Saba Budaya Baduy: Hal-hal Indah yang Tak Tersimpan dalam Memori Ponsel
Walau tinggal di kabupaten yang sama dengan urang Kanekes, lama kami menunda berkunjung ke Baduy. Menunda karena letupan pertanyaan-pertanyaan di kepala: tidakkah mereka merasa terganggu dengan kehadiran begitu banyaknya tamu? Tidakkah kunjungan-kunjungan ini akan mengubah mereka ke arah yang tidak mereka inginkan?
Kemarin, kami berangkat juga ke
sana.
Sesampai di Terminal Ciboleger, sekelompok orang Baduy tampak duduk-duduk di depan warung tempat kami makan. Interaksi pertama kami dengan mereka berupa sebuah pertanyaan dari seorang warga Kanekes, “Tasnya ada yang mau dibawakan?” Saya berharap relasi kami tidak serta merta berupa penawaran jasa seperti ini. Tapi apa boleh buat. Namanya Kang Agus.
Ternyata tak hanya membawakan tas, Agus menjadi guide kami. Lebih dari guide sebenarnya. Lebih tepatnya teman dan penyelamat di medan-medan sulit. Empat jam perjalanan menuju Desa Cibeo, Baduy Dalam, dan esoknya, empat jam lagi keluar dari Baduy Dalam sungguh merupakan jalur trekking yang tidak mudah bagi kami yang tiap hari hanya duduk diam di depan laptop. Tanjakan dan turunan silih berganti. Batu-batu licin bercampur lumpur akibat guyuran hujan di hari kedua membuat kami sempat bergantian terjatuh.
![]() |
Bersama Agus dan si Kembar Jahra, Jahri |
Situasi jalan yang biasa dilalui urang Kanekes sambil membawa kayu bakar, peralatan, barang dagangan, dan kadang menggendong anak.
Perjalanan Meditasi
Dalam perjalanan trekking naik turun lembah di sepanjang Ciboleger-Cibeo, sering saya tidak berani melihat terlalu jauh ke depan. Karena yang tampak seringnya adalah kelokan, tanjakan, atau turunan curam yang membuat panik dan lelah.Dan barangkali seperti itulah hidup 👻. Tahu tujuan dan gambaran besarnya tapi cukup fokus pada apa yang benar-benar ada di hadapan kita. Tidak perlu berharap jalan yang mudah, tapi berusaha selalu siap, apapun yang akan dijumpai di depan. Tahu juga saatnya berhenti untuk bernapas. Breath is the anchor.
The Mighty
Urang Kanekes
Orang Kanekes, di mata saya, adalah manusia adidaya. Seperti manusia kuat masa lampau yang masih tersisa. Jam empat pagi mereka sudah berangkat mandi di sungai sebelum pergi ke ladang.
Pagi-pagi, kami sempat menyaksikan tiga perempuan dari tiga generasi sedang menumbuk padi di lesung: nenek, ibu, dan anak yang sepertinya masih 5-6 tahun. Jalan yang kami tempuh berjalan kaki selama 4-6 jam, mereka lalui hanya dalam waktu 1,5 jam.
Pakaian mereka hanya itu-itu saja, perpaduan putih, hitam, dan biru tua. Tanpa alas kaki. Memasuki rumah bambu mereka yang lapang dan kosong sungguh membuat tersadar, hidup memang seharusnya tidak perlu banyak hal. Orang-orang Kanekes adalah pelaku hidup minimalis yang sesungguhnya.Saba Budaya, Bukan Wisata
Surreal moment. Momen yang rasanya antara nyata dan
tidak. Memasuki wilayah Baduy Dalam, suara musik
bambu mengalun di udara. Bambu-bambu yang dipasang menjulang dengan
lubang-lubang pada ketinggian berbeda, tertiup angin dan mengeluarkan suara
dengan aneka nada. Dari jauh terdengar seperti musik gereja zaman kuno. Musik
alam yang mengiringi kami yang susah payah menapakkan kaki dan mengatur napas di
tanjakan curam menuju Cibeo.
Kamera dan ponsel tidak diperkenankan digunakan di Baduy Dalam. Dalam
ingatan dan hati, saya menyimpan baik-baik memori saat makan bersama tanpa
penerangan lampu listrik di rumah Ayah Naldi, salah satu warga Cibeo tempat
kami menginap. Juga saat membuka mata di pagi hari, mendapati alas tidur kami cuma
tikar anyaman, di dalam rumah bambu. Ruangan yang juga menjadi satu dengan
dapur tungku berbahan bakar kayu.
Seterusnya,
seluruh waktu yang kami lalui di Baduy Dalam serasa antara nyata dan tidak. Waktu-waktu
tanpa menyentuh ponsel dan membuang jauh-jauh hasrat untuk memotret ini itu.
Peraturan yang luar biasa membantu untuk bisa benar-benar ada di sana. Mindful. Just being there and absorb. Sejalan dengan semangat saba
budaya Baduy.
Orang
Baduy memilih frasa saba budaya ketimbang wisata. Tamu yang datang adalah
orang-orang yang berkunjung untuk berkenalan dan mengenal budaya orang Kanekes.
Bukan wisata yang seakan menjadikan mereka sebagai tontonan. Konsep desa wisata
ini yang sempat membuat kami tadinya juga sempat ragu untuk berkunjung.
Di Malang,
kampung halaman saya, saya pernah mendengar keluhan warga Kampung Warna-Warni
yang bahkan bingung untuk menjemur baju di depan rumah mereka sendiri. Bingung
karena banyaknya orang yang melintas dan mendadak berfoto di depan rumah
mereka.
Traveling do Changes
Us
Hujan
turun dalam perjalanan pulang. Kang Agus yang semula berjalan jauh di belakang kami,
berlari menyusul agar kami bisa mengenakan jas hujan yang tersimpan dalam tas
kami yang ia bawa. Membayangkan ia berlari membawa dua ransel dengan medan
sesulit itu membuat saya terharu 😌.
Agus punya
sebuah buku kecil tempat ia mencatat beberapa alamat dan nomor kontak tamu yang
pernah ia dampingi. Terkadang, ia berjalan kaki ke Jakarta, BSD, Bekasi
untuk mengunjungi tamunya dulu - yang kemudian ia sebut teman - dengan berjalan kaki (orang Baduy Dalam tidak menumpang kendaraan apapun). Tentu kami juga menuliskan alamat kami di sana.
Berharap suatu saat Agus akan tiba di depan rumah kami 😃
Sepulang
dari Baduy, pertanyaan pembuka di awal tulisan ini tentu saja tidak terjawab. Dan saya masih punya banyak pertanyaan lain yang belum atau mungkin tidak
perlu jawaban. Kadang kita perlu
berjuang untuk sekadar mengamati dan menerima.
Tapi setidaknya tentu saja mudah-mudahan ada yang bisa kami berikan dan kami bawa pulang. Bima, anak saya, juga membawa pulang sesuatu dari Baduy, sesuatu yang mungkin
belum genap ia ceritakan, tapi tersimpan dalam hati dan ingatannya. Ia menempuh
perjalanan ke Cibeo dengan bersungut-sungut, tapi berjalan pulang jauh di depan
kami tanpa mengeluh, bersama kelompok lain, kadang sendiri, ditemani Ayah Juli. Sepertinya
mandi di sungai bersama anak-anak Baduy Dalam adalah memori yang akan paling
dia ingat 👦
Kak riniii, terimakasih sudah membagikan pengalaman dalam bentuk tulisan, serasa ikut jalan" <3
ReplyDeleteSuch a great story bu rini >.<
ReplyDeletetwenx sudah berbagi, Rin..
ReplyDelete