Tabrakan Rasa di IdulAdha

(Disclaimer: tulisan sensitif )

Hari raya kurban selalu membawa banyak rasa dan pikir yang saling beradu, bertabrakan, bertumbukan di hati dan pikiran saya. Apakah saya harus berhenti merasa atau berhenti berpikir? Atau keduanya?

Seorang teman menjadi vegetarian selepas IdulAdha. Ia tidak tega melihat hewan kurban yang meneteskan air mata sebelum disembelih.

Tradisi kurban sudah ada jauh sebelum Nabi Ibrahim diutus mengurbankan Ismail. Dan masih akan tetap ada hingga masa-masa yang akan datang. Satu dari banyak hal yang belum bisa saya terima dengan damai.

Ini adalah satu-satunya pemaknaan hari raya kurban yang bisa saya terima:

Setiap kita adalah ‘Ibrahim’ dan setiap Ibrahim punya ‘Ismail’. Ismailmu mungkin hartamu, jabatanmu, gelarmu, egomu. Ismailmu adalah sesuatu yang kau sayangi dan kau pertahankan di dunia ini.

Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail. Karena hakekatnya semua adalah milik Allah.

Semoga Allah SWT menganugerahkan KESHALIHAN Nabi Ibrahim dan KEIKHLASAN Nabi Ismail kepada kita semua.

Namun, tetap saja saya belum paham mengapa teladan ini – di masa kini – masih harus dirupakan kurban hewan? Jika alasannya karena daging hewan adalah barang konsumsi mahal sehingga sesekali harus dibagikan gratis, masih banyak hal mahal lain yang krusial: buku, akses pendidikan, atau makanan  yang lebih sehat ðŸ˜ƒ. Meski tentu saja kebutuhan ini bisa terpenuhi dari zakat, infaq, sedekah, waqaf.

Tetapi mengapa dana untuk membeli hewan kurban tidak langsung dirupakan bantuan yang dibutuhkan? Sesuatu yang berkelanjutan, bukan sekali makan habis?

Jika menuruti pemaknaan di atas, mengapa kita tidak langsung berlatih membunuh kepemilikan kita terhadap waktu, harta, status, ego, dengan misalnya menjadi relawan sehari di tempat-tempat yang sangat tidak kita inginkan, melayani orang-orang yang sebenarnya enggan kita jumpai – lapas, panti jompo, panti asuhan.

Apakah saya harus berhenti merasa atau berhenti berpikir? Atau keduanya? Demi tradisi, pemaknaan tunggal, atau ya sudahlah taat aja.  

Syukurlah kurban hewan bersifat opsional. 

Comments