Predikat Perempuan

Dalam sebuah obrolan live di Instagram, tuan rumah melontarkan pertanyaan esensial yang gagal saya tangkap, “Menurut Anda, Anda itu siapa sih?” Wah seharusnya itu saatnya saya bisa membual tentang berbagai pemikiran sok mendalam soal eksistensi manusia dan semua pertanyaan saya tentang posisi perempuan saat dunia ini diciptakan.

Kegugupan saya (setidaknya itu satu-satunya hal yang bisa saya salahkan) membuat saya dengan bodohnya cuma menjawab, “content writer.” Jawaban standar ketika ada yang bertanya, “What do you do for living?” Jawaban dari pertanyaan ini, bagi saya, tidak begitu menarik. Content writer adalah embel-ember yang sekadar saya gunakan untuk mencari uang. Predikat yang segera saya tanggalkan begitu saya selesai mengirim tulisan pesanan. Jabatan yang saya letakkan selepas jam kerja pukul lima untuk dikenakan lagi keesokan harinya. Namun jawaban itu lebih mudah dipahami dan diterima dalam hidup bermasyarakat dibanding jawaban “penulis”. Profesi penulis terdengar serupa dengan “seniman” yang masa depannya gamang ✌

Jika saya tidak lagi bekerja sebagai content writer dan tidak lagi menulis bebas, siapa saya? Seharusnya jawaban atas pertanyaan ini yang saya ungkapkan.

Jika saya bukan siapa-siapa, selamanya tetap ada predikat yang tersisa dan terus melekat pada diri saya: perempuan. Ibu. Perempuan yang menjadi ibu. Selamanya saya adalah ibu dari anak saya.

Dalam setahun terakhir, sejujurnya saya lebih ingin menjawab “ibu rumah tangga” ketika ditanya profesi. Sepertinya itu jati diri yang lebih jujur mengingat di tahun-tahun terakhir ini saya memang sudah bekerja dari rumah, mengetik dengan mengenakan kaos dan celana pendek.


Ibu rumah tangga. Profesi yang bagi saya lengkap, penuh, dan tanpa tendensi meski kadang diucapkan sebagian perempuan dengan rasa tidak percaya diri. Padahal saya lega sekali saat bisa mengidentifikasi diri dengan profesi itu.

Tidak Cukup

Akan tetapi sepertinya dunia tidak mengizinkan perempuan menjadi apa adanya.

Saat mendaftar untuk membuka satu rekening lagi (mengikuti saran perencana keuangan untuk punya tiga rekening), saya dihadapkan pada serangkaian panjang pertanyaan lain ketika menulis “ibu rumah tangga” di kolom profesi. Dari mana sumber pendapatan yang akan disimpan di bank? Apa pekerjaan suami? Kalau usaha, apa usahanya? Adakah surat izin usahanya?

Dengan kata lain, di dunia nyata, seorang perempuan dianggap tidak bisa berdiri sendiri jika predikatnya "sekadar" menjadi ibu rumah tangga. Ia harus didukung dan dijamin pihak lain, dalam hal ini secara finansial. Akhirnya agar tak panjang urusan saya menulis nama dan alamat kantor tempat saya bekerja.

Situasi serupa terjadi ketika saya dan suami akan membeli rumah. Setiap kali pembicaraan tiba pada jumlah cicilan yang mampu dibayar tiap bulan, selalu muncul pertayaan seperti, "Istrinya bekerja? Kalau ngantor bisa joint income" (untuk pengajuan KPR). Dalam ruangan pemasaran rumah (dan banyak ruang lain), perempuan baru dianggap "bernilai" dan berguna jika ia melakukan hal yang sama dengan pria: mencari nafkah. Sebaliknya, jika tak berpendapatan, ia tak diperhitungkan dan sekadar numpang hidup.

(Sementara itu, di ruang-ruang lain, perempuan dianggap baru “sempurna” jika mendedikasikan seluruh waktunya menjadi ibu rumah tangga saja di rumah, mencukupkan diri dengan pendapatan suami).

Setelah kurang lebih setahun tidak ngantor (bahkan sok menolak pekerjaan-pekerjaan lepas demi bisa fokus menulis buku sendiri), di paruh kedua pandemi ini saya kembali ngantor (dari rumah). Situasi ekonomi pandemi sungguh membuat saya ingin lebih mengamankan keuangan. Setelah menjadi ibu rumah tangga tanpa embel-embel, saya kembali merasa tidak cukup dan merasa butuh menggenggam predikat pekerja. Meski di sisi lain, sama seperti ibu pekerja lain, saya kembali merasa khawatir tidak cukup memberikan porsi perhatian dan waktu semestinya untuk anak, apalagi di masa pembelajaran daring ini.

Barangkali predikat apapun yang disandang atau tidak disandang perempuan memang tidak akan membuatnya merasa cukup. Mungkin cukuplah bahwa menjadi apa pun, setidaknya perempuan memilihnya dengan sadar. Menyadari segenap kegembiraan dan konsekuensinya. Dan jika merasa cukup memang belum memungkinkan, setidaknya tidak terlalu merasa terganggu saat situasi dan society menuntut perempuan melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak ingin ia pilih. 

***

Comments