Yang Hilang dan Yang Terbilang



Saya tertawa saat menyadari kebenaran meme ini. Memasuki usia dua belas, putra saya mulai irit bicara, juga membalas pesan singkat dengan sangat singkat. Padahal dulu sepulang sekolah ia menceritakan semua detail kegiatan dan tingkah laku teman-temannya sepanjang hari. Saya belajar menerima kehilangan ini dengan mengingat bahwa saya sendiri dulu bertingkah serupa pada ibu saya (setelah beliau berpulang, saya baru menyesalinya). 


Namun, rupanya saya perlu membiasakan diri mendapat respons serupa juga dari sebagian teman (yang umumnya lebih muda dari saya). Bahkan menerima bahwa pesan saya tidak kunjung berbalas, padahal saya lihat mereka baru mengunggah story di Instagram 😁.


Atasan saya juga mengeluhkan hal serupa. “It’s generational!” katanya, antara putus asa dan terpaksa menerima. Begitu ‘darurat’-nya komunikasi ini, sampai dalam kontrak kerja kami ada klausul khusus yang menyebut kewajiban karyawan untuk mengecek WhatsApp Group dan berkomunikasi rutin 👀 (dalam sebagian besar waktu kami bekerja dari berbagai tempat berbeda). Khusus klausul ini diketik dengan teks tebal 😆.


Segala yang Bertentangan 

Saya sendiri terus terang menerima, bisa memahami, bahkan kadang mengadopsi cara mereka berkomunikasi. Jarang/lambat membalas pesan singkat bisa juga berarti kita terlalu sibuk dengan interaksi langsung, kan. Saya menunda membalas beberapa percakapan selain pekerjaan dan baru membalas saat saya sudah punya energi, biasanya pada keesokan paginya. Hampir semua grup, kecuali grup pekerjaan dan keluarga, saya arsipkan (archived) demi mengurangi keriuhan. 


Sumber foto: Josh Faga


Seperti kata penulis E.O Wilson, we are drowning in information, while starving for wisdom. Kita, apalagi anak-anak muda, sudah kewalahan menerima banjir informasi setiap hari. Apalagi untuk meresponsnya. Kelelahan tapi terus mencari. Endless scrolling and  strolling. Oversharing tapi juga tidak ingin diusik dan ditanya. Merasa makin terasing saat semua orang bisa dengan mudah terhubung dengan ketikan jari. Makin ingin bersembunyi saat semua berlomba-lomba memamerkan pencapaian. 


Pada hari-hari yang tak tentu, kita merasakan paradoks itu. Kita susah payah memahami semua hal yang bertentangan dalam diri. Hingga terlalu lelah untuk memahami - dan setidaknya merespons -  orang lain. 


The Ones that Got Away 

Dalam kasus ekstrem, ada orang-orang (yang dulu) dekat yang bahkan kini berhenti berkomunikasi. Meski sedih, saya (berupaya) memahami sahabat-sahabat saya yang tidak pernah lagi membalas pesan singkat saya, padahal nomor mereka aktif. Mereka juga tidak lagi aktif di media sosial. Setidaknya ada dua sahabat saya yang demikian. Satu sedang studi di luar negeri, satu lagi tahun lalu baru mengundurkan diri dari pekerjaan yang katanya membuatnya kehilangan diri dan hidup. Kini ia yang menghilang tak ingin ditemukan (mudah-mudahan ia membaca blog ini). 


Saya hanya ingin tahu apakah mereka baik-baik saja. Dan saya akan tetap menganggap mereka sahabat meski mungkin buat mereka saya bukan lagi siapa-siapa. 


“Tidak apa-apa. Tidak ada perhatian yang sia-sia,” kata sahabat saya yang lain ketika saya menceritakan ini. Saya mengamini itu. Setidaknya mereka tahu bahwa ada yang memikirkan mereka meski mereka sedang tidak ingin merespons. 


The Ones Who Are (Somehow) Always Try to be Kind 

Di antara yang ada dan tiada saat dihubungi ini, masih ada saja orang-orang yang hampir selalu ada, bahkan untuk orang-orang yang tidak begitu dekat dengan mereka. Setidaknya ada dua orang yang saya hormati yang - baru saya sadari - menyentuh hati saya belakangan ini: mantan dosen pembimbing dan penyair favorit saya. 


Akhir April lalu, sahabat saya itu tidak membalas ucapan selamat ulang tahun saya. Pada hari yang sama saya menghubungi mantan dosen pembimbing saya. Sekadar mengirim foto kami yang tiba-tiba muncul di memori Google photos. Saat itu beliau membalas singkat-singkat, dengan jeda waktu panjang antarpesan, “Rini, maaf ya lagi ngajar.” Beliau menutup hari dengan permintaan maaf karena hari itu beliau kurang responsif membalas pesan saya.



Saya tertegun haru membaca pesan yang mungkin menurut beliau biasa saja itu. Sejak dulu, sebagai dosen komunikasi she walks the talk. Selalu benar-benar berusaha hadir untuk orang lain, dari hati.   


Sosok kedua yang menyentuh hati saya adalah penyair almarhum Joko Pinurbo. Dua puluh tujuh April lalu, saat beliau  berpulang, saya membuka kembali pertukaran pesan singkat kami. Pada sebagian besar waktu, beliau lebih dulu memulai percakapan. Beliau membalas status WhatsApp saya pamer buku baru dan mengucapkan selamat. Kala lain, beliau mengirim informasi acara literasi, info tulisan, buku terbarunya, atau bahkan minta pendapat.


Saat pertama kali beliau menyapa saya melalui direct message X (Twitter), pada 2016, saya sampai bertanya pada seorang teman penulis, apakah akun beliau dibajak 😂. Saya tidak percaya ada penulis besar yang menginisiasi percakapan-percakapan, seakan saya adalah seorang teman 😢. Saat itu saya baru menerbitkan novel pertama dan merasa didukung. 


Setelah beliau berpulang, satu per satu teman-teman penulis (dan pembaca) lain ternyata mengungkap kesaksian serupa. Saya tidak istimewa. Beliau yang istimewa karena bisa-bisanya meluangkan waktu untuk menjangkau dan merespons sekian banyak orang. Melihat ramainya jejak-jejak kebaikan beliau, ada yang beranggapan, beliau adalah penulis yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Saya sepakat. 


Pasti saya tidak bisa menyamai energi kebaikan Joko Pinurbo. Tapi mungkin saya bisa belajar untuk tidak menyerah atau bersembunyi di balik keletihan sosial (social fatigue). Saya perlu lebih mengingat bahwa satu pesan singkat pun (dan balasannya) bisa jadi sangat berharga. 


Atau, barangkali kita perlu mengurangi akses pada penyebab kelelahan: semua content yang tiap detik berebut minta perhatian, sehingga kita mampu lebih fokus merespons interaksi personal (?).


Comments