Antara Hampers, Nasi Bungkus, dan THR Tukang Sayur ( Seri 9 #DiRumahAja)


Sejak Ramadan, satu dua kali sepekan saya dan suami keluar rumah menjelang waktu berbuka. Membagikan titipan donasi nasi bungkus dari teman-teman untuk para pekerja harian nonformal di jalan. Bergantian dengan beberapa teman lain sehingga dalam seminggu donasi ini selalu tersalurkan di beberapa tempat (update hariannya bisa diakses di bit.ly/belibagi).

Cuma nasi bungkus 10-12 ribuan. Cita-citanya biar lebih banyak jumlah orang yang bisa terbantu dengan nominal donasi yang ada. Sebagai pengganti kertas cokelat pembungkus nasi, kadang beberapa teman berinisiatif memberikannya dalam kotak. Kadang juga styrofoam meski kami berulang kali bilang jangan pakai itu atas nama kelestarian lingkungan. Tapi kata mereka biar tampak lebih layak.

Bicara tentang kelayakan, orang-orang berpendapatan harian ini memang layak mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar nasi bungkus. Mereka paling kencang terterpa badai ekonomi pandemi, dihantam lagi dengan larangan mudik meski sudah tak punya penghasilan.

Saya pribadi paling senang mendistribusikan nasi ke pedagang asongan seperti tukang sol sepatu atau penjual mainan keliling. Orang-orang yang terus mencari rezeki meski ada pilihan yang lebih mudah daripada bertahan: mengemis atau pulang kampung.



Hampers Cantik
Seiring berjalannya gerakan kecil ini, di Instagram story, sengaja tak sengaja saya melihat bingkisan-bingkisan cantik yang diterima dan dikirim beberapa teman, terutama di 10 hari terakhir Ramadan.

Memang sepertinya baru Ramadan ini banyak sekali orang saling kirim hampers. Katanya sebagai pengganti buka bersama dan silaturrahmi yang tertunda. Bisa dipahami karena kita semua rindu saling menjangkau. Dan siapa tahu memang bingkisan-bingkisan itu memang sedang diperlukan. Sebagian kelas menengah juga tersapu badai ekonomi.

Update: Seorang teman baik yang mendapat banyak sekali hampers (terlihat dari IG story-nya), mengirimkan dua paket dari antara yang ia terima itu kepada saya :')). Beliau juga ikut donasi untuk program bagi nasi yang saya kerjakan :). 

Mengunggahnya di media sosial atau berterima kasih langsung saja ke pengirimnya adalah soal lain dan pilihan masing-masing. Beberapa teman mengunggahnya di media sosial karena katanya ingin mempromosikan produk yang mereka terima atau kirim.  

Meski begitu kadang saya berangan-angan andai bingkisan-bingkisan cantik ini juga tiba di tangan teman-teman di jalan, sedikit saja.

THR Tukang Sayur
Soal hampers, teman yang tidak mengirim bilang tidak punya budget khusus untuk mengirim hampers. Jika satu hampers beserta ongkos kirimnya senilai Rp 200 ribu saja, mengirimnya ke 10 orang saja butuh dua juta. 

Saya sendiri hanya mengirim ke sepupu dan beberapa teman editor, itu pun GoFood ala kadarnya. Dan menerima beberapa kiriman dari saudara dan teman, juga menerima dan membalas beberapa kali antaran makanan kecil dari tetangga-tetangga terdekat.

Namun yang paling mengharukan, tahu-tahu saya menerima bingkisan setengah lusin gelas dari tukang sayur tempat saya biasa membeli bahan makanan.

 Belakangan saya baru tahu ini adalah tradisi. Pedagang sayur memberikan semacam THR sebagai ungkapan terima kasih bahwa pembeli sudah berbelanja di lapak mereka dan ajakan agar setia membeli di sana. Saat pertama tahu, saya sempat tertegun. Bukan hanya karena tradisi ini menurut saya memberatkan pedagang, tapi juga karena mereka tetap memberikannya di masa sulit ini.

Jika setengah lusin gelas berharga Rp 20 ribuan, maka si Pedagang perlu menyediakan setidaknya Rp 400 ribu untuk diberikan ke 20 pelanggan. Dan jelas jumlah pelanggannya lebih dari itu. Tak enak hati dengan tradisi ini, saya “membalas” bingkisan ibu pedagang dengan dua kaleng biskuit (lagipula beliau baru saja melahirkan).

Di antara hampers, nasi bungkus, dan THR tukang sayur, kita benar-benar kembali menyadari posisi kita dan orang lain dalam masyarakat. Bagaimana pun, pandemi ini  meruncingkan perbedaan kelas. Bahwa pulang kampung naik pesawat mahal lebih memungkinkan ketimbang naik travel, bus, apalagi sepeda motor yang hampir pasti diputar balik. Atau bahwa hanya sedikit saja yang bisa diam di rumah sambil tetap bisa memberi banyak.

Dan di antara semua yang saling beri ini, barangkali tukang sayurlah yang paling bermartabat dan jadi juara. Mereka memberi dari kekurangannya, termasuk memberi kepada yang sudah berkecukupan.

NB: Saat mengetik ini, di TV ada Warren Tanoesoedibjo (19) yang memberikan 2,55 M dari tabungannya untuk menebus motor listrik Jokowi, didonasikan untuk penanganan Covid-19. Duh, saya juga mau seperti Dik Warren.




[1] Julid: iri, dengki, sikap berlebihan/kekanak-kanakan menanggapi sesuatu (kamus bebas)

Comments