton siaran berita Anda setiap hari,” wanita itu buru-buru menambahkan.
“Terima kasih,” Grace tersenyum.
Matanya sekilas melihat papan nama yang tergantung di tempat tidur. Kemudian dengan cepat beralih ke wajah si pasien yang berbaring di atas dipan. Napasnya sesak.
“Dia…Osa ya?” Grace bertanya, setengah berbisik.
“Iya. Anda kenal?”  wanita bernama Marta itu mengangguk kencang dengan tatapan mata takjub.
Grace mengangguk, lalu diam. Marta menatapnya, menuntut penjelasan.
“Teman di paduan suara gereja dulu…,” ucap Grace.
Ia mendengar suaranya sendiri yang menggantung, seperti kalimat pembuka dari sebuah dongeng panjang yang mendadak terhenti. 
“Oh… Kok dia nggak pernah cerita punya teman hebat,” tukas Marta.
Grace tidak terlalu mendengarkan.
Ia menatap wajah laki-laki itu lekat-lekat. Mata pria itu masih tertutup. Ada selang di hidungnya, dan balutan di sekeliling kepalanya. Juga pada pundak, dada kiri, hingga ke tangannya. Grace merasa jantungnya seperti terhempas.
“Kenapa dia?” ia bertanya pada Marta, tanpa memandang wanita itu.
“Kecelakaan. Motornya menabrak mobil.”
“Oh…” bibir Grace tak mampu mengurai yang terasa di hatinya.
Marta menyorongkan sebuah kursi ke sisi Grace. Gadis itu menolak dan mempersilakan Marta untuk duduk. Tak ada kursi lagi di ruangan itu selain sofabed panjang di sudut ruangan.
“Saya kira dia masih di Australia…” ucap Grace, setengah bertanya, mencari tahu.
Marta menggeleng.
“Ibunya meninggal, pekan lalu. Jadi dia kembali.”
Grace tersentak.
Ia kecewa pria itu tak memberitahunya. Teganya tak ada seorangpun yang memberitahukan kabar itu padanya. Atau barangkali kini sudah tak ada yang tahu nomor kontak pribadinya selain Osa.  Pada satu masa, Ibu Osa sudah seperti ibunya sendiri. Kini ia yang merasa lebih butuh tempat duduk.
Pengikut akun twitternya genap 40.000 pagi ini. Mereka rajin mengomentari, menyemangati, juga kadang mencaci kicauannya. Padahal yang dibutuhkan Grace dalam hidupnya hanya beberapa orang yang sangat mengenal dan dikenalnya.

***

Laki-laki itu seharusnya bangun dua jam setelah Grace meninggalkan ruangan itu. Harusnya begitu. Tapi hingga keesokan harinya, mata itu masih juga tertutup. Jantung Grace berdebar kencang ketika mendengar penjelasan Marta siang itu, saat ia kembali melangkahkan kaki ke sana. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Marta.
Grace menghela napas agar tak memperlihatkan penampakan serupa. Dengan hati-hati, di atas meja di sisi tempat tidur Osa, ia meletakkan tempat makan berisi bubur ayam yang sengaja ia buat sendiri untuk lelaki itu. Tanpa bawang goreng. Grace masih ingat pria itu tak suka apa saja.
Ia menatap wajah Osa. Alis tebalnya masih sama. Rambutnya kini plontos. Kulitnya lebih gelap. Tubuhnya masih tampak tegap dan sedikit lebih gemuk. Grace ingin membisikkan sesuatu ke telinga Osa, dan berharap akhirnya laki-laki itu membuka mata. Ia rindu melihat mata teduh itu menatap dirinya. Tapi Grace menahan diri.
“Keluarga Osa di mana? Mereka sudah tahu?” ujarnya mengalihkan perhatiannya sendiri dari wajah Osa. Grace tahu persis siapa saja anggota keluarga Osa, sampai ke sepupu-sepupunya. Ia merayakan empat Natal bersama mereka. Tanpa bertanya, Grace tahu, Marta jelas bukan bagian keluarga Osa. Mungkin belum jika keduanya adalah kekasih. Grace memilih tidak memikirkan kemungkinan itu.
“Kak Maria sedang menuju kemari,” ujar Marta.
Wanita itu sepertinya semalaman tak tidur.
Rambut tebalnya dibiarkan tergerai tak karuan.
Grace jadi semakin gelisah. Ia ingin menunggu hingga mata Osa terbuka, tapi dirinya tak ingin bertemu Kak Maria. Wanita itu menangis saat tahu dirinya dan Osa berpisah. Osa menahan diri berbulan-bulan agar tak memberitahunya. Entah sudah berapa kali Kak Maria memperkenalkan dirinya sebagai adik iparnya.
“Ini adikku, calonnya Osa. Cantik ya.” Grace masih mengingat suara itu. Hingga satu dua tahun setelah mereka berpisah, Kak Maria masih saja mengiriminya cupcake buatannya setiap kali Grace berulang tahun, dan di hari Natal.
Cupcake terakhirnya adalah tiga jajar cupcake dihias icing berbentuk sosok wanita mirip dirinya dalam sebuah kotak TV. Cupcake itu tiba di meja Grace, sehari setelah wajahnya pertama kali muncul dalam berita prime time.
Grace anak tunggal. Mimpinya memiliki kakak wanita yang penyayang sudah menjadi nyata. Namun kemudian mimpinya yang lain memaksanya untuk menukar mimpi itu. Grace berusaha menghalau rasa sedih dan tak berdaya saat ia melangkahkan kaki keluar gerbang rumah sakit.

***

Laki-laki itu koma. Ia tidur dalam jeda di antara dua kehidupan. Di sini tapi tak ada. Akan ke sana tapi belum tiba. Grace merasa hatinya terbelah. Satu tiupan saja dan kekuatan yang tersisa dalam dirinya akan remuk jadi serpihan.
Sarah sudah diperbolehkan pulang kemarin. Tapi Grace kembali melangkahkan kaki ke rumah sakit itu. Sekuat tenaga, ia menguatkan langkah kakinya menuju ruangan tempat Osa berbaring.
Grace selalu datang saat hari belum siang. Ia menghindari pertemuan dengan Kak Maria yang baru akan datang setelah jam pulang kantor. Lagipula, petang hari adalah saat ia sendiri sedang bertugas. Sementara gadis itu selalu di sana setiap pagi. Marta.
                “Ia hanya punya Kak Maria… Dan aku…” katanya tiba-tiba pagi itu.
Itu dia. Ucapan gadis itu tiba-tiba seperti embusan ringan yang meruntuhkan hati Grace menjadi kepingan. Marta duduk di sebuah kursi di sisi kanan, dan Grace duduk di kiri tempat tidur Osa. Sedetik, Grace ingin bangkit dari kursinya dan mengguncang-guncang pundak Osa. Meneriakinya, kalau perlu, untuk membuatnya membuka mata. Sementara di saat yang sama, ia ingin lari kencang. Merasa tak berhak lagi ada dalam ruangan itu.
                Namun ia ingin mendengar Osa bicara padanya, sekali saja. Apapun. Tentang bisnis mainan yang ia rencanakan. Tentang masa kecilnya di boncengan kakaknya, menjajakan kue buatan ibunya. Tentang nama-nama anjing yang sempat ingin mereka miliki. Tentang rumah dengan pekarangan luas yang ingin mereka tanami banyak cabai.
                “Maaf, kemarin bubur ayammu kuberikan pada pasien sebelah. Kasihan tidak ada yang menunggui,” ujar Marta sambil berjalan menuju dispenser, menuangkan minuman. Grace hanya mengangguk. Tak sadar Marta sedang membelakanginya, tak melihat anggukan itu.
                Ia memberikan segelas air putih, yang disambut Grace dengan canggung. Hanya ia minum seteguk. Aroma obat-obatan dan cairan antiseptik khas rumah sakit membuat Grace mendadak pening. Ia tak pernah suka berlama-lama berada di sana. 
                “Kamu pernah membaca blog Osa?”
                Grace terkejut, tapi hanya menggeleng perlahan. Matanya mengikuti barisan semut yang menggotong remah roti menuju pintu. Tidak. Ia tidak pernah berani mencari tahu hanya untuk semakin tahu apa yang sudah ia lewatkan.
“Di situ ia seperti menceritakan kesehariannya pada seseorang. Gadis itu ia sebut Schatzi.” Jantung Grace seperti melesat ke udara.
Semua terjadi seperti skenario yang tinggal dilakonkan. Osa pertama kali menyebutnya dengan panggilan itu saat mereka berdua baru sepekan tiba di Jerman. Berapa persen kemungkinan teman satu paduan suara, mendapat beasiswa yang sama, ke kota dan negara yang sama? Nyaris nol. Tapi terjadi.
                Semua menjadi lebih ringan karena mereka bersama. Orangtua mereka senang karena keduanya saling menjaga di negeri antah berantah tanpa keluarga. Osa dan Grace adalah keluarga bagi satu sama lain.
                Setelah lulus dan pulang ke Jakarta, Osa mendapat pekerjaan idamannya di Australia. Sesuai rencana, Osa melamar Grace. Rencananya, setelah menikah, mereka berdua akan tinggal bersama di Melbourne. Tadinya begitu. Hingga mimpi Grace yang lain menjadi nyata. Mimpi yang tak sejalan dengan mimpi Osa dan impian masa kuliah mereka.
                Dalam sebuah audisi, Grace dengan cepat diminta menjadi pembaca berita tetap di stasiun televisi impiannya di Jakarta. Gadis itu harus memilih. Osa memintanya memilih. Dan ia memilih.

Kini, sepuluh tahun berlalu, apa yang ia ceritakan pada dirinya di blog yang disebut Marta? Apa alamat blog itu?
Grace setengah mati berusaha bersikap tak ingin tahu, padahal gemuruh dalam hatinya mengharap sebaliknya. Namun setidaknya kini ia tahu, Osa tak pernah benar-benar membiarkannya pergi. Kenyataan yang membahagiakan, sekaligus menyiksanya.


***

Hari ini ulang tahun Osa. Hari kedelapan ia koma. Grace tak pernah perlu mencatatnya pada agenda ataupun alarm pengingat dalam telepon genggam. Sembilan April adalah tanggal yang ia ingat seperti ia mengingat hari lahir ibu dan ayahnya. Seumur hidup, sudah lebih dari sepuluh kali mereka saling mengucapkan selamat ulang tahun satu sama lain meski tak pernah bertemu. Lebih dari sepuluh kali juga, Osa selalu menutup ucapannya dengan kalimat yang sama : Life is short. Make it fabulous.  
Osa tak pernah tahu betapa berartinya kalimat itu untuk Grace. Kata-kata yang menggerakkan langkah Grace setiap hari. Membuatnya bersemangat setiap kali membuka mata di pagi hari. Satu dari sekian banyak hal yang membuatnya selalu menantikan 9 April. Saat ia mengisi ulang energinya untuk setahun ke depan. Saat ia punya alasan untuk menghubungi Osa selain Hari Natal dan Paskah. Di 362 hari lain, ia menahan diri.
                Marta belum ada saat Grace memasuki ruangan hari itu. Ia berjingkat mendekati tempat tidur Osa, seakan ia bisa membangunkan laki-laki itu. Rasa haru, sedih, sekaligus bahagia menyergapnya. Ia bahagia bisa berada sedekat itu dengan Osa. Perlahan, Grace memegang tangan Osa. Hangat.
“Selamat ulang tahun, Osa. Hidup ini singkat. Jadikan hidupmu luar biasa,” Grace berbisik. Lidahnya tercekat saat ia mengucap ‘hidup ini singkat.’ Tentu tak sesingkat ini kan? Tak bisakah ia bangun? Terlalu banyak hal yang ingin ia ungkap. Grace memohon, entah pada siapa.
                Genggaman tangan itu seketika ia lepas ketika Marta memasuki ruangan, mengucap selamat pagi. Grace buru-buru menyeka air matanya. Marta mendekati Osa dan melakukan persis seperti yang sebelumnya dilakukan Grace. Membisikkan selamat ulang tahun.  Minus mantra penutup yang diucapkan Grace. Lalu hening menyergap keduanya. Mereka kembali duduk di kursi yang sama. Di sisi kanan dan kiri tempat tidur Osa.
Terdengar keributan di ruangan sebelah. Dua perawat pria datang setengah berlari mendorong tabung gas raksasa. Untuk kesekian kalinya, napas pasien sebelah itu hampir terhenti selamanya. Grace mengira-ngira bagaimana ia sendiri akan mati. Dan siapa yang akan ada di sisinya di saat terakhir itu.
 “Jadi kamu wanita yang Osa sebut Schatzi…”
Kalimat Marta melesat seperti anak-anak panah yang menancap di sekeliling Grace.
Membuatnya tak dapat lari sembunyi. 
Seketika degup jantungnya sendiri sudah terdengar terlalu riuh untuk diredakan.
“Kak Maria tak sengaja mengucapkannya semalam.”
Ada hening yang dipaksakan tetap ada.
“Itu…sudah lama berlalu,” ucap Grace akhirnya, menatap ubin di bawahnya.
“Lama dan baru itu tidak pernah soal waktu,” tukas Marta. “Seperti juga jarak. Osa tak pergi, tapi juga tak di sini,” katanya lagi. 

“Kamu lebih memilih mimpimu daripada aku?” Grace masih bisa mendengar suara Osa. Juga setiap detik dan detail kata yang mereka berdua ucapkan kala itu. 
Aku ingin keduanya. Itu terlalu egois ya? Bisik Grace dalam hatinya.
“Ujian cinta adalah pengorbanan, dan ukuran cinta adalah tidak mementingkan diri sendiri.” Sepuluh tahun dan Grace masih tak bisa memahami kalimat itu dengan genap.
“Kamu ingin aku mencintaimu dengan mengorbankan mimpiku?” ia ingat, pertanyaannya itu membuat cahaya di mata Osa seketika meredup.
“Kenapa bukan kamu saja yang mengorbankan mimpimu demi aku?”
Osa terdiam.
“Aku akan mencintaimu dengan mengorbankan mimpiku dan kamu akan mencintaiku dengan mengorbankan mimpimu. Dengan begitu akan ada dua orang yang saling mencintai tapi tidak pernah mengejar mimpi mereka.[1]
Seumur hidup, Grace tidak menyesal mengucapkan hal rasional yang ia anggap kebenaran itu. Kebenaran yang menikam keduanya. Tapi ia menyesal kata-kata itu menyapu sinar di mata Osa.
“Amazing Grace, jangan lepaskan anugerahmu. Aku juga akan menyandang nama dan menempuh jalanku.” Sinar di mata Via Dolorosa padam dan tak pernah terbit lagi seiring ia melepaskan tangan Grace dari genggamannya.

Grace lekas mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya ketika air mata itu siap mengembang lagi. Perlahan ia menaiki mobil dan menutup pintu.
“Ibu sudah selesai kemoterapi?” Pak Yahya, sopir pribadi Grace menatap dirinya dari kaca di atas kemudi.
Grace menggeleng. “Besok saja, Pak,” suaranya serak.
Kanker darah. Sekuat tenaga ia menyembunyikan dua kata itu dari Osa. Dari siapapun selain keluarga dan orang di rumahnya. Sepuluh tahun ia menjalani pengobatan yang tak pernah menjanjikan kesembuhan. Kadang ia berpikir kematian terdengar lebih indah daripada penantian akan kematian itu sendiri. Setiap pagi, Grace bersyukur masih bisa membuka mata, sekaligus juga selalu sadar bahwa hidupnya memang benar-benar singkat.
                Separuh hatinya hancur, sementara separuh yang lain lega saat Osa melepaskan tangannya. Saat itu usianya diperkirakan tinggal dua tahun. Ia telah dan selalu memilih Osa dengan mengorbankan mimpinya yang paling berharga. Mimpi mereka berdua. Ia hanya ingin Osa bahagia, tanpa membuatnya bersedih kehilangan dirinya. 
“Via Dolorosa, jalan kita sebenarnya sama,” bisik Grace saat mobilnya bergerak meninggalkan pelataran rumah sakit.  

***





[1] Dari Anthony de Mello, S.J., Awareness

Dimuat di Majalah Femina, 13 Desember 2014

Rumah Terakhir

Pada Desember, tujuh tahun silam, Pakdhe Yok, kakak laki-laki tertua Ibu, datang ke rumah dengan menyandang tas kanvas di punggung, dan harapan yang hampir pudar di hatinya. Rambutnya yang sudah memutih dibiarkan gondrong, diikat ke belakang. Kumisnya tampak sudah beberapa waktu tak dicukur.  Setidaknya tiga bulan sekali, ia datang bermalam tiga empat hari di rumahku. Namun mulai malam itu, kata Ibu, ia akan tinggal seterusnya.    
            Sejak kecil, aku selalu melonjak gembira setiap melihat sepasang sepatu keds putih bertengger di rak sepatu di halaman rumah. Pertanda Pakdhe Yok sedang berkunjung. Kadang ia datang bersama istrinya, tapi lebih sering bertandang seorang diri. Setiap kali berkunjung, ia selalu membawakanku banyak hadiah, betapapun Ibuku selalu mengingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Sekotak donat, boneka yang bisa bicara, sepasang sepatu dengan lampu di tumitnya.  Aku selalu berdebar-debar saat ia memanggil namaku, lalu memasukkan tangannya ke dalam tas. Menebak-nebak apa yang akan dikeluarkannya kali ini, seperti seorang anak yang untuk pertama kalinya menonton pertunjukan sulap.  
Sejak  aku berseragam putih kelabu, ia mengaku mulai kebingungan membawakanku apa. Kubilang tak perlu. Tapi ketika berkunjung kembali pada hari raya Lebaran, ia tetap membawakanku sesuatu. Sebuah tiket konser grup musik favoritku yang akhirnya, dia tak tahu, tak jadi kugunakan karena Ibu tak mengizinkanku pergi.
Sikapnya selalu hangat, meski aku tidak selalu betah berlama-lama menanggapi obrolannya. Kata Ibu, baginya, aku seperti anak kandung yang tidak pernah dimilikinya. Istrinya, Budheku, mengidap kanker rahim. Pasangan suami istri itu tinggal berdua di sebuah rumah berhalaman luas. Bertiga jika ditambah Ponpon, anjing berbulu lebat yang gemar mengibaskan ekornya sambil menyalak, menyapa siapapun.
Di tengah halaman, ada pohon jambu yang saat kecil sering kupanjat. Ketakutan selalu berhasil mengalahkan keinginanku untuk sampai ke puncaknya. Di bawah pohon itu, ada sebuah bangku bambu panjang tempat aku dan sepupu-sepupu dari saudara Ibu yang lain biasa duduk memandangi kembang api yang kami nyalakan sendiri menjelang malam tahun baru.
Garasi luas di rumah itu tak pernah menjadi tempat parkir mobil. Kendaraan yang mereka miliki hanya sebuah sepeda kumbang dan sebuah vespa biru tua usang yang sudah sering mogok. Sebagai gantinya, ada jajaran bangku dan sebuah meja di bagian dalam garasi. Sebuah salib polos tergantung di dindingnya. Setiap Minggu  pagi, sekitar tiga puluh keluarga jemaat beribadah di sana. Pakdhe Yok, pendetanya, yang memimpin ibadat.
Pakdheku hidup dari aktivitasnya menjadi kontributor tetap di beberapa media rohani dan umum. Budheku adalah seorang guru sekolah dasar. Keduanya adalah vegetarian yang mencukupi kebutuhan hariannya dari hasil pekarangan rumah yang mereka tanami sendiri. Sesekali, ada jemaat datang membawakan setandan pisang hasil kebun mereka, atau beberapa liter beras saat mereka sedang merayakan sesuatu.
Sore itu, Pakdhe Yok datang sesaat setelah Ibu membentangkan sprei baru di kamar tamu.  Ia masih saja memanggil namaku dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Usiaku saat itu 18, menjelang masuk kuliah. Ia memberikan sebuah handuk persegi yang label harganya lupa dicopot. Benda itu dibeli di minimarket, sekitar lima kilometer sebelum  mencapai rumahku.  Senyum lebar terukir di wajahnya saat memberikan handuk itu. Aku menerimanya sambil balas tersenyum. Namun senyumku segera sirna saat kutatap matanya yang tak sehidup dulu.

***
Pakdhe Yok adalah orang terakhir yang bertahan di kampungnya. Saat itu budheku telah genap dua tahun meninggal. Pakdhe mengemasi barang-barangnya, setelah untuk kesekian, dan barangkali terakhir kalinya,  tim evakuasi mendesak, bahkan memohonnya untuk pergi. Desa tempatnya tinggal, Siring, Sidoarjo, telah dikepung lumpur. Genangan itu mengandung gas beracun yang membahayakan nyawa.
Tak banyak barang yang ia bawa dalam tasnya. Hanya beberapa pasang pakaian yang bahkan sudah kukenali sejak bertahun-tahun lalu, album foto, dan buku-buku agama. Aku memperhatikannya menata satu demi satu barangnya di dalam kamar, di rumah kami. Pigura kecil terakhir yang ditempatkannya di meja adalah foto Ponpon. Anjing itu sudah dua pekan tak ditemukan di mana pun, bagaimanapun Pakdheku mencarinya untuk keluar bersama dari kampung yang akan tenggelam itu.  
Di sisi foto Ponpon, ada foto Pakdhe Yok dan Budhe, tertawa bahagia, saling menggenggam tangan, dengan latar belakang Candi Borobudur. Di tengah, ada foto mereka berdua, masih bergandengan, berdiri tersenyum di antara jemaat gerejanya, di halaman rumah,  di bawah pohon jambu. Kini semua orang dalam foto itu sudah berpencar tinggal di tempat-tempat yang berbeda.
Aku menatap wajah mereka satu persatu, sambil membayangkan bagaimana mereka melanjutkan hidup sambil membawa duka setelah kehilangan rumah, sekolah, tempat bekerja, tempat beribadah, kebun, barangkali juga ternak dan piaraan. Selama bermenit-menit, kami memandangi jajaran foto itu dalam diam. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memahami dimensi lain yang lebih dalam dari kesepian.
Sejak malam itu, kursi di meja makan kami bertambah. Obrolan antara Ayah dan Pakdhe di meja makan biasanya kemudian akan berlanjut ke depan televisi. Namun obrolan itu akan mereda setiap kali berita tiba pada segmen berita dari luar Jakarta. Pakdheku, jelas, selalu menanti berita seputar Sidoarjo dan lumpur yang melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan warganya.  
Kadang berita yang dinanti tak ada, dan aku bisa bernapas lega. Namun tiap kali berita itu muncul, Ayahku akan dengan sigap mengencangkan volume suara TV. Suasana akan berubah hening, cenderung mencekam, seperti menonton film horor. Tapi kali ini, film di hadapan kami itu nyata.  
Semburan lumpur menenggelamkan 16 desa. Tiga belas orang meninggal, dan 50.000
jiwa mengungsi. Tigabelas ribu keluarga kehilangan tempat tinggal. Ribuan hektar
tanah pertanian, pabrik, sekolah, dan kantor pemerintahan tenggelam. Bencana ini
diduga bermula dari kesalahan prognosis pengeboran...
Selama beberapa saat setelah berita itu berlalu, rumah akan senyap. Jeda komersial baru membuat kami menghembuskan napas setelah menahannya sekian lama. Seakan satu hembusan saja bisa makin mengacaukan segalanya.
Hatiku serasa ikut tertelan hingga melesak ke dasar setiap kali melihat pemandangan peta genangan lumpur itu di televisi. Menyadari bahwa salah satu atap di antara ribuan rumah yang siap tenggelam sepenuhnya itu adalah atap rumah Pakdhe. Tak jauh dari jajaran rumah itu, ada pemakaman umum tempat jasad Budhe beristirahat selamanya. Selama dua tahun, setiap sore, Pakdhe bersepeda mengunjungi makam itu. Ia tetap mengayuh sepedanya bahkan saat hari hujan. Hingga tiba hari saat makam itu sedikit demi sedikit tenggelam.
***
Sehari setelah Hari Raya Natal, aku membawa sepucuk kartu ucapan Selamat Natal ke kamar Pakdhe Yok. Kartu kesebelas yang ia terima di Natal yang sama sejak kepindahannya ke rumah kami. Kali ini, amplop yang diterimanya agak besar. Di antara kartu ucapan itu, terselip sebuah kertas dengan gambar yang dibuat dari goresan krayon. Ia memperlihatkan kertas itu padaku.
“Gambar seorang murid  sekolah minggu di gereja Pakdhe dulu,” katanya datar. Tapi sorot matanya meredup. Aku tak mengenal si pengirim kartu. Namun gambar itu menyayat hati. Anak itu menggambar sebuah gereja yang miring dan setengah tenggelam. Di sekelilingnya, ada genangan berwarna kelabu yang arsiran warnanya sengaja dibuat tak rapi. Atau barangkali digambar dengan kemarahan. Di sisi kanannya, bocah itu menggambar dirinya sendiri dengan air mata di pipinya. Pakdhe menempel gambar itu pada kalender di sisi mejanya.

Di hari tertentu, Pakdheku bangun pagi-pagi benar. Naik kendaraan umum ke pasar, lalu pulang dan memasak untuk kami sekeluarga. Masakan Jawa. Tanpa daging. Namun entah bagaimana, sama enaknya. Kebiasaannya memasak justru semakin rutin saat bulan puasa tiba. Ia yang memasakkan menu sahur dan buka kami sekeluarga.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, dengan cekatan, ia membantu mencetak adonan kue kering yang sudah dipipihkan menjadi aneka bentuk. Aku, Ibu, dan Pakdhe mengerjakan semuanya sambil menonton TV di ruang tengah. Berita petang terdengar saat kami tinggal menghias kue dengan cokelat.
Pakdhe Yok bersiap membuat selengkung senyum di atas kue ketiga yang sedang dihiasnya dengan spuit berisi cokelat, saat berita itu terdengar. Lumpur Sidoarjo. Sudah berbulan-bulan kami tak mengikuti perkembangannya. Kian hari, peristiwa itu makin jarang diberitakan. Tergeser berita yang lebih baru.
Aku serta merta menggapai remote dan mengencangkan suara TV.
Penelitian terbaru dari University of Bonn, Jerman, mengungkap bahwa semburan
lumpur disebabkan oleh gempa jarak jauh 6,3 Skala Richter, dua hari sebelumnya di
Jogja. Bukan dari penggalian. Sehingga peristiwa ini tepat dikategorikan sebagai
bencana alam…

Spuit berisi cokelat cair yang sedang dipegang Pakdhe Yok jatuh ke lantai, menciptakan genangan yang segera melebar ke segala arah.
“Maaf! Maaf!” ucapnya, setengah berlari mengambil lap dari dapur.
Aku dan Ibu saling bertatapan.  Wajah kue yang sedang dihias Pakdhe menjadi bentuk bibir yang melengkung ke bawah. Wajah yang bersedih.
Ibu bergegas ke belakang, mengambil kain pel, melihat genangan itu makin melebar. Aku masih terdiam antara terkejut dan berusaha memahami berita yang baru saja kami dengar.
“Nanti Pakdhe perbaiki,” kata Pakdhe sambil mengelap lantai, melihatku memperhatikan kue berwajah sedih itu. Aku ganti mengamati wajah Pakdhe yang tampak letih.
Mendadak kehilangan rumah saja sudah mengendapkan luka. Tapi yang dialami Pakdheku barangkali setara dengan pengusiran paksa terhadap orang yang tidak melakukan apapun selain kebaikan. Seakan seketika ia didesak meninggalkan seluruh hidup, jalinan pertemanan dan cinta yang telah dibangunnya tahun demi tahun. Menerima kejadian itu sebagai bencana alam, atau sesuatu yang belum jelas benar, membuat luka itu makin dalam.
“Tak usah dipikirkan, Pakdhe…” ucapku pelan.
Aku tertegun mendengar kalimat yang keluar dari mulutku sendiri.
Kalimat yang sekian lama ingin kuucapkan pada beliau. 
Ia menoleh padaku. Mata kami bertemu beberapa lama.
Lalu mata itu berkaca-kaca. Ia mengangguk-angguk. Mengusap kepalaku dengan tangan kirinya, lalu beranjak pergi ke kamar.
***
Hari pertamaku bekerja sebagai guru taman kanak-kanak bertepatan dengan peringatan lima tahun bencana lumpur itu terjadi. Aku mengingatnya benar karena Pakdhe, di usianya yang sudah 70, saat itu bersikeras ikut berdemonstrasi ke istana.
Pada 18 Agustus siang, aku pulang membawa seuntai bendera merah putih yang dibuat murid-muridku. Pakdheku sedang duduk-duduk menatap kolam belakang ketika aku menyapanya dengan ceria. Akhir-akhir ini, ia sering hanya duduk termenung.
“Selamat Hari Kemerdekaan, Pakdhe!”
Ia menoleh padaku, memperhatikan lambaian benderaku, lalu balas tersenyum.
Namun kalimat balasannya setelah itu membuat senyumku seketika lenyap.
 “Merdeka dari apa, Cah Ayu[1]?”
Aku terkesiap. Meski masih bisa membuat segaris senyum.
Lima tahun Pakdhe Yok tinggal bersama kami. Tapi jauh dalam hatinya, aku tahu bahwa ia tak pernah benar-benar hidup sepenuhnya di antara kami. Hati dan sebagian jiwanya masih dan selalu ada di Siring. Bersama makam Budhe, Ponpon yang hilang, dan rumah berpohon jambu yang tak akan pernah terlihat lagi.
“Pada akhirnya, satu-satunya hal yang paling Pakdhe khawatirkan di dunia ini, Cah Ayu, hanyalah hilang ingatan. Ingatan,  adalah satu-satunya tempat Budhemu tetap hidup. Di mana Pakdhe bisa berkunjung tiap hari. Hanya kenanganlah yang bisa Pakdhe putar kapanpun. Rumah kami sudah lenyap. Tapi semua yang terjadi di bawah atapnya tetap tinggal selamanya di sini, dan di sini,” ia menunjuk dada dan kepalanya.
Genangan di pelupuk mataku tumpah ketika aku memeluknya.
Pakdhe Yok meninggal beberapa pekan kemudian. Hingga akhir hidupnya, ia adalah satu dari ratusan orang yang masih menanti pembayaran ganti rugi akibat lumpur yang menelan rumah mereka. Ganti rugi yang tentu kini tak lagi dibutuhkan Pakdhe. Akhirnya ia tiba di rumah yang tak akan pernah dirampas lagi darinya.
***






[1] Anak cantik

Dimuat di Majalah Femina, 2015



VIA DOLOROSA

Papan itu seperti memberitahu Grace untuk berhenti dan menepi. Di atasnya, tertulis sebuah nama jalan. Via Dolorosa. Jalan kesengsaraan. Tak banyak orang tua yang menggunakan nama itu sebagai nama yang mereka berikan untuk anak mereka.
Grace hanya kenal satu orang yang menyandangnya. Nama itu pertama kali ia baca pada suatu sore di sebuah papan di belakang gereja. Tertulis di antara belasan nama lain, anggota paduan suara di gerejanya yang terpilih mengikuti lomba.
“Oh kamu yang namanya Amazing Grace. Kukira hanya namaku yang serupa judul lagu,” ujar si pemilik nama yang ternyata seorang pria. Grace tersipu sambil menyambut jabatan tangannya.
“Osa,” laki-laki itu menyebut nama panggilannya.
Saat itu mereka baru lulus sekolah menengah atas.
Kini nama itu terpampang pada sebuah papan nama kecil yang tergantung di sebuah tempat tidur pasien. Baru saja dipan itu didorong melintas di depannya. Saking terkejutnya, Grace tak sempat melongok wajah si pasien yang berbaring di atasnya. Ia berdiri tertegun di persimpangan lorong rumah sakit.
Baru beberapa menit lalu ia berjalan keluar dari paviliun seberang, menengok sahabatnya, Sarah, yang sedang dirawat. “Enggak! Aku nggak sakit kok!” sergah Sarah, menggulung lengan bajunya. Di mata Grace, gadis itu memang tak pernah tampak sakit. Jiwanya sekokoh gugusan gunung yang sering ia tanjak.
“Iya, kamu nggak sakit. Cuma hilang di gunung. Kalau nggak cepat ditemukan, bisa pingsan kelelahan, jatuh ke jurang, atau dipatuk ular,” Tante Nat, mama Sarah, menyahut, gusar. Sarah menyeringai lebar pada Grace, yang dibalas kerlingan mata. Grace tahu, meski nyawanya seinchi menuju maut, ini tidak akan jadi kali terakhir sahabatnya itu memanggul ranselnya dan menapakkan kaki menaiki gunung.
“Itulah harga yang harus kamu bayar untuk kesenangan semu. Kau contohlah Grace. Sekarang sudah jadi pembawa berita terkenal. Kamu naik gunung terus, mau jadi apa?” Tante Nat terus berseloroh sambil melipat ulang pakaian putrinya, dan memasukkannya ke dalam lemari.
Sarah memutar bola matanya. Grace hanya tersenyum. Tante Nat tak tahu hasrat itu. Letupan serupa kembang api yang terus datang tiap malam, mengajak untuk mengejar mimpi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapainya.

Grace masih berdiri terpekur di koridor, mengingat ucapan Tante Nat. Kini, seakan semesta bahu membahu menghamparkannya pada ingatan akan harga yang ia bayar untuk mimpinya sendiri. Ragu-ragu, Grace melangkah perlahan menuju ruangan tempat dipan berpapan nama Via Dolorosa didorong. Langkahnya seketika terhenti saat seorang wanita berambut sebahu bergegas memasuki ruangan itu.
Grace bimbang. Cepat-cepat, ia berjalan melintas tanpa menengok ke dalam ruangan itu. Tapi langkahnya kembali terhenti di ambang gerbang pintu rumah sakit. Lalu kaki itu berjalan kembali ke arah semula.
Ia mengokohkan pijakan kakinya, berdiri di depan pintu ruangan yang terbuka. Dua perawat sedang memasang selang infus dan mengatur posisi dipan. Wanita berambut sebahu itu duduk di ujung tempat tidur. Ia menengok ke pintu dan tersentak melihat kehadiran Grace.
“Ya?” tanyanya sambil berdiri.
Grace menatap wanita itu, berusaha agar tak tampak sedang berpikir.
“Saya…Amazing Grace,” ujarnya kikuk.
Wanita itu mengangguk. “Saya tahu.”
 “Marta,” wanita itu menjabat tangannya.
Grace baru sadar tangannya sudah terulur lebih dulu.
“Saya menonton siaran berita Anda setiap hari,” wanita itu buru-buru menambahkan.
“Terima kasih,” Grace tersenyum.
Matanya sekilas melihat papan nama yang tergantung di tempat tidur. Kemudian dengan cepat beralih ke wajah si pasien yang berbaring di atas dipan. Napasnya sesak.
“Dia…Osa ya?” Grace bertanya, setengah berbisik.
“Iya. Anda kenal?”  wanita bernama Marta itu mengangguk kencang dengan tatapan mata takjub.
Grace mengangguk, lalu diam. Marta menatapnya, menuntut penjelasan.
“Teman di paduan suara gereja dulu…,” ucap Grace.
Ia mendengar suaranya sendiri yang menggantung, seperti kalimat pembuka dari sebuah dongeng panjang yang mendadak terhenti. 
“Oh… Kok dia nggak pernah cerita punya teman hebat,” tukas Marta.
Grace tidak terlalu mendengarkan.
Ia menatap wajah laki-laki itu lekat-lekat. Mata pria itu masih tertutup. Ada selang di hidungnya, dan balutan di sekeliling kepalanya. Juga pada pundak, dada kiri, hingga ke tangannya. Grace merasa jantungnya seperti terhempas.
“Kenapa dia?” ia bertanya pada Marta, tanpa memandang wanita itu.
“Kecelakaan. Motornya menabrak mobil.”
“Oh…” bibir Grace tak mampu mengurai yang terasa di hatinya.
Marta menyorongkan sebuah kursi ke sisi Grace. Gadis itu menolak dan mempersilakan Marta untuk duduk. Tak ada kursi lagi di ruangan itu selain sofabed panjang di sudut ruangan.
“Saya kira dia masih di Australia…” ucap Grace, setengah bertanya, mencari tahu.
Marta menggeleng.
“Ibunya meninggal, pekan lalu. Jadi dia kembali.”
Grace tersentak.
Ia kecewa pria itu tak memberitahunya. Teganya tak ada seorangpun yang memberitahukan kabar itu padanya. Atau barangkali kini sudah tak ada yang tahu nomor kontak pribadinya selain Osa.  Pada satu masa, Ibu Osa sudah seperti ibunya sendiri. Kini ia yang merasa lebih butuh tempat duduk.
Pengikut akun twitternya genap 40.000 pagi ini. Mereka rajin mengomentari, menyemangati, juga kadang mencaci kicauannya. Padahal yang dibutuhkan Grace dalam hidupnya hanya beberapa orang yang sangat mengenal dan dikenalnya.

***

Laki-laki itu seharusnya bangun dua jam setelah Grace meninggalkan ruangan itu. Harusnya begitu. Tapi hingga keesokan harinya, mata itu masih juga tertutup. Jantung Grace berdebar kencang ketika mendengar penjelasan Marta siang itu, saat ia kembali melangkahkan kaki ke sana. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Marta.
Grace menghela napas agar tak memperlihatkan penampakan serupa. Dengan hati-hati, di atas meja di sisi tempat tidur Osa, ia meletakkan tempat makan berisi bubur ayam yang sengaja ia buat sendiri untuk lelaki itu. Tanpa bawang goreng. Grace masih ingat pria itu tak suka apa saja.
Ia menatap wajah Osa. Alis tebalnya masih sama. Rambutnya kini plontos. Kulitnya lebih gelap. Tubuhnya masih tampak tegap dan sedikit lebih gemuk. Grace ingin membisikkan sesuatu ke telinga Osa, dan berharap akhirnya laki-laki itu membuka mata. Ia rindu melihat mata teduh itu menatap dirinya. Tapi Grace menahan diri.
“Keluarga Osa di mana? Mereka sudah tahu?” ujarnya mengalihkan perhatiannya sendiri dari wajah Osa. Grace tahu persis siapa saja anggota keluarga Osa, sampai ke sepupu-sepupunya. Ia merayakan empat Natal bersama mereka. Tanpa bertanya, Grace tahu, Marta jelas bukan bagian keluarga Osa. Mungkin belum jika keduanya adalah kekasih. Grace memilih tidak memikirkan kemungkinan itu.
“Kak Maria sedang menuju kemari,” ujar Marta.
Wanita itu sepertinya semalaman tak tidur.
Rambut tebalnya dibiarkan tergerai tak karuan.
Grace jadi semakin gelisah. Ia ingin menunggu hingga mata Osa terbuka, tapi dirinya tak ingin bertemu Kak Maria. Wanita itu menangis saat tahu dirinya dan Osa berpisah. Osa menahan diri berbulan-bulan agar tak memberitahunya. Entah sudah berapa kali Kak Maria memperkenalkan dirinya sebagai adik iparnya.
“Ini adikku, calonnya Osa. Cantik ya.” Grace masih mengingat suara itu. Hingga satu dua tahun setelah mereka berpisah, Kak Maria masih saja mengiriminya cupcake buatannya setiap kali Grace berulang tahun, dan di hari Natal.
Cupcake terakhirnya adalah tiga jajar cupcake dihias icing berbentuk sosok wanita mirip dirinya dalam sebuah kotak TV. Cupcake itu tiba di meja Grace, sehari setelah wajahnya pertama kali muncul dalam berita prime time.
Grace anak tunggal. Mimpinya memiliki kakak wanita yang penyayang sudah menjadi nyata. Namun kemudian mimpinya yang lain memaksanya untuk menukar mimpi itu. Grace berusaha menghalau rasa sedih dan tak berdaya saat ia melangkahkan kaki keluar gerbang rumah sakit.

***

Laki-laki itu koma. Ia tidur dalam jeda di antara dua kehidupan. Di sini tapi tak ada. Akan ke sana tapi belum tiba. Grace merasa hatinya terbelah. Satu tiupan saja dan kekuatan yang tersisa dalam dirinya akan remuk jadi serpihan.
Sarah sudah diperbolehkan pulang kemarin. Tapi Grace kembali melangkahkan kaki ke rumah sakit itu. Sekuat tenaga, ia menguatkan langkah kakinya menuju ruangan tempat Osa berbaring.
Grace selalu datang saat hari belum siang. Ia menghindari pertemuan dengan Kak Maria yang baru akan datang setelah jam pulang kantor. Lagipula, petang hari adalah saat ia sendiri sedang bertugas. Sementara gadis itu selalu di sana setiap pagi. Marta.
                “Ia hanya punya Kak Maria… Dan aku…” katanya tiba-tiba pagi itu.
Itu dia. Ucapan gadis itu tiba-tiba seperti embusan ringan yang meruntuhkan hati Grace menjadi kepingan. Marta duduk di sebuah kursi di sisi kanan, dan Grace duduk di kiri tempat tidur Osa. Sedetik, Grace ingin bangkit dari kursinya dan mengguncang-guncang pundak Osa. Meneriakinya, kalau perlu, untuk membuatnya membuka mata. Sementara di saat yang sama, ia ingin lari kencang. Merasa tak berhak lagi ada dalam ruangan itu.
                Namun ia ingin mendengar Osa bicara padanya, sekali saja. Apapun. Tentang bisnis mainan yang ia rencanakan. Tentang masa kecilnya di boncengan kakaknya, menjajakan kue buatan ibunya. Tentang nama-nama anjing yang sempat ingin mereka miliki. Tentang rumah dengan pekarangan luas yang ingin mereka tanami banyak cabai.
                “Maaf, kemarin bubur ayammu kuberikan pada pasien sebelah. Kasihan tidak ada yang menunggui,” ujar Marta sambil berjalan menuju dispenser, menuangkan minuman. Grace hanya mengangguk. Tak sadar Marta sedang membelakanginya, tak melihat anggukan itu.
                Ia memberikan segelas air putih, yang disambut Grace dengan canggung. Hanya ia minum seteguk. Aroma obat-obatan dan cairan antiseptik khas rumah sakit membuat Grace mendadak pening. Ia tak pernah suka berlama-lama berada di sana. 
                “Kamu pernah membaca blog Osa?”
                Grace terkejut, tapi hanya menggeleng perlahan. Matanya mengikuti barisan semut yang menggotong remah roti menuju pintu. Tidak. Ia tidak pernah berani mencari tahu hanya untuk semakin tahu apa yang sudah ia lewatkan.
“Di situ ia seperti menceritakan kesehariannya pada seseorang. Gadis itu ia sebut Schatzi.” Jantung Grace seperti melesat ke udara.
Semua terjadi seperti skenario yang tinggal dilakonkan. Osa pertama kali menyebutnya dengan panggilan itu saat mereka berdua baru sepekan tiba di Jerman. Berapa persen kemungkinan teman satu paduan suara, mendapat beasiswa yang sama, ke kota dan negara yang sama? Nyaris nol. Tapi terjadi.
                Semua menjadi lebih ringan karena mereka bersama. Orangtua mereka senang karena keduanya saling menjaga di negeri antah berantah tanpa keluarga. Osa dan Grace adalah keluarga bagi satu sama lain.
                Setelah lulus dan pulang ke Jakarta, Osa mendapat pekerjaan idamannya di Australia. Sesuai rencana, Osa melamar Grace. Rencananya, setelah menikah, mereka berdua akan tinggal bersama di Melbourne. Tadinya begitu. Hingga mimpi Grace yang lain menjadi nyata. Mimpi yang tak sejalan dengan mimpi Osa dan impian masa kuliah mereka.
                Dalam sebuah audisi, Grace dengan cepat diminta menjadi pembaca berita tetap di stasiun televisi impiannya di Jakarta. Gadis itu harus memilih. Osa memintanya memilih. Dan ia memilih.

Kini, sepuluh tahun berlalu, apa yang ia ceritakan pada dirinya di blog yang disebut Marta? Apa alamat blog itu?
Grace setengah mati berusaha bersikap tak ingin tahu, padahal gemuruh dalam hatinya mengharap sebaliknya. Namun setidaknya kini ia tahu, Osa tak pernah benar-benar membiarkannya pergi. Kenyataan yang membahagiakan, sekaligus menyiksanya.


***

Hari ini ulang tahun Osa. Hari kedelapan ia koma. Grace tak pernah perlu mencatatnya pada agenda ataupun alarm pengingat dalam telepon genggam. Sembilan April adalah tanggal yang ia ingat seperti ia mengingat hari lahir ibu dan ayahnya. Seumur hidup, sudah lebih dari sepuluh kali mereka saling mengucapkan selamat ulang tahun satu sama lain meski tak pernah bertemu. Lebih dari sepuluh kali juga, Osa selalu menutup ucapannya dengan kalimat yang sama : Life is short. Make it fabulous.  
Osa tak pernah tahu betapa berartinya kalimat itu untuk Grace. Kata-kata yang menggerakkan langkah Grace setiap hari. Membuatnya bersemangat setiap kali membuka mata di pagi hari. Satu dari sekian banyak hal yang membuatnya selalu menantikan 9 April. Saat ia mengisi ulang energinya untuk setahun ke depan. Saat ia punya alasan untuk menghubungi Osa selain Hari Natal dan Paskah. Di 362 hari lain, ia menahan diri.
                Marta belum ada saat Grace memasuki ruangan hari itu. Ia berjingkat mendekati tempat tidur Osa, seakan ia bisa membangunkan laki-laki itu. Rasa haru, sedih, sekaligus bahagia menyergapnya. Ia bahagia bisa berada sedekat itu dengan Osa. Perlahan, Grace memegang tangan Osa. Hangat.
“Selamat ulang tahun, Osa. Hidup ini singkat. Jadikan hidupmu luar biasa,” Grace berbisik. Lidahnya tercekat saat ia mengucap ‘hidup ini singkat.’ Tentu tak sesingkat ini kan? Tak bisakah ia bangun? Terlalu banyak hal yang ingin ia ungkap. Grace memohon, entah pada siapa.
                Genggaman tangan itu seketika ia lepas ketika Marta memasuki ruangan, mengucap selamat pagi. Grace buru-buru menyeka air matanya. Marta mendekati Osa dan melakukan persis seperti yang sebelumnya dilakukan Grace. Membisikkan selamat ulang tahun.  Minus mantra penutup yang diucapkan Grace. Lalu hening menyergap keduanya. Mereka kembali duduk di kursi yang sama. Di sisi kanan dan kiri tempat tidur Osa.
Terdengar keributan di ruangan sebelah. Dua perawat pria datang setengah berlari mendorong tabung gas raksasa. Untuk kesekian kalinya, napas pasien sebelah itu hampir terhenti selamanya. Grace mengira-ngira bagaimana ia sendiri akan mati. Dan siapa yang akan ada di sisinya di saat terakhir itu.
 “Jadi kamu wanita yang Osa sebut Schatzi…”
Kalimat Marta melesat seperti anak-anak panah yang menancap di sekeliling Grace.
Membuatnya tak dapat lari sembunyi. 
Seketika degup jantungnya sendiri sudah terdengar terlalu riuh untuk diredakan.
“Kak Maria tak sengaja mengucapkannya semalam.”
Ada hening yang dipaksakan tetap ada.
“Itu…sudah lama berlalu,” ucap Grace akhirnya, menatap ubin di bawahnya.
“Lama dan baru itu tidak pernah soal waktu,” tukas Marta. “Seperti juga jarak. Osa tak pergi, tapi juga tak di sini,” katanya lagi. 

“Kamu lebih memilih mimpimu daripada aku?” Grace masih bisa mendengar suara Osa. Juga setiap detik dan detail kata yang mereka berdua ucapkan kala itu. 
Aku ingin keduanya. Itu terlalu egois ya? Bisik Grace dalam hatinya.
“Ujian cinta adalah pengorbanan, dan ukuran cinta adalah tidak mementingkan diri sendiri.” Sepuluh tahun dan Grace masih tak bisa memahami kalimat itu dengan genap.
“Kamu ingin aku mencintaimu dengan mengorbankan mimpiku?” ia ingat, pertanyaannya itu membuat cahaya di mata Osa seketika meredup.
“Kenapa bukan kamu saja yang mengorbankan mimpimu demi aku?”
Osa terdiam.
“Aku akan mencintaimu dengan mengorbankan mimpiku dan kamu akan mencintaiku dengan mengorbankan mimpimu. Dengan begitu akan ada dua orang yang saling mencintai tapi tidak pernah mengejar mimpi mereka.[1]
Seumur hidup, Grace tidak menyesal mengucapkan hal rasional yang ia anggap kebenaran itu. Kebenaran yang menikam keduanya. Tapi ia menyesal kata-kata itu menyapu sinar di mata Osa.
“Amazing Grace, jangan lepaskan anugerahmu. Aku juga akan menyandang nama dan menempuh jalanku.” Sinar di mata Via Dolorosa padam dan tak pernah terbit lagi seiring ia melepaskan tangan Grace dari genggamannya.

Grace lekas mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya ketika air mata itu siap mengembang lagi. Perlahan ia menaiki mobil dan menutup pintu.
“Ibu sudah selesai kemoterapi?” Pak Yahya, sopir pribadi Grace menatap dirinya dari kaca di atas kemudi.
Grace menggeleng. “Besok saja, Pak,” suaranya serak.
Kanker darah. Sekuat tenaga ia menyembunyikan dua kata itu dari Osa. Dari siapapun selain keluarga dan orang di rumahnya. Sepuluh tahun ia menjalani pengobatan yang tak pernah menjanjikan kesembuhan. Kadang ia berpikir kematian terdengar lebih indah daripada penantian akan kematian itu sendiri. Setiap pagi, Grace bersyukur masih bisa membuka mata, sekaligus juga selalu sadar bahwa hidupnya memang benar-benar singkat.
                Separuh hatinya hancur, sementara separuh yang lain lega saat Osa melepaskan tangannya. Saat itu usianya diperkirakan tinggal dua tahun. Ia telah dan selalu memilih Osa dengan mengorbankan mimpinya yang paling berharga. Mimpi mereka berdua. Ia hanya ingin Osa bahagia, tanpa membuatnya bersedih kehilangan dirinya. 
“Via Dolorosa, jalan kita sebenarnya sama,” bisik Grace saat mobilnya bergerak meninggalkan pelataran rumah sakit.  

***





[1] Dari Anthony de Mello, S.J., Awareness

Dimuat di Majalah Femina, 13 Desember 2014

Ruang Tengah
11 September 2019

Bagi Ben, ruang tamu adalah ruang pura-pura. Di rumahnya, ruang kecil itu selalu menjadi ruangan paling rapi, sekaligus paling sepi. Seperangkat meja kursi kayu jati di sana hampir tidak pernah dipakai. Foto keluarga mereka bertengger di salah satu sisi dinding, kesepian, tak pernah dilihat. Juga jajaran porselen berdebu koleksi ibunya. Belakangan, Ben meletakkan tumpukan bukunya di sana. Tidak muat lagi di rak kamarnya.

Ruangan itu memang nyaris tidak ada gunanya. Semua yang bertandang ke rumah Ben tidak pernah diterima di ruang tamu. “Masuk! Masuk ke sini!” begitu ibunya selalu berteriak dari dapur, mengajak tamu-tamunya masuk ke ruang tengah; ruang keluarga yang terbuka. Semua yang masuk ke sana seketika juga bebas masuk ke dapur, juga duduk di meja makan.

“Tidak ada tamu di sini,” begitu kata ibunya; kalimat lain dari “Anggap saja rumah sendiri.” Teman-teman ibu Ben yang datang kemudian akan ngobrol dengan suara lantang, bersahutan dengan ibunya yang selalu di dapur. Teman-teman Ben yang berkunjung juga akan menguasai ruangan itu, atau langsung naik ke kamarnya.

Begitu juga ketika Jena datang untuk kali pertama. Seperti pada semua orang lain, ibunya mengundang gadis itu masuk ke ruang keluarga. Jena, masih berseragam, duduk di ujung sofa dengan kikuk. Ia memandangi ruangan itu dengan ekspresi yang sulit ditebak Ben. Kagum? Aneh? Tidak suka?

Diam-diam Ben juga jadi ikut memperhatikan sekeliling. Ada tumpukan majalah masakan lama ibunya di sudut ruangan, belum diambil tukang loak. Di sudut atas, dekat lemari kayu, ada sarang laba-laba samar yang Ben harap lolos dari pandangan Jena. Sekilas ia lalu melihat Jena tertawa kecil melihat foto kecil Ben di dinding, mengenakan pakaian adat Dayak di Hari Kartini.

Ben tidak malu. Ia justru tersenyum lega.
Di ruang tengah, seharusnya memang tidak ada yang perlu pura-pura. Bersama Jena, ia merasa tidak butuh menyembunyikan apa-apa.

***

Namun, bertandang ke rumah Jena selalu membuat Ben resah. Sudah dua bulan, hampir setiap hari mengantar Jena pulang sekolah, ia selalu hanya diterima di ruang tamu; di ruang pura-pura.

Ben sudah hapal betul tata letak benda di ruangan itu. Di atas sofa, foto-foto wisuda dua kakaknya dipajang berjajar. Masing-masing dengan selempang bertuliskan “lulus dengan pujian.” Pada dinding di sisi jendela, ada piagam-piagam penghargaan lomba karya ilmiah, debat, cerdas cermat, menyanyi, dan renang. Sebagian milik Jana, sebagian lagi milik kakaknya, Jana dan Joni. Dua orang yang belum pernah dijumpai Ben. Kata Jena, Kak Joni sedang S2 Ekonomi di Australia. Kak Jani S1 Bioteknologi di Singapura.

Semua sudut di rumah itu memancarkan keberhasilan hidup. Sesuatu yang Ben dan semua teman Jena sudah tahu tentang keluarga itu. Ben ingin duduk di ruang tengah; mengenal Jena di ruang santai. Tapi rupanya hari ini pun ia harus puas duduk di ruang tamu. Menyesap sirup yang terlalu manis meski sudah dijejali es-es batu.

Jena duduk di hadapannya. Tapi seperti biasa, pikiran gadis itu seakan sedang tergesa-gesa ke tempat lain, lalu terantuk batu.

***

“Bapak Ibu sehat, Jen?” ibu Ben bertanya, seakan-akan pernah bertemu kedua orang tua gadis itu. Ben melihat tangan Jena berhenti sebentar. Gadis itu sedang membantu ibu Ben  memasukkan kue lemper, sus, dan keik cokelat ke dalam kotak-kotak kardus putih. Masih ada setumpuk yang belum terisi. Selusin kotak lagi sedang dirangkai Ben.

“Sehat, Tante,” Jena menjawab singkat tapi tanpa menatap balik ibu Ben. Seperti isyarat ia tidak ingin ditanya lebih jauh. Jawaban serupa yang didapat Ben jika ia bertanya yang sama. Sejak pertama melihat Jena, Ben sadar, gadis itu seperti punya dinding tak kasat mata di sekelilingnya.

“Alhamdulillah,” ibu Ben bukannya tidak sadar sedang mengetuk dinding. Anaknya sudah bercerita soal ini. Perempuan itu menatap Ben sekilas sebelum membawa sebuah baskom kosong ke dapur. Ben menatap balik ibunya tanpa suara.

***

Ben bersiap turun dari Starlet renta almarhum ayahnya ketika mendengar sebuah ponsel bergetar. Ia meraba saku depan tasnya. Ponselnya sendiri tak bergetar. Pria itu menengok ke sumber suara. Di kursi depan samping kemudi, tampak sebuah ponsel bergetar. Ponsel Jena tertinggal.

Ben segera menyalakan mesinnya kembali. Menempuh delapan kilometer jarak kembali ke rumah Jena.

Pintu terbuka perlahan tepat ketika Ben hendak menekan bel rumah Jena untuk keempat kalinya.
Dari balik pintu, Jena muncul, menunduk.
Bahunya tampak naik turun.
Ben terkesiap.

Dalam diam, mereka duduk bersisian.
Pertanyaan berlompatan, tapi Ben memaksa diri tidak menuntut jawaban.
Ia tahu Jena tidak suka ditanya.
Ia hanya duduk menemani Jena menangis.

Langit belum senja, tapi awan sudah menjadi gelap saat akhirnya gadis itu bicara, “Ayahku…akhirnya pergi.”
Ben terdiam. Ia mencoba menyerap yang tak terucap.
Gadis itu perlahan menyingsingkan kemejanya, memperlihatkan lebam kebiruan di lengannya.
Mata Ben bertemu mata Jena, ikut merasakan luka.
Ben merasa dinding di sekeliling Jena seketika runtuh.

Ben belum begitu mengerti apa yang terjadi dalam rumah penuh piala itu. Mungkin ia tidak perlu mengerti sekarang. 
Pria itu memeluk Jena yang kembali menangis.

Ia tidak lagi ingin ke ruang tengah. Ia tidak ingin ke mana-mana. 
Di ruang tamu itu, ia tidak lagi merasa menjadi tamu.



***



Sebelum Hari Terakhir 


Kabar itu berdengung tepat saat taplak altar dan pakaian liturgi pastor berganti menjadi ungu. Harga batu bara anjlok. Sebagian penambang di lapangan sudah berhenti bekerja.
Bahan tambang itulah yang selama ini menghidupi karyawan dan menghidupkan perusahaan tempat Sesilia baru masuk bekerja.
Di pagi yang gerimis, semua karyawan diminta berkumpul di ruang serbaguna demi sebuah pemberitahuan yang singkat dan mencekam. Gaji dan THR Natal akan dicicil dua kali: di tengah dan akhir bulan. Sesilia tercekat. Dua bulan sebelumnya, ia masih berada dalam lautan anak muda yang dengan gembira melambungkan topi toga ke angkasa. Menutup empat tahun masa yang tak sabar ingin diakhiri dan menyongsong dunia yang sebenar-benarnya. Tak tahu bahwa dunia yang sebenarnya itu sering tidak sebenar angan semula.
Baru tadi pagi, dari balik bilik kerjanya, Sesil  bertanya-tanya apakah kehidupan hampir semua manusia dewasa memang harus bermuara di depan layar komputer, delapan jam tiap hari. Di pukul dua belas tepat, tanpa dikomando semua beranjak menuju ruang makan. Menu hari itu adalah nasi goreng, bakso, tumis pakcoy, dan puding buah.
“Memang gaji kita terasa kecil karena tak ada uang makan. Tetapi lihat sendiri, makan siang di sini prasmanan dan setara dengan menu kondangan,” ucap Anastasia, karyawan keuangan yang duduk di sebelah Sesil di meja makan. Sesil hanya mengangguk-angguk. Bagaimanapun gadis itu lebih memilih uang makan. Dengan begitu ia bisa berhemat dengan memasak bekalnya sendiri dan menyimpan sisanya untuk keperluan lain.
Namun kini Sesil ragu apalagi yang bisa ia hemat jika gajinya pun akan dicicil. Anastasia bercerita bahwa biasanya ini saatnya perusahaan membentuk kepanitiaan kecil, bersiap berkunjung ke panti asuhan untuk merayakan Natal. Kali lain diadakan wisata akhir tahun bersama, ke Bandung atau Bogor. Tapi tahun ini tidak.

***

Semua tiba seperti bola salju yang menggelinding menuruni bukit yang curam dan sulit diredam. Pada pertengahan masa Advent, Bu Ong, direktur perusahaan,  menyatakan perusahaan akan tutup hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan. Di luar gaji bulan Desember, perusahaan hanya sanggup memberikan THR dan pesangon sebesar sebulan gaji. Di ruang makan, beredar obrolan bahwa Bu Ong mengeluarkan dana pribadinya sendiri untuk membayar gaji karyawan. Tak ada yang protes karena tahu pada akhirnya semua kehilangan.
Bu Leoni pernah berkata, setiap jelang akhir tahun, diumumkan karyawan yang sudah mengabdi 10, 15, dan 20 tahun untuk mendapat penghargaan. Sesil tertegun. Berhenti bekerja dari kantor itu pastilah seperti mengubah sebagian dari jati diri orang-orang ini.
Hari-hari terakhir menjelang Natal sekaligus mendekati hari terakhir bekerja, seisi kantor itu sedang mencari cara terbaik untuk berduka sekaligus barangkali mencoba bahagia. “Sarapan dulu, Sesil. Kapan lagi kita makan pagi bersama,” tepukan Bu Arum di pundak mengejutkan Sesil. Pukul delapan lewat lima pagi. Pekerjaan di dua pekan terakhir di kantor bisa jadi hanya merapikan semuanya sebelum ditinggalkan. 
“Aneh juga rasanya tak ada pohon Natal raksasa yang biasa dipasang di lobi. Bertahun-tahun saya membantu memasang kerangkanya,” Pak Lukas meletakkan piringnya yang hanya menyisakan bumbu kacang siomay, lalu terkekeh. Sepuluh karyawan keuangan itu duduk berdesakan di sekeliling meja bundar di balkon.
“Apa jadinya Natal tapi krisis uang? Hadiah, kue natal, dekorasi rumah, belum lagi bepergian ke rumah saudara. Semua perlu uang,” sahut Bu Leoni. Semua terdiam, barangkali meredakan gemuruh di pikiran masing-masing. Hanya terdengar denting sendok garpu bertemu permukaan piring. Di halaman, hujan turun pelan-pelan. 
“Apa Natal memang selalu perlu uang, pohon, dan dekorasi?” pertanyaan Sesil terlontar begitu saja seperti bola pingpong yang melenting dari balkon lalu jatuh ke tanah. Ia sendiri tak benar-benar berpikir sebelum mengajukan pertanyaan itu. Namun seketika orang-orang di sekeliling meja tampak terkejut tanpa suara. Sesil jadi kikuk sendiri.

***
Sebuah kotak kardus bekas diletakkan di atas meja dekat mesin absen pagi keesokan harinya. Di bagian luar kardus, ditempel kertas putih bekas kalender yang ditulisi dengan spidol papan tulis. Donasi buku dan pakaian layak pakai untuk korban banjir. Sesil tertegun. Banjir di kabupaten tempo hari memaksa ratusan keluarga mengungsi. Tetapi segenap isi kantor ini pun sedang berduka dan mendadak harus mencoba menyelamatkan diri serta keluarga masing-masing. Ia berpikir bagaimana orang bisa diajak memberi dan berbagi saat diri mereka sendiri kekurangan.
“Kamu benar,” sebuah suara mengejutkan Sesil saat ia mencapai anak tangga teratas menuju ruangan kantornya. Anastasia sedang berdiri di sisi meja di balkon. Di atas meja itu, ada tumpukan pakaian seukuran tubuhnya yang ia lipat kembali dengan rapi ke dalam sebuah tas karton cokelat berukuran besar.
“Benar tentang apa?” Sesil berjalan mendekat, meletakkan tasnya di atas meja. “Natal harusnya bukan tentang membeli, tapi memberi,” jawab Anastasia singkat, sambil tersenyum. Sesil tak ingat pernah mengucapkan hal seperti itu, tapi senang jika ada yang menangkap kalimatnya dari sudut pandang yang lebih indah. “Karena kalimatmu kemarin, dalam perjalanan pulang, aku dan Bu Leoni jadi punya ide untuk tetap merayakan Natal dengan berbagi untuk korban banjir, memberi dari yang kita punya,” tukas gadis itu lagi. Senyum Sesil terkembang seperti sayap malaikat Natal yang terentang di atas kandang tempat bayi Yesus lahir. Hari itu mereka mengirim surel dan pesan singkat pada hampir semua karyawan, mengingatkan untuk membawa donasi.
Keesokan paginya, Sesil yang tak berharap banyak terperanjat mendapati tumpukan kantong plastik penuh pakaian dan kardus-kardus penuh buku memenuhi meja yang tak cukup besar untuk menampung semuanya. Pak Lukas datang menenteng sebuah tas kain berisi boneka. Ia berkata cucunya sudah terlalu besar untuk memainkan boneka-boneka itu. “Akhirnya Sil, kita bisa memberi dari kekurangan,” pria itu berbisik sambil menempatkan jempolnya pada pemindai mesin absen, lalu melangkahkan kakinya ringan. Mata Sesil berkaca-kaca.

***
Tak ada panggung, balon, musik dan pengeras suara seperti pesta Natal. Tapi mata-mata yang berbinar saat menyaksikan kardus demi kardus pakaian dan buku diturunkan dari mobil itu dirasakan Sesil lebih meriah dari kembang api tahun baru. Bu Leoni, Anastasia, dan Sesil menyandarkan punggung mereka yang letih setelah mengangkat kardus demi kardus donasi. Tetapi mereka tahu, hati mereka jauh lebih kuat karena bahagia dan sedih yang berpadu.

***
Tanggal 24 bulan 12. Hari terakhir kantor itu beroperasi sebelum papan nama diturunkan, perabot dipindahkan, dan ruangan demi ruangan dikunci. Sesil merasa dadanya sesak. Bukan karena kekhawatiran akan aliran sumber hidup yang sebentar lagi harus dicari gantinya, tetapi karena ia akan merindukan semua orang yang baru ia kenal itu. Begitu juga semua rutinitas, dari bagian terbaiknya hingga sisi yang paling membosankan.
Sebulan lalu ia berencana jalan-jalan merasakan Natal di luar negeri dan membeli baju Natal bermerek karena merasa layak dan mampu setelah bekerja. Semua urung.  Namun toh tanpa semua itu, ini masih tetap Natal. Justru di tengah kekurangan, bayi Yesus tak lagi tenggelam di antara gemerlap lampu Natal, kado mewah, ataupun mal megah.

(dimuat di Majalah Katolik "Hidup", Desember 2016)

***


Saat ayah berkata bahwa kami akan pindah rumah, aku melompat-lompat kegirangan hingga terantuk kaki meja dan membuat lampu duduk di atasnya pecah berantakan. Meski ayah berkata bahwa kami baru akan pindah empat bulan kemudian, aku sudah memasukkan semua komik dan koleksi boneka kucingku ke dalam kardus, siap diangkut ke rumah baru.
Saat itu, bagi anak usia delapan tahun sepertiku, pindah rumah adalah sebuah hal yang sangat hebat. Sebelumnya kupikir hal-hal besar hanya terjadi pada orang-orang di sekelilingku, seperti Lilia, Bombi, dan Rebecca, sahabat-sahabatku. Bukan padaku. Juli lalu keluarga Lilia sudah dua kali berlibur ke Singapura. Padahal aku ke Bali sekali pun belum pernah. Ayah Bombi baru membeli sebuah mobil baru yang akhir-akhir ini sering kulihat di televisi. Keren sekali! Sedangkan Rebecca baru saja dibelikan sebuah telepon genggam, benda yang sangat kuinginkan setelah piano.
“Kamu baru kelas dua SD, Salwa. Apa pentingnya punya benda semacam itu? Setelah punya HP kau pasti juga akan minta dibelikan pulsa setiap minggu. Bahkan mungkin setiap hari.” Begitu komentar bunda saat aku menceritakan telepon genggam Rebecca.
Padahal aku tidak bilang ingin dibelikan barang yang sama. Kalaupun bilang, sebenarnya aku sudah tahu bunda akan bicara begitu. Sama seperti jawaban yang diucapkannya saat aku ingin dibelikan playstation, televisi baru, kasur air, atau kucing persia. Aku tak bilang ingin punya piano karena tahu tak ada tempat untuk benda sebesar itu di rumah kami.
Anehnya bunda langsung mengiyakan saat aku minta satu set ensiklopedia seperti milik Bombi. Padahal harganya lebih mahal dari kucing persia.
Bagaimanapun, kabar bahwa kami akan pindah rumah sungguh adalah sebuah kejutan luar biasa di tengah hidupku yang datar. Aku tak sabar menantikan saat aku bangun pagi di kamar yang baru. Yang tak kumengerti, bunda menyuruhku untuk tidak membicarakan rencana kepindahan kami kepada para tetangga. Juga tak terlalu menunjukkan kegembiraanku, terutama pada Lilia, Bombi, dan Rebecca. Meski tidak satu sekolah, kami semua tinggal di kompleks perumahan yang sama.
Bunda tak menjawab saat kutanya mengapa. Lima menit kemudian ia malah menyuruhku memasukkan kembali kardus-kardus yang sudah penuh terisi barang-barangku ke dalam gudang.


Aku berusaha keras menyembunyikan cerita kepindahan itu saat bertemu Lilia  esok paginya dalam mobil antarjemput ke sekolah. Biasanya kami selalu bercerita apapun. Rumah Lilia hanya berada satu blok dari rumahku. Begitu juga rumah Bombi dan Rebecca. Bundaku dan Tante Nay, ibu Lilia, bersahabat. Kata bunda, saat balita aku tak mau makan kalau tidak jalan-jalan dulu ke rumah Lilia.
Hingga sekarang, yang selalu kuingat dari Tante Nay adalah baju-bajunya yang menurutku cantik sekali. Tidak seperti bunda yang selalu memakai baju yang itu-itu saja, aku menduga Tante Nay tak pernah menggunakan baju yang sama lebih dari tiga kali. Saat menyiapkan sebuah pengajian di rumahku, aku sempat mendengar Tante Nay bercerita bahwa pakaian yang sedang dikenakannya saat itu ia beli dengan harga satu setengah juta.

“Salwa, bantu aku ya menyiapkan hiasan-hiasan untuk pesta ulangtahunku,” kata Lilia
pagi itu.
Aku menatapnya.
Kalau aku pindah, aku tak akan berangkat dan pulang sekolah bersamanya lagi.
Aku akan sangat merindukan Lilia.
“Ya ampun, ulangtahunmu kan masih lama. Masih…empat bulan lagi kan?” jawabku sambil menghitung jarak bulan ini ke bulan ulangtahun Lilia dengan jari-jariku. “Hihi…iya sih. Tapi aku mau mengundang anak sekelas. Jadi aku ingin semuanya bagus. Kamu juga harus datang ya!” katanya berseri-seri sambil menyisir rambut keritingnya dengan sisir ungu yang senada dengan warna tas, sepatu, dan jepit rambutnya.
Aku hanya tersenyum. Pada ulangtahun Lilia, rumahku pasti sudah berada jauh dari rumahnya. Tapi aku berjanji tetap membantunya mempersiapkan pesta ulangtahunnya yang selalu dirayakan setiap tahun.

Minggu pagi keesokan harinya ayah dan bunda rupanya bicara sesuatu yang serius di dapur. Ayah bicara setengah berbisik sambil menunjuk-nunjuk koran yang baru saja dibacanya. Bunda, yang sedang mengupas kentang, mengangguk-angguk sambil sesekali menanggapi. “Sinyal” detektifku sedang tak bagus. Aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
Saat ayah masuk ke kamar mandi, aku menyambar koran hari ini dan membawanya ke dalam kamar. Mencari-cari apa yang kira-kira dibicarakan ayah. Lembaran koran itu terlalu besar untukku. Butuh waktu lama untuk menelusuri satu persatu berita di dalamnya. Tulisannya banyak sekali, dengan huruf kecil-kecil dan sedikit gambar. Sungguh tak menarik.
Setelah lebih dari sepuluh menit membolak balik halaman dengan berisik, aku terdiam lama menyadari apa yang kutemukan. Perumahan Arga Hijau akan Digusur. Aku membaca berita itu beberapa kali. Tak percaya. Di kota kecil ini, pasti hanya ada satu tempat bernama Perumahan Arga Hijau. Itu kompleks perumahan di mana kami tinggal. Meski tak mengerti seluruh isi berita, yang jelas di situ dikatakan bahwa penghuni perumahan ini harus segera meninggalkan rumah. Jadi bukan hanya keluarga kami yang akan pindah, tapi seluruh tetangga juga, paling lambat pada bulan Agustus. Itu berarti sekitar dua bulan lagi! Lebih cepat dari rencana ayah.
Tiba-tiba aku merasa sesak napas.
Aku tak bisa membayangkan jika perumahan ini tak ada lagi. Kupikir kalaupun pindah, aku masih dapat berkunjung ke sini sesekali.
Aku beringsut mendekat ke jendela dan membukanya lebar-lebar sambil menjulurkan kepala, memandang sekeliling. Pohon jambu di halamanku yang dulu sering dipanjat Bombi sekarang sudah tinggal tunasnya. Ayah menebangnya karena pohon itu ternyata dipenuhi ulat bulu. Entah sejak kapan.  
Di halaman ini juga saat masih belum bersekolah, hampir setiap hari aku, Lilia dan Rebecca main lompat tali, masak-masakan, boneka. Lalu beralih ke playstation di rumah Bombi.
Jika semuanya pindah, berarti aku tak bisa lagi makan soto di warung Pak Sabar setelah olahraga Sabtu pagi. Tak akan ada lagi adu cepat makan krupuk bersama Bombi saat 17Agustus, atau jajan di warung Bu Mula. Juga tak lagi bisa memberi makan ikan di kolam ikan Pak Darmin, atau bersepeda keliling kompleks berempat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengkhawatirkan hidup begitu banyak orang. Pak Sabar akan berjualan soto di mana? Lalu Bu Mula, tukang sayur, penjual tempe dan daging itu? Pasti mereka kehilangan banyak pelanggan. Bagaimana dengan Bu Santi, nenek  yang sudah berumur delapanpuluh dan tinggal seorang diri itu? Lalu Lilia, Rebecca, dan Bombi? Bisa jadi selamanya kami tidak akan bersama-sama lagi.
Tiba-tiba semua kegembiraan yang kurasakan seminggu terakhir ini lenyap begitu saja. Kini aku merasa sedih membayangkan ada sebuah tempat lain yang akan kusebut rumah.



Aku berjalan lambat-lambat ke ruang makan sambil melipat koran itu kembali dan meletakkannya di meja ruang tamu, sesaat setelah bunda memanggilku untuk sarapan.
Aku tak dapat menyembunyikan kesedihanku sendiri lama-lama.
“Ayah…jadi benar kompleks ini akan digusur?” tanyaku begitu duduk di kursi meja
makan.
Senyap.
Ayah menatap bunda, kemudian memandangku. Lalu ia meletakkan sendoknya.
“Begini Salwa…” katanya sambil melipat tangannya di dada.
Dua kata yang selalu diucapkan ayah setiap kali ia memulai pembicaraan
penting. Aku harus fokus mendengarkan saat ayah sudah mengucapkan
dua kata itu.
“Kamu ingat eyang putri[1] kan?” tanya ayah.
Aku mengangguk.
Kata bunda, saat aku bayi, eyang yang lebih sering mengasuhku karena bunda
harus bekerja. Eyang meninggal saat aku berusia dua tahun.
“Eyangmu itu dosen. Rumah ini adalah rumah dinas yang disediakan universitas untuk eyang. Jadi sebenarnya rumah ini memang bukan milik eyang, juga bukan milik kita. Tapi milik universitas. Setelah eyang tidak ada, memang seharusnya rumah ini dikembalikan ke universitas. Itu sebabnya kita memang harus pindah… Begitu juga semua tetangga. Sebagian besar penghuni asli perumahan ini kan memang sudah pensiun atau meninggal dunia,” ayah menjelaskan.
Aku terdiam. Berusaha mencerna.
“Kau paham Salwa?” tanya ayah lagi. Aku mengangguk, padahal tak sepenuhnya  
mengerti. Yang jelas sekarang aku tahu bahwa kepindahan kami bukan dalam rangka
bersenang-senang.


Sejak berita penggusuran itu ada di koran, banyak orang tak kukenal silih berganti datang ke rumah. Ada yang berpakaian seragam, ada yang tidak. Bukan hanya ke rumahku. Tapi ke hampir semua rumah di kompleks ini. Mereka datang membawa kertas-kertas berisi tabel-tabel penuh angka. Tabel yang jauh lebih rumit dari tabel perkalianku. Semua bertuliskan “kredit” atau “pinjaman.”
Begitu dipersilakan masuk, mereka akan langsung bersemangat bicara panjang lebar sambil mengeluarkan semakin banyak kertas. Biasanya bunda hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan mereka. Setelah orang-orang itu selesai bicara dan pulang, kertas-kertas itu bunda taruh saja di bawah tumpukan koran. Tak pernah dilihat-lihat lagi.
Selain orang-orang dengan tabel angka, banyak peristiwa aneh lain terjadi. Seminggu terakhir dagangan Pak Untung, penjual tempe keliling, selalu tandas. Biasanya hanya aku dan tiga orang lain yang membeli tempe di ujung jalan ini, tempat Pak Untung biasa mangkal. Tapi akhir-akhir ini, saat disuruh bunda membeli tempe, aku harus mengantri untuk mendapatkan bagianku. Padahal sebelumnya di perumahan ini bisa dibilang hanya keluarga kamilah yang jadi pelanggan setia Pak Untung. Biar hemat, kata bunda.
Jika memang orang bisa berhemat dengan membeli tempe, entah mengapa sepertinya semua penghuni perumahan ini tiba-tiba ikut berlomba-lomba berhemat. Selain beralih ke tempe, beberapa tetangga kulihat bahkan menghemat pemakaian listrik dengan tidak menyalakan lampu ruang tamu di malam hari. Bu Ikhsan, penghuni rumah nomor 27A  yang biasa naik mobil warna merah muda yang kusuka itu ke kantornya, tadi pagi tampak berdiri di depan kompleks, menunggu kendaraan umum. Kak Nandria, tetangga sebelah rumah, berhenti berlangganan TV kabel. Aku jadi tak bisa numpang nonton Nickolodeon lagi di rumahnya.
Lilia juga tak pernah membicarakan pesta ulangtahunnya lagi saat kami bertemu di mobil antarjemput. Sebenarnya ia jauh lebih pendiam dari biasanya. Aku jadi enggan bertanya ke mana ia akan pindah rumah. Tante Nay juga tak pernah bertandang lagi ke rumah. Terakhir ia datang seminggu lalu, Tante Nay bicara pada bunda dengan berbisik-bisik. Sebelum Tante Nay pulang, kulihat bunda masuk ke kamar dan keluar sambil membawa sebuah amplop, lalu memberikan amplop itu kepada Tante Nay.


“Saya setiap hari tidak bisa tidur, Pak. Bingung! Kalau tabungan saya yang tidak seberapa itu saya belikan rumah, lalu saya meninggal, siapa yang membiayai anak-anak saya sekolah?! Tapi kalau sekarang saya berhutang untuk beli rumah, nanti kalau sewaktu-waktu saya meninggal dan cicilannya masih banyak, masa’ saya akan mewariskan hutang ke anak-anak saya?!”
Aku mempererat genggaman tanganku pada tangan ayah. Ketakutan. Aku tahu Om Dani, ayah Lilia, yang saat itu bicara pada ayah, tidak sedang marah-marah. Tapi tetap saja menyeramkan. Aku sering bertemu Om Dani saat main ke rumah Lilia, tapi belum pernah kulihat ia tampak begitu sedih. Kami berpapasan di jalan saat aku dan ayah jalan-jalan di sekitar kompleks di suatu Minggu pagi.
Ayah bicara panjang sambil menepuk-nepuk pundak Om Dani. Tiba-tiba aku memikirkan Lilia. Sekarang aku benar-benar yakin ulangtahunnya Oktober nanti tak akan dirayakan. Padahal aku tahu dia sangat menantikan pesta itu.
Sambil menunggu ayah selesai bicara, aku memilih bermain dengan Miu, kucing hitam milik Kak Nandria yang dari tadi menggosok-gosokkan badannya ke kakiku. Tak biasanya ia dibiarkan bebas berkeliaran.
Aku siap mengejar Miu yang lari mengejar kucing lain saat ayah meraih tanganku. “Yuk!” katanya.
Kami melanjutkan jalan-jalan pagi kami yang terhenti.
Ayah diam saja selama beberapa waktu.
Aku jadi ikut diam.
Sebuah mobil boks hitam melintas.
Akhir-akhir ini banyak mobil serupa yang lewat dan berhenti di rumah salah satu warga. Mobil-mobil boks itu kemudian ada yang pergi membawa beberapa perabotan. Ada juga yang membawa kertas-kertas koran bekas. Kata ayah beberapa tetangga memang sudah mulai memindahkan barang-barangnya dari rumah.
Saat kutanya mengapa kami tak melakukan hal yang sama, ayah mengucapkan sebuah kalimat yang tak kumengerti. Yang jelas ada kata “nanti dulu,” dan “solidaritas.” Kata ayah, tetangga yang sudah siap pindah jumlahnya hanya sebagian kecil dibandingkan yang memilih bertahan. Sebagian besar tak punya cukup uang untuk pindah rumah, membeli, atau bahkan sekedar menyewa tempat tinggal lain.
 “Apapun yang terjadi…kamu harus terus sekolah, Salwa,” kata ayah tiba-tiba.
“Kamu tidak usah khawatir. Kalau terjadi apa-apa pada ibu dan ayah…,”
ia berhenti lama saat mengucapkan kata-kata itu.
Mengapa ayah bilang begitu?
Aku jadi sedih dan takut. Tahun lalu ayah Yasmin, teman sebangkuku meninggal
karena sakit. Aku tak bisa membayangkan rasanya jadi Yasmin.
Sejak itu hampir setiap pagi aku berdoa agar Tuhan selalu menjaga kesehatan ayah
bundaku.
“…AJB Bumiputera akan melanjutkan membayar biaya sekolahmu,” ayah
melanjutkan.
Aku mendongak menatap ayah.
Ayah balik memandangku. Lalu mengelus kepalaku, dan tersenyum.
Aku ingin mengucapkan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar sedikitpun.
Kami kembali berjalan dalam diam.
Aku teringat Yasmin dan mendoakannya.

“Ayah…”
“Ya?”
“Ngomong-ngomong…Bumiputera itu siapa?” tanyaku saat memasuki
halaman rumah.
“AJB Bumiputera 1912… Itu nama asuransi,” jawab ayah sambil mengetukkan
buku jarinya ke kepalaku.
Aku mengerutkan kening.
Kata-kata baru buatku.
“Ya…pokoknya mereka membantu ayah menyiapkan semua keperluan
keluarga kita. Termasuk biaya pendidikan sampai kamu sarjana. Tidak usah
khawatir,” kata ayah. Kami duduk-duduk di teras sambil melepas sepatu. 
“Ayah juga nabung untuk beli rumah ya?” Aku bersandar di pundak ayah.
“Iya… Alhamdulillah cukup lah, Nak.” Ayah memelukku.
“Ayah pasti menabung banyak sekali… Sampai-sampai kita nggak punya
mobil…” ujarku.
Ayah tertawa.
Aku tak tahu apa yang lucu.
“Iya, maaf ya. Ayah belum bisa antar jemput kamu sekolah naik mobil.”
Aku balik memeluk ayah tanpa mengucapkan apapun lagi.
Apa ya yang harus dimaafkan? Sepertinya tak ada.
            Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kuharap suatu saat ayah akan mengenalkanku pada Bumiputera, meski aku belum
tahu betul apakah ia adalah seorang bapak, atau saudara, atau apa.


Seminggu kemudian Tante Nay, Om Dani, dan Lilia datang ke rumah. Mereka berpamitan untuk meninggalkan perumahan lebih dulu. Bahkan meninggalkan kota kami. Keluarga Lilia akan pindah ke Salatiga, tinggal bersama salah seorang saudara.
Dulu aku memang ingin ada setidaknya satu adegan dari film-film yang sering kutonton terjadi juga di hidupku.
Tapi bukan bagian sedihnya.
Apalagi perpisahan.
Aku benci perpisahan.  
Saat berpamitan, Lilia memberiku sebuah kotak pensil cantik berwarna ungu.
Aku bingung memikirkan kata apa yang harus kuucapkan di saat seperti ini.
“Jangan khawatir…”
Tiba-tiba aku mengucapkan dua kata yang tak pernah kusangka akan kuucapkan pada Lilia. Bukan begini dialog yang biasa ada di film. Tapi rasanya hanya dua kata itu yang ternyata ingin kuucapkan selama berminggu-minggu terakhir. Dua kata yang selama ini hanya kuucapkan dalam doa-doaku untuk semua orang yang kuingat di perumahan ini.

Pada Ramadhan yang ketujuh sejak kepindahan kami, aku memasukkan kotak pensil yang sudah berkarat dari Lilia ke dalam kardus.
***

[1] Nenek dalam bahasa Jawa

Cerpen ini memenangkan Lomba Cerpen AJB Bumiputera 2009 dan menjadi bagian dari Antologi Cerpen "Kain Batik Ibu."

Rumah Hijau

Rumah Fin sudah berubah. Tak seperti dalam ingatan masa kecilku. Tanaman di halaman rumahnya tak sebanyak dulu. Hijau cat dindingnya tak secerah delapan tahun lalu. Kursi putih panjang di teras sudah tak ada. Dulu aku dan Fin sering duduk-duduk di situ sambil mengayun-ayunkan kaki yang belum sampai menjejak lantai saat duduk. Menunggu penjual es krim lewat. 
Sepertinya sekarang rumah ini lebih banyak penghuninya. Kamar di sebelah ruang sholat yang dulu selalu gelap tak pernah dipasangi bohlam, sekarang tampak terang. Ada sebuah sepeda motor pria diparkir di samping sepeda motor Fin. Entah milik siapa. Mungkin ibunya membuka kos-kosan. Atau ada saudara yang sedang datang bermalam. Aku tahu benar dulu hanya ada tiga orang yang tinggal di rumah ini : Fin, ibunya, dan Yos, adik laki-lakinya.
“Ayahku jaga hutan di Kalimantan,” katanya ketika kutanya tentang ayahnya. “Wah keren!” teriakku saat itu. “Ayahmu sering ketemu orang utan dong,” ujarku antusias. Sejak kecil segala jenis hewan selalu menarik perhatianku. Tapi wajah Fin berubah muram dan hanya mengedikkan bahu. Kupikir itu hanya karena ia tak terlalu suka binatang.
Kadang aku berharap kalau-kalau ayah Fin pulang saat aku ada di situ. Aku ingin dengar ceritanya tentang hutan Kalimantan. Selama ini bentuk hutan hanya bisa kubayangkan saja dari foto-foto di ensiklopedia. Lalu tentu saja aku ingin minta foto orang utan.
Tetapi pertemuan itu tak pernah terjadi. Kadang aku bertanya-tanya tidakkah Fin rindu pada ayahnya. Aku tak berani bertanya.
Aku meraba sofa kuning tempatku sekarang duduk. Masih sofa yang sama. Hanya permukaannya sudah lebih melesak ke dalam. Coretan pulpen hitam yang pernah kubuat dulu bahkan masih nampak di ujung kanan sandaran.
Saat SD, hampir setiap hari selepas pulang sekolah aku bertandang ke rumah itu. Bermain kartu, lalu monopoli. Kemudian jika ibu Fin menyuruh, kami akan tidur siang atau mengerjakan PR. Jika tidak, aku, Fin, dan Yos, bermain komputer hingga setengah lima sore.
Pukul lima, aku sudah duduk lagi di sofa kuning ini, menunggu bel di gerbang depan berbunyi. Ayahku datang menjemput setelah pulang dari kantornya. Lalu kami menjemput ibu. Tak ada orang di rumah saat aku pulang sekolah. Itu sebabnya aku harus tinggal di rumah Fin hingga menjelang maghrib.
Jadi saat itu rasanya aku punya dua rumah. Di dapur Fin, aku bahkan punya gelas dan piring khusus untukku sendiri. Ibunya selalu menempatkan nasi dan sayurku di piring yang sama, juga es krim atau puding buatannya. 

Saat liburan akan masuk SMP, aku sekeluarga pindah ke Surabaya. Tapi aku tak frustasi atau sedih berlebihan seperti cerita perpisahan di film-film. Ada internet. Sepanjang tahun-tahun kami tak bertemu, aku dan Fin masih sering janjian ngobrol di messenger dan SMS saat kami sama-sama sudah boleh punya telepon genggam.
Aku bisa melihat foto-foto Fin mengenakan baju basket, memenangkan berbagai perlombaan bersama timnya. Sesekali ia juga mengomentari foto-fotoku saat bersama teman-teman pecinta hewan langka. Aku tak mengerti mengapa sejak masuk SMP dia begitu tergila-gila basket. Seperti juga dia tak habis pikir mengapa ada orang sepertiku yang menghabiskan waktu memikirkan bagaimana harimau bisa tetap hidup.
“Kau tinggal di kos?” tanyaku suatu siang, menghubungi telepon genggamnya. Saat kutelepon ke rumah, ibunya bilang Fin sedang tidak tinggal di rumah.
“Iya,” jawabnya.
Aku terbahak. “Kenapa? Masa’ kamu ngekos di kota yang sama dengan rumahmu? Itu kan konyol.”
Fin ikut tertawa. “Ya…bosen aja di rumah. Ingin tahu rasanya ngekos,” Fin berkata.
“Ha? Aneh kamu. Jelas enak di rumah sendiri lah!” ujarku.
“Belum tentu…” ia berucap lirih. Lalu segera mengalihkan topik  pembicaraan, menanyakan bagaimana perjalananku tempo hari mengunjungi kawanan tapir.
***
“Wah, badanmu sekarang tinggi sekali! Dulu kan aku yang lebih tinggi,” kataku sambil tertawa saat Fin berjalan keluar dari kamarnya ke arahku. Dari tempatku duduk, ia memang tampak sangat jangkung. Fin tersenyum. “Makanya, olahraga dong, olahraga, jangan ngurusin badak terus,” ujar Fin sambil menyilangkan kaki panjangnya di atas sofa.
Aku melotot. Fin mengangkat tangannya sambil menyeringai, menahanku yang sudah siap berkomentar panjang lebar.
“Jadi kau bekerja setelah pulang sekolah?” tanyaku setelah menenggak habis sirup buatan Fin. Kurang manis.
“Iya. Kasir. Di swalayan,” jawabnya.
Aku memandanginya. Hanya perasaanku saja, ataukah memang raut mukanya sekarang tampak lebih kaku?
“Sebenarnya aku tak cocok dengan pekerjaan seperti itu…” katanya sambil mengikat rambutnya ke atas. Aku mengangguk-angguk cepat. Duduk berjam-jam, memegang uang, menekan tombol angka, jelas berlawanan dengan karakter dan kegemarannya berlari sana sini. “Terus…kenapa tetap kerja di situ?” tanyaku.
“Kaaak! Bukain dong!” sesosok mungil berlari keluar dari dapur, memberi jeda pada percakapan kami. Tangan kecilnya menyodorkan sebuah botol kecil selai nanas kepada Fin.
“Ah kamu. Begini aja nggak bisa.”
Fin mengacak-acak rambut si kecil itu sambil meraih botol selai itu.
“Ini,” Fin menaruh botol yang sudah terbuka tutupnya itu ke tangan si mungil. “Eh! Bilang apa?” Fin menangkap tangan itu lagi. “Makasih kaaak!” ucap si kecil, lalu berlari lagi ke dapur. 
“Itu siapa, Fin?” tanyaku ingin tahu.
“Adik tiriku,” jawabnya singkat. Datar. Tanpa ekspresi.
Senyap.
Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
Aku menatapnya. “Mm…maksudnya?”
“Anak ayahku,” kata Fin tanpa menoleh padaku.
Aku terkesiap.            
Suara adzan maghrib terdengar dari masjid di ujung jalan.
Aku berusaha mencerna dua kata yang baru saja kudengar.
“Maaf…kau tak pernah cerita...” akhirnya kataku pelan.
Fin tersenyum. Tapi tetap tak menatapku.
“Maghrib, Van,” ujarnya sambil beranjak dari sofa. 

***

Dulu Fin tak pernah mau menempatkan boneka tampan Ken miliknya bersanding di sebelah  Barbie. “Tapi di mana-mana Barbie kan selalu berdua sama Ken,” kataku saat itu. Fin menggeleng kencang. “Barbie yang ini bisa sendiri,” katanya bersikeras sambil kembali memasukkan si coklat Ken ke kotaknya. Aku cemberut.

“Ayahku tak pernah melihatku mengenakan seragam sekolah. SD…SMP…SMA. Ia hanya pulang setahun sekali saat lebaran. Itu pun tak pernah lebih dari tiga hari,” kata Fin. Lagi-lagi nyaris tanpa emosi.  Aku memperhatikannya memasukkan mukena ke dalam lipatan sajadah. Kami baru selesai sholat mahgrib.
Buru-buru kututup pintu kamar Fin. Khawatir kalau-kalau ibunya melintas dan mendengar percakapan kami.
Meski kami sahabat, tapi seumur hidupku aku belum pernah terlibat percakapan serius dengan Fin. Masa-masa saat kami sama-sama berseragam putih merah adalah masa seorang manusia paling banyak tertawa. Hal paling serius yang pernah kami bicarakan adalah apakah Billy, tetangga seberang rumahnya itu juga naksir aku atau tidak.
Setelah kepindahanku, kami hanya bicara lewat bantuan teknologi. Teknologi yang memungkinkan setiap orang menyembunyikan hidupnya yang sebenar-benarnya.
Masih bersimpuh, ia menceritakan sesuatu yang sedikitpun tak pernah terpikir olehku. “Aku tak suka hutan…dan semua isinya. Saat kecil aku sering bertanya-tanya apa yang membuat mereka lebih penting dariku, ibu, dan Yos… Begitu pentingnya hingga ayah menghabiskan hampir seluruh hidupnya menjaga mereka. Dari tiga ratus enam puluh lima hari, tak sampai lima hari dalam setahun aku melihat ayahku di sini.”
Lidahku kelu. Kisah penjaga hutan yang dalam bayangan masa kecilku begitu hebat dan heroik, kini tenggelam, amblas tak berbekas.
Terdengar suara pintu depan dibuka.
“Assalamualaikum.” Suara seorang remaja laki-laki.
Itu pasti Yos, pikirku.
“Ayahku pensiun dini, pulang ke sini,” kata Fin.
Kali ini menatapku.
“Maksudmu ayahmu sudah tinggal di sini sekarang?” aku terbelalak. Fin mengangguk.
Aku memandang pintu kamar Fin. Khawatir jika tiba-tiba pintu itu terbuka dan ayahnya tahu bahwa kami sedang membicarakannya.
Fin melanjutkan cerita tanpa sedikitpun mengecilkan volume suaranya. Agaknya ia tak peduli kalaupun ayahnya mendengar suaranya.
“Awalnya ibuku tak tahu kalau ayahku menikah lagi di Kalimantan… Tak seorang keluarga pun tahu…”
Aku menggigit bibirku.
“Tak ada yang tahu…hingga suatu malam ada seorang perempuan datang. Membawa dua anak kecil. Saat melihat ayahku, kedua anak itu memanggil ayahku dengan sebutan sama…’ayah…’”
Aku mengernyitkan dahi. “Anak kecil tadi ya?” tanyaku. “Iya…Keisha. Lalu kakaknya Rifqi, yang baru pulang tadi.”
Aku menghela napas panjang. Kupikir kisah semacam itu hanya ada di sinetron. Aku selalu tertawa-tawa jika ada adegan semacam itu. Ternyata ini benar-benar terjadi di dunia nyata…pada sahabatku.
“Kak Fin!” suara Keisha mengetuk kamar Fin.
“Ya, Keisha. Masuk…”
“Buat kakak…” katanya. Kali ini tangan mungilnya menyodorkan sebuah bintang yang dibuat dari kertas lipat.
“Wah…terimakasih. Kamu pintar sekali…”
Aku memperhatikan keduanya bercakap-cakap.
Ini perasaan yang tak bisa kujelaskan.

“Ke mana ibunya?” tanyaku setelah Keisha keluar dan menutup pintu kamar.  Fin tersenyum. “Itu juga pertanyaanku.”
Aku menaikkan alis. “Ibunya pergi begitu saja?”
“Iya…sambil membawa seluruh uang pensiun ayahku.”
Aku menatap Fin lekat-lekat. Bagaimana ia bisa melewati semua ini? Terlebih lagi ibunya…
“Jadi… ibumu merawat dua anak ayahmu di rumah ini?”
Fin mengangguk.
Tanganku dingin.
“Ingat aku dulu pernah tinggal di kos?”
Ganti aku yang mengangguk.
“Aku marah pada ibuku. Marah karena ia tak mau menceraikan ayahku. Semua orang pasti setuju, ibuku punya begitu banyak alasan untuk meninggalkan ayahku. Tapi ia memilih menerima ayahku kembali…”
Kali ini kata-kata Fin penuh emosi.
“Ini sebab kenapa kau sekolah sambil bekerja?” tanyaku.
Ia mengangguk lagi. “Ibuku tidak bekerja kantoran. Kupikir tadinya ia bertahan karena bergantung pada nafkah ayahku. Tapi setelah tahu istri barunya membawa pergi semuanya...aku pulang ke rumah, bertekad membantu keuangan keluarga. Meski hingga sekarang tak mengerti mengapa ibu mempertahankan ayahku.”
Aku menatap langit-langit kamar Fin sambil menghela napas panjang. Rasanya seakan baru dililit sebuah tali besar yang diikat kencang ke tubuhku.
“Fin, ini pisang goreng buat Vania,” ibu Fin memanggilnya dari dapur.
“Aku saja yang ke dapur,” kataku sambil menahan Fin yang sudah akan berdiri.
“Lho, Fin ini gimana. Kok kamu yang ke dapur,” Ibu Fin mengangsurkan piring berisi pisang goreng yang masih mengepul ke tanganku.
“Nggak apa, Tante…” suaraku bergetar. Kuharap beliau tak menyadari. Sambil menempatkan pisang goreng satu persatu ke atas piring yang lebih kecil, aku memperhatikan ibu Fin.
Rasanya ingin memeluknya.
“Piringmu masih ada, Fin,” ujarnya tiba-tiba.
Menunjuk ke rak piring. Aku berusaha tersenyum. “Oya?”
Ia balas tersenyum. “Sekarang dipakai Keisha…”
Mataku panas.
Aku tersenyum sekilas dan segera pamit keluar dapur sebelum air mataku mulai menetes. Langkahku tergopoh-gopoh. Hampir saja aku menabrak sesosok pria saat sedang berjalan kembali ke kamar Fin. “Eh…Om,” kataku. Ayah Fin…
Bertahun-tahun aku menunggu momen ini. Saat bertemu dan mendengarkan kisah penjaga hutan Kalimantan yang jagoan. Sekarang aku sudah tak ingin mendengar apapun.

***
Cerpen ini ditulis pada 2011 dan memenangkan lomba cerpen lokal Malang. 
Saya lupa judul lombanya apa :)


MANIS

Benda-benda kecil berwarna-warni itu nampak lagi. Kali ini mereka datang dalam pasukan besar. Menari-nari bergaya memamerkan diri dalam toples-toples kaca gembul. Sementara yang berbadan lebih besar berbaris berjajar, berderap di atas nampan.
Loli memandangi tangan-tangan yang terulur meraih satu dua isi toples. Mendengar suara lidah-lidah mengecap rasa manis dari benda-benda kecil yang melumer dan mengalir ke dalam rongga mulut mereka.
Loli menelan air liur. Memaksa bibirnya sendiri membuat segaris senyum saat sebuah toples tinggi yang terbuka menganga disodorkan tepat di depannya. Ia mencuri pandang melongok isinya. Puluhan stik wafer panjang berwarna salur hijau krem berisi lelehan cokelat seakan berlompatan ingin keluar dari mulut toples. Loli bergidik. Di  matanya stik-stik wafer itu lebih mirip bambu runcing ketimbang jajanan renyah.
Gadis itu meringis sambil menatap perempuan berkacamata yang menyodorkan toples itu di hadapannya. Berharap perempuan itu mengerti bahwa ia tak bisa mengunyah bambu-bambu runcing itu.
Loli kembali menunduk, buru-buru menggerakkan kedua jempol tangannya lebih cepat, menekan tombol-tombol di telepon genggamnya. Pura-pura sibuk mengetik pesan singkat. Padahal yang tampak di layar hanya rangkaian huruf-huruf yang saling bertabrakan, tak membentuk kata apapun.
Perempuan penyodor toples melangkah pergi sambil melengos. Mungkin mengira tamu yang satu itu sedang diet ketat, atau kelewat sombong sehingga menolak makan jajanan gratisan yang mungkin baginya kurang higienis.
Loli bukannya tak suka kue,  coklat, dan permen. Hanya saja, makanan-makanan kecil ini punya sesuatu yang baginya mengerikan. Mereka semua…manis.  
Sudah lama Loli diharuskan untuk berkacak pinggang pada manis, menghardiknya agar menjauh, menaruh lakban pada mulutnya agar si manis yang menari-nari mengetuk bibirnya itu tak bisa masuk.
***

“Ini apa, Non?” Gendhis, pembantu rumah tangga baru itu bertanya pada Loli. Tangannya yang ceking mengelap permukaan meja kaca di depan televisi, lalu mengangkat dan mendekatkan sebuah benda ke depan mukanya.
Gendhis hanya dua tahun lebih tua dari Loli. Sudah lebih dari tiga kali Loli mengingatkan agar pembantunya itu tak memanggilnya dengan sebutan “non.” Tapi Gendhis tak juga mengubah caranya memanggil Loli.
Loli mendongak, menengok benda yang sedang diamati Gendhis. Sebuah toples bulat yang masih bersegel berisi bola-bola coklat berbungkus kertas aluminium warna emas.
“Oh…coklat,” ujar Loli singkat. Setoples coklat itu adalah satu dari tumpukan isi parcel lebaran yang dikirim teman-teman kantor ayah dan bunda dua tiga minggu lalu.
Loli ingat betul, dulu sempat ada masa saat makanan mungil warna warni itu begitu berlimpah di setiap sudut rumahnya. Di atas meja, di kulkas, di lemari, bahkan di meja belajar kamarnya sendiri. Ia tak perlu mencari atau merengek-rengek meminta. Benda-benda mungil warna-warni berasa manis itu tak pernah berhenti disodorkan terus menerus di hadapannya. Loli meraup semuanya sendiri, setiap hari, sambil nonton televisi, atau main game di komputer.  
Itu dulu. Sekarang mungkin ada selusin parcel di rumah. Tapi bunda telah menempatkan semuanya di lemari biru besar dekat dapur. Tentu saja Loli tak berminat membuka satu pun di antaranya. Ayah dan bunda pasti juga tidak. Mereka sudah lama lebih dulu harus bermusuhan dengan manis.
Gendhis menaikkan alisnya, menatap Loli. Berharap mendapat penjelasan lebih. Tapi majikannya itu sudah menunduk lagi, berkutat kembali dengan ponselnya. Kali ini sambil menaikkan kedua kakinya, meringkuk di atas sofa.
Satu menit berlalu. Gendhis masih berlutut di sisi meja, menatap isi toples. Loli melirik memperhatikannya tanpa mendongak. Beberapa saat kemudian Gendhis pergi juga, berjalan lambat-lambat menuju dapur. Tatapan matanya kosong, seperti sedang berpikir sesuatu.
Loli memandangi tubuh kurus Gendhis berjalan menjauh. Mungkin pembantunya itu mengira dirinya sedang terobsesi punya tubuh seperti Gwyneth Paltrow sehingga coklat pun tak disentuh, pikir Loli. Padahal sama sekali tidak. Ia jarang menceritakan kisah permusuhannya dengan manis kepada orang lain, kecuali pada Zania dan Mala, dua sahabatnya.
Semua berawal dari sebuah kunjungan ke dokter setelah Loli sering merasa cepat lelah, mual, sering haus, dan berat badan turun drastis. Saat itu ia masih kelas satu SD. Ingatannya masih samar. Tapi ia tak pernah lupa wajah dan mata ibunya yang tiba-tiba memerah menahan tangis saat dokter mengucapkan serangkaian kalimat penuh kata-kata yang tak ia mengerti. Hanya beberapa kata yang bisa ia tangkap, manis, makanan cepat saji, kurang olahraga, dan sebuah kata yang beberapa tahun kemudian baru bisa ia mengerti dan ucapkan dengan benar : diabetes.

***
“Gula yang biasa ya, Loli,” ujar bunda Loli seraya membuka dompet dan memberikan selembar uang limapuluh ribu ke tangan Loli. Ia  menekankan kata biasa sambil menatap mata Loli.
Loli mengangguk-angguk. Kali ini ia bertugas menemani Gendhis ke supermarket di seberang gerbang depan kompleks perumahan. Pembantunya itu belum tahu apa merk gula yang biasa digunakan di rumah itu.

“Ini,” telunjuk Loli akhirnya berhenti pada sebuah kemasan gula setelah beberapa saat berputar di udara, menjelajahi deretan gula berbagai merk di supermarket.
“Oh yang ini…” Gendhis mengangguk-angguk, perlahan mengambil kemasan kuning yang ditunjuk Loli. Sedetik kemudian ia terbelalak setelah iseng membaca harga yang tertera di rak. Ia terdiam. Lalu matanya menyusuri harga-harga kemasan gula lain. Membandingkan. Dahinya berkerut. Lalu gadis itu menatap Loli, masih dengan dahi berkerut.
“Kenapa nggak pakai merk gula yang lebih murah? Sama-sama gula kan? Yang ini paling mahal di antara yang lain,” Gendhis protes. Seakan-akan ia lah yang harus membayar sekantong gula itu. Loli terdiam. Bagaimana ia harus menjelaskan ini. Gula yang digunakan keluarganya adalah gula khusus untuk penderita diabetes. Ia sendiri tak pernah memperhatikan harganya.  
Loli hanya mengedikkan bahu. “Bunda sih biasa pakai ini,” katanya singkat. Membuat Gendhis semakin tampak gusar. Ia tak habis pikir kenapa keluarga Loli menghabiskan uang begitu banyak hanya untuk sekantong gula. Sementara Loli juga tak mengerti mengapa itu jadi hal besar bagi Gendhis.
***
Keesokan paginya, ternyata gula masih menjadi sesuatu yang tak terjelaskan di antara mereka. “Gulanya masih banyak tersisa di dasar cangkir,” ujar Gendhis setelah Loli selesai meminum susu vanila. Tangan Gendhis mengangkat cangkir putih gading bekas Loli minum dan melongok ke dalamnya, lalu melirik Loli dengan tatapan dingin, membuat Loli merasa seakan-akan baru saja membuat kesalahan besar seperti mencuri.
Loli diam saja. Ia menenteng tas ranselnya dan berjalan dengan langkah lebar menuju rak sepatu. Seharusnya sepuluh menit lalu ia sudah berangkat ke sekolah. Tak cukup waktu untuk mengaduk semua gula yang tadi ia tuang sendiri ke dalam cangkirnya.
Lagipula itu kan bukan hal besar, pikir Loli sambil menalikan tali sepatunya. Ia mulai sedikit kesal.
***
Gendhis merekomendasikan bapaknya yang adalah seorang tukang bangunan saat ibu Loli mengeluh butuh seseorang untuk memperbaiki langit-langit teras yang bocor. Loli yang diminta bundanya menunjukkan jalan ke gudang belakang berkesimpulan bahwa Pak Rusmin, bapak Gendhis, ternyata punya kesamaan  dengan anaknya. Ia suka memperhatikan apapun di sekelilingnya, terutama yang baru pertama kali ia lihat. Langkahnya terhenti begitu sampai di pintu gudang tempat perkakas pertukangan disimpan.
Pria beruban lebat itu mengamati isi rak-rak di gudang, tak segera mengambil peralatan. Satu persatu ia membaca label-label yang dibuat ibu Loli pada kardus-kardus masing-masing kardus, lalu berhenti pada sebuah kardus bertuliskan “tas bekas.”  Ia melongok ke dalamnya.
Tangannya meraih isi kardus, mengeluarkan sebuah tas ransel berwarna kuning pucat, dan membersihkan debu-debu yang menempel pada sisi atas tas dengan tangan kirinya. “Ini sudah nggak dipakai?” tanya Pak Rusmin pada Loli.
Loli menggeleng. Ia sudah tak ingat itu tas siapa, atau kapan pernah dipakai. Biasanya barang-barang yang sudah dimasukkan gudang tak akan dikeluarkan lagi sampai ibunya merasa gudang sudah terlalu penuh. Dan itu hanya terjadi beberapa tahun sekali.
“Tas ini saya ambil, boleh?” Pak Rusmin menatap Loli penuh harap. Loli tercenung. Di satu sisi ia tak tega melihat bapak tua ini memungut tas jelek itu, tapi di sisi lain jelas tak ada ruginya ia membiarkan tas bekas tak bertuan itu menjadi millik Pak Rusmin. Loli mengangguk, sampai tiga kali.
“Terimakasih ya!” Pak Rusmin tersenyum lebar seakan baru saja menemukan perhiasan emas atau semacamnya. Gigi putihnya ternyata masih berderet rapi dan lengkap, kontras dengan warna kulitnya yang gelap.
Loli melihat Pak Rusmin benar-benar menggunakan tas kuning itu dengan bangga. Saat melintasi teras dengan menuntun sepedanya, Loli melihat tas itu sudah terisi dan bertengger di atas kursi rotan di sisi teras. Rupanya Pak Rusmin memasukkan tas lama beserta isinya ke dalam tas kuning itu.
“Mbak, ban belakangnya kempes,” ujar Pak Rusmin, menunjuk ban sepeda Loli.
“Ah…iya! Pantas berat,” Loli mendesah sambil berjongkok menatap ban sepedanya.
Tak disangka Pak Rusmin mengambil pompa yang sempat sekilas dilihatnya di pojok garasi, lalu dengan sigap memompa ban belakang sepeda Loli. Loli berterimakasih, lalu berlari ke dalam rumah menuju dapur sambil membawa teko es teh untuk Pak Rusmin yang dilihatnya sudah kosong. 
Pak Rusmin menenggak es tehnya perlahan-lahan setelah Loli menempatkan teko yang sudah terisi penuh di meja teras. Ban sepeda Loli sudah tak gembos lagi.
“Saya jarang bisa merasakan manis,” kata Pak Rusmin sambil menuang teh ke dalam gelas kacanya.
Perkataan itu mengejutkan Loli. Ia menatap Pak Rusmin, mencoba mencerna maksud perkataan bapak tua itu. Pak Rusmin kembali meminum tehnya perlahan-lahan. Baru kali ini Loli melihat ada orang terlihat sebahagia itu hanya dengan meminum es teh manis.
“Di rumah, istri saya tidak pernah pakai gula. Semua minuman dan makanan kami selalu tawar,” katanya lagi setelah tegukan kedua, “Biar hemat,” ia menyambung.
Loli tercekat. Tiba-tiba ia merasa kerongkongannya kering. Sekarang ia tahu mengapa Gendhis berlama-lama memandangi toples coklat, mempertanyakan merk dan harga gula, serta menatapnya tajam saat ia menyisakan gula di dasar cangkir.
Loli memperhatikan Pak Rusmin yang kembali menenggak tegukan terakhir es teh manisnya. Ia menyeka peluh yang mengucur dari dahinya, menetes di kerah baju. Lalu tersenyum puas. Seperti orang yang baru berbuka setelah berpuasa berhari-hari.
Loli baru tahu bahwa rasa manis bisa semewah itu.

***
Lucia Priandarini, 2009/2010
(diilhami dari kisah nyata)

Cerpen ini sempat saya kirim ke Majalah Gadis, tapi tentu saja tidak dimuat :).