Tren Dramatisasi Kegalauan dan Generasi Kesepian
Medium.com, 10 Oktober 2019
Kesendirian, kehilangan, dan kemalangan bisa ditulis dengan indah, tetapi juga bisa disampaikan dengan buruk. Puisi, kutipan, lagu, film, tulisan panjang pendek yang sedang tren seputar hal-hal ini, jika ditulis dengan baik, bisa membuat kita berkaca, menerima rasa sakit menjadi bagian dari diri kita, kemudian mengubahnya menjadi kekuatan.
Ada juga tulisan-tulisan yang mengajak kita menertawakan kemalangan diri. Kemampuan ini bisa membuat kita, terutama remaja, menjadi lebih tangguh. Kita belajar menerima bahwa hidup memang tidak perlu sempurna, dan itu tidak apa-apa. Menertawakan diri juga membuat remaja tidak mempan dirundung dan lekas bangkit saat jatuh.
Seiring dengan tren unggahan-unggahan ini, tumbuh juga akun-akun yang mempromosikan kesehatan mental, bahkan menawarkan layanan konsultasi kejiwaan. Orang dewasa juga kembali belajar pentingnya mencintai dan menghargai diri sendiri. Sesuatu yang tidak diajarkan di bangku sekolah.
Menjual Keresahan
Menjual Keresahan
Namun ada juga tulisan tentang kesedihan yang disampaikan dengan buruk, dijual serampangan, ditulis dengan mental korban, dan mengkhawatirkan.
Beberapa waktu lalu saya tak sengaja tiba pada sebuah akun Instagram seorang penulis dengan pengikut ratusan ribu, rata-rata remaja. Semua unggahannya seputar perasaan ditinggalkan, diabaikan, dikhianati. Tentu saja unggahan yang paling galau mendapat likes terbanyak. Singkatnya kegalauan adalah tema utama yang ia jual.
Iseng, saya meluncur ke kanal YouTubenya dan mendengarkan salah satu unggahan di sana. Ia membaca cerita tentang seorang perempuan, dari sudut pandang orang pertama, yang merasa ditinggalkan setelah teman curhatnya (cowok), pergi bersama gadis lain.
Sebenarnya ini topik biasa saja. Tetapi bagaimana ia menceritakannya membuat saya resah. Video ini didominasi ungkapan kekecewaan dan tangisan pilu. Pembaca narasinya benar-benar menangis — atau setidaknya berakting nangis, meratapi kepergian orang yang disayanginya. Seperti sinetron atau sandiwara radio untuk remaja, tapi dilebih-lebihkan dengan tidak indah. Tidak ada refleksi atau penerimaan. Ya begitu saja, seperti mendengarkan curhatan orang yang enggan pulih, memilih berkabung dan berkubang entah sampai kapan.
Setelah mendengarkan unggahan ini saya sempat terdiam lama. Saya membayangkan bagaimana jika dari ratusan ribu pengikutnya itu, ada anak-anak remaja yang sedang mengalami hal serupa, nilainya sedang jelek, patah hati, atau baru dimarahi orang tua, kemudian tiba di kanal tersebut dan mendengarkan drama penuh tangisan itu. Apakah ia akan merasa baik-baik saja?
Kesepian yang Ramai
Mengutip dari Majalah Femina, penelitian perusahaan layanan kesehatan Cigna di Amerika Serikat, dirilis Mei 2018, mengungkap bahwa gen Z (lahir 1997–2012) adalah generasi yang paling kesepian. Dalam hasil penelitian University of Pittsburgh School of Medicine (UPSM) ditemukan bahwa meningkatnya perasaan kesepian di abad ke-21 ini erat kaitannya dengan era digitalisasi. Perasaan kesepian ini, menurut penelitian Brigham Young University, Utah di AS, sama berbahayanya dengan merokok 15 kali dalam sehari dengan efek yang paling berbahaya: bunuh diri.
Media sosial yang membuat kita lebih terhubung ternyata juga membuat kita merasa lebih terisolasi. Selain membandingkan diri dengan potret kehidupan orang lain yang dicitrakan sempurna, saya menduga bahwa tulisan-tulisan galau tak berarah ikut berperan menciptakan kedekatan sekaligus sekat ini.
Tanggal saat tulisan ini dibuat, 10 Oktober, diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Empat hari terakhir saya mengamati Koran Kompas mengangkat tema ini terus menerus. Bahkan tema skizofrenia sempat menjadi tajuk utama. Menegaskan bahwa kesehatan mental adalah hal mendesak. Ini bukan saja tentang orang-orang di rumah sakit jiwa sana, tapi tentang kita. Kita semua juga rentan sakit jika tidak mendengarkan diri, atau terlalu banyak mendengar yang tak perlu.
Artikel Nova Riyanti Yusuf berjudul “Ketahanan Jiwa Remaja Kita” (Kompas, 10/10), dibuka dengan fakta bahwa apa yang dikonsumsi remaja bisa mempengaruhi kejiwaan mereka. Disebut bahwa tokoh Werther yang bunuh diri dalam novel Goethe tahun 1974 ternyata menginspirasi banyak pemuda untuk bunuh diri (werther effect/copycat suicide). Sementara studi National Institute of Mental Health (NIMH) di AS tahun 2017 menyebut bahwa serial TV di Netflix, “Thirteen Reasons Why” menyebabkan peningkatan 28,9% tingkat bunuh diri di Amerika Serikat pada remaja 10–17 tahun.
Tentu kita tidak menyalahkan karya. Bahkan mungkin perlu berterima kasih pada pembuat karya yang berani mengungkap hal-hal dalam diri kita yang selama ini terlalu takut kita ungkapkan. Lagipula, makna juga terletak pada pembaca dan penonton.
Data di atas hanya membuktikan bahwa apa yang kita konsumsi, terutama yang dikonsumsi remaja, ternyata memang benar-benar bisa menguatkan mereka (kita juga) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jika kita punya film, buku, lagu, kisah favorit yang bisa membuat kita melakukan hal berani yang baik, bisa jadi juga ada hal yang kita konsumsi yang membuat kita melakukan yang sebaliknya.
Dan di tengah keramaian yang sepi dan kesepian yang ramai ini, para pembuat karya barangkali perlu bertanya pada diri. Apakah saat menjual kegalauan kita ikut membuat orang memahami tragedi, atau mendesak mereka semakin tersesat?
Comments
Post a Comment