Di Balik Meja
Saat pindah ke rumah sendiri di lingkungan baru, bersama kami ada banyak keluarga yang hidupnya juga berubah di tengah atau karena pandemi. Ada yang berhenti menempati rumah kontrakan dan pindah menempati rumah sendiri, meski jauh dari pusat kota. Ada yang menerima pesanan kue di rumah setelah restorannya bangkrut. Ada yang menjual bahan makanan setelah di-PHK.
Tetapi dari banyak cerita, favorit saya adalah kisah Pak R.
Mulanya yang kami lihat hanya sebuah toko keramik yang sepi, dengan seorang bapak dan anak gadis kecil 4 tahunan duduk di meja kasir.
(kami jadi sering keluar masuk toko bangunan karena juga memulai usaha baru)
Di kunjungan yang kesekian ke toko keramik itu, sambil lalu suami saya bertanya, "Istrinya nggak pernah ikut ke toko, Pak?"
Ia tercenung sesaat sebelum menjawab, "Istri saya sudah meninggal, Pak."
Istri Pak R meninggal karena serangan jantung, sehari setelah Lebaran tahun ini; sama sekali tanpa didahului gejala.
"Saya hampir gila, Pak," katanya, "Tapi saya harus kuat untuk putri saya."
Sejak itu Pak R menjadi pemasok tetap kami.
Setiap kali ada yang memesan keramik untuk rumah yang sedang direnovasi, ia mengantarnya sendiri - berdua dengan putrinya di belakang kemudi sepeda motor, kardus demi kardus.
Dan tiap kali ada yang menyesakkan dada di masa yang kurang baik ini, saya selalu ingat Pak R dan putrinya duduk di meja toko. Belajar merelakan yang pergi, berpegangan pada harapan, sambil memegang tangan satu sama lain, mensyukuri cinta yang masih ada.
Kesetiaan, gelora hidup, cinta, dan impian menjadi hal yang mewah dan kita pantas bertahan dan memperjuangkannya, sebab di sanalah tahta kemuliaan hidup berada, meski barangkalai bagi sebagian (besar) hal-hal yang jauh bersinggungan dengan materi akan luput dari perhatian mereka. Kita memang tengah berada di era ketika nilai-nilai (moral, upaya upaya baik, cinta, kepedulian dll.) terdistorsi dan tergerus arus zaman. Orang2 dengan pandangan non material menjadi spesies yang langka. Tapi semoga tidak punah
ReplyDeleteKesetiaan, cinta, gelora hidup dan impian, kini menjadi sesuatu yang sangat mewah ketika harus bergelut dengan karakter dunia yang terus berevolusi, dari yang sarat makna ke serba material belaka hingga mereka yang menjalani hidup dengan "karakter" seperti penjual keramik (atau banyak karakter serupa) itu seolah luput dari perhatian khalayak yang tengah berburu "kebahagiaan semu" di belantara kepingan2 dunia yang dipenuhi hasrat memenuhi tuntutan ragawi belaka, maka para pejuang nilai (moral, Budi luhur, kebaikan, cinta, empati) selalu termarginalkan. Kita tidak tehu tengah hidup di zaman apa.
ReplyDelete