Kembali ke Jalan Ramai

Saya akan memulai cerita pengalaman sekolah rumah ini dengan adagium yang saya suka: metode pendidikan terbaik adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan anak dan orang tua serta visi keluarga. Yang baru saya sadari kemudian, kebutuhan ini terus berubah seiring dengan berbagai perkembangan dalam hidup keluarga, serta bagaimana kita mengenali diri sendiri dan tiap anggota keluarga.

Tahun ajaran baru ini, anak saya, Bima (11) kembali sekolah formal setelah 2,5 tahun menjalani sekolah rumah/homeschooling. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kembalinya kami ke jalur formal. Pengalaman dan catatan ini tentu saja bersifat subjektif. Saya mencatat dan membagikannya pertama-tama untuk merunut pola pikir dan membuat rujukan yang dapat ditengok jika kelak kami butuh refleksi lagi.

Jalan Sepi


Akhir 2019 kami pindah domisili ke sebuah lingkungan baru. Segalanya serba baru sampai sekolah barunya pun belum membuka kelas untuk murid kelas 3 ke atas. Situasi yang membuat kami mau tidak mau harus memberanikan diri menempuh jalan sepi, menerapkan sekolah rumah. Saya mendaftarkan Bima, ke sebuah pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) agar ia tetap punya rapor yang diakui dinas pendidikan. Namun metode pembelajarannya semua dilakukan secara mandiri. Kami hanya perlu membuka website PKBM ini setiap hari dan mengikuti modul serta tugas-tugas yang diberikan.

Awalnya menyenangkan. Sekolah bisa dari mana saja dan kapan saja. Bima bahkan sempat menulis dan menerbitkan sebuah buku berisi 50-an puisi dalam bahasa Inggris yang ditulisnya dengan riang gembira. Saat ikut lomba, ia juga bisa sejajar dengan teman-teman peserta lain dari sekolah swasta bagus. Saya pun sudah punya daftar kegiatan, kursus, serta tempat-tempat untuk dikunjungi untuk bisa belajar langsung dari banyak tempat seperti museum. Rencana saya adalah memperbanyak kursus nonakademis, karena saat itu dia sedang tertarik menggambar dan bahasa.

Kemudian datanglah pandemi 2020. Semua anak bersekolah di rumah. Sekolah rumah kami tidak lagi istimewa. Bahkan cenderung membosankan karena semua rencana akhirnya harus dicukupkan dengan pembelajaran daring. Kursus pun daring. Ada perbedaan besar antara memilih untuk di rumah dengan harus di rumah.


Pembelajar Mandiri

Prinsip saya sebenarnya sederhana: membuat dia lebih menekuni bidang-bidang yang paling ia sukai dan kuasai, serta mendukungnya untuk lebih memahami bidang yang tidak begitu ia sukai/kuasai (agar setidaknya dia paham/tidak terlalu tertinggal).

Namun situasi belajar dalam dua bidang utama ini ternyata sangat bertolak belakang dan membutuhkan jenis keterampilan yang jauh berbeda. Mengajaknya menjadi pembelajar mandiri - seperti semangat sekolah rumah -  sangat mudah saat ia mempelajari bidang yang ia sukai. Ia dengan senang hati membuat ringkasan film-film dokumenter/sejarah dan tidak komplain saat diajak mengeja banyak vocabulary sulit.

Sebaliknya, tentu saja ia secara alami ingin menghindari bidang-bidang yang tidak ia sukai. Gawatnya, saya baru sadar bahwa bidang yang tidak disukai anak saya JUGA adalah bidang yang tidak saya sukai 👀. Kami sama-sama suka berkarya di bidang kreatif dan tidak suka matematika. Mengajarkan matematika kepada anak saya membuka kembali ingatan dan pengalaman-pengalaman buruk saya tentang pembelajaran di masa lalu yang jauh dari menyenangkan, bahkan barangkali traumatis. Betapa pun saya memotivasinya untuk sekadar paham (tidak perlu pintar), dan bahwa ia juga memerlukan hitungan dalam berkarya, ia – seperti saya – ingin lari saja tiap berjumpa soal-soal matematika.  Saya tidak punya metode-metode menyenangkan – saya bahkan juga enggan mempelajarinya :’). Akibatnya, momen mempelajari bidang yang sama-sama tidak kami sukai menjadi saat yang mengerikan.

 

Fleksibilitas


Keunggulan sekolah rumah yang tentu saja tidak dimiliki sekolah formal adalah fleksibilitas, terutama waktu. Di Jakarta, bepergian saat kereta commuter lengang di hari kerja sungguh adalah keleluasaan berharga. Saat anak-anak lain sudah kembali bersekolah, saya masih bisa mengajak Bima ke rumah nenek kakeknya di Malang. Kami bahkan sempat mengajaknya bepergian dua pekan ke rumah beberapa kerabat di Sumatra Selatan di luar waktu liburan sekolah. Sungguh terasa seperti sebuah kemenangan kecil saat kami tidak lagi sekadar menunjuk "Sungai Musi" di peta, tapi benar-benar duduk di tepiannya. Atau sarapan di tepi Sungai Batanghari, memperhatikan orang-orang berangkat bekerja, menjinjing sepeda mereka melintasi Jembatan Arasy.

Namun, di sisi lain, lambat laun saya berkesimpulan bahwa fleksibilitas itu sebenarnya pertama-tama adalah kebutuhan orang dewasa. Beda cerita dengan anak-anak. Kesimpulan yang bisa jadi muncul karena latar belakang saya yang berasal dari keluarga dan pendidikan swasta Katolik yang disiplin.

Saat sekolah rumah, anak saya belajar akademis 3-4 saja dalam sehari. Memang sih konon baiknya waktu belajar anak itu tidak perlu terlalu lama, asal efektif. Tapi bagaimana dengan waktu sisanya dalam sehari saat ia tidak belajar akademis? Lesnya pun hanya 1 jam. Selebihnya, kalau kita tidak mengondisikannya untuk beraktivitas produktif lain, ya tentu saja dia habiskan dengan main game. Dan karena saya sudah (sok) sibuk dengan pekerjaan kantor/rumah tangga, seringnya waktunya banyak habis dengan main game di depan layar. 

Catatan lain, ayah Bima juga tidak bisa membagi perhatian, energi, dan waktunya untuk mendampingi putranya, terutama di jam kerja; bahkan sulit juga di luar jam kerja. Ini bukan perkara peran sebagai orang tua yang tidak terdistribusi sih. Ada kondisi khusus yang menurut saya memang membuatnya lebih baik fokus pada pekerjaan/usaha. 

Waktu belajar akademis anak sekolah rumah yang tidak panjang ini juga menjadi pemikiran tersendiri. Modul PKBM yang tidak sedalam sekolah formal membuat Bima harus mengejar cukup banyak ketertinggalan materi sebelum kembali ke sekolah formal (akhirnya saya datangkan guru privat).

Selain itu, fleksibilitas yang tidak tertata menurut saya yang overthinking ini kok membuat saya khawatir anak mungkin hanya terbiasa mencari jalan yang mudah dan berupaya menegosiasi banyak hal agar sesuai kemauannya. Padahal bukan dunia yang harus berjalan sesuai mau kita. Itulah mengapa sebagian anak yang berkebutuhan khusus sekalipun, jika memungkinkan, mengikuti kelas inklusi, tempat ia berbaur dengan anak-anak pada umumnya. Agar ia bisa hidup dan berperan sama dan setara dengan orang lain.

Kembali pada Kegembiraan (dan Kebosanan) Sekolah Formal

Meski punya memori buruk, tentu kita punya banyak memori menyenangkan semasa sekolah. Waktu bersama teman-teman tentu saja adalah bagian terbaiknya. Masa sekolah saya sungguh sangat menyenangkan dan berharga, dengan segenap suka dukanya. Dan saya ingin anak saya juga mengalaminya. Barangkali ini perenungan yang paling membuat kami berpikir untuk mengembalikannya ke sekolah formal.  Secara psikologis, saya merasa situasi anak saya lebih berat daripada anak sekolah yang kembali masuk sekolah dan bertemu teman-teman setelah pandemi mereda.

Saya ingin ia kembali punya teman sekolah yang menyebalkan, yang tidak bisa dikalahkan, yang bisa diajak ngobrol apa saja, yang akhirnya bisa jadi sahabat. Kembali ke keteraturan membosankan yang mungkin dia perlukan. Membiarkannya punya masalah dan menemukan jalan keluarnya sendiri. Bertemu guru yang tidak menarik agar ia tidak menjadi seperti itu. Mendapat nilai buruk dan belajar untuk tidak putus asa. Nilai rapornya bisa hebat, tapi juga bisa biasa saja, dan itu tidak apa-apa. Bagaimanapun perkembangan akademisnya, dia akan selalu punya ruang berkarya dengan gembira di luar sekolah.

Mudah-mudahan segenap pengalaman sedih senang sekolah rumah dan sekolah formal ini kelak melengkapi pengalamannya menenun jalannya sendiri.

Jalan sepi ataupun jalan ramai yang diambil, metode pendidikan terbaik adalah yang paling sesuai dengan kebutuhan anak dan orang tua serta visi keluarga 😃

Comments