Ujung Lorong Panjang Ini

 

History repeats itself, but in such cunning disguise  that we never detect the resemblance until the damage is done

(Sydney J. Harris)


 

Saya sering berpikir bahwa Perang Dunia belum lama usai. Seribu sembilan ratus empat puluh itu baru 80 tahun lalu. Hanya satu rentang rata-rata harapan hidup manusia. Hanya sepotong pendek masa dari berabad-abad sejarah peradaban. Saya lahir hanya empat dasawarsa setelah negara ini merdeka. Orang tua saya bahkan lahir sebelum proklamasi.

Saya punya perasaan iri yang aneh setiap kali mendengar ibu saya bercerita bagaimana ia dan keluarganya, nenek kakek saya, berlindung dari bom Jepang di balik karung beras. Bagaimana mewahnya sebutir telur sehingga harus dibagi empat untuk dimakan sekeluarga. Sungguh kaya manusia seperti orang tua saya yang hidup melampaui satu edisi buku sejarah.

Kita membicarakan Perang Dunia dan menghapal tanggal-tanggal bersejarah di masa lalu seakan-akan masa itu sudah lama berlalu dan tidak akan terjadi lagi. Lima belas sembilan enam Belanda datang, 1942 masa yang lebih susah, 1965 yang masih gelap, 1998 juga menyisakan banyak tanda tanya.

“Sekarang sudah bukan zaman perang, Guys”, “Untung kita lahir di zaman sekarang. Nenek moyang kita dulu angkat senjata,” seakan-akan kita sudah selamat dan jauh dari kemalangan lain. Seakan peristiwa buruk tak akan menyentuh kita lagi.

Perang dunia belum lama usai dan rasanya tidak mungkin manusia “dibiarkan” tenang tanpa ada hal besar terjadi dalam 100 tahun berikutnya.

Spanish-flu 1918
Sumber: Time.com

Sedang Terjadi

Saat benar-benar menyadari dan menerima bahwa saat ini kita sedang mengalami masa besar-buruk-dan entah kapan akan berakhir, dalam hati saya berkata, “This is it!” Hari-hari gelap yang akan kita ceritakan pada anak cucu kita jika diberi umur panjang. Kelak, di masa tak ada lagi yang harus memakai masker dalam ruangan tertutup.

Nanti mereka akan bertanya-tanya sebagaimana kita ketika mendengar kisah perang: bagaimana rasanya hidup dalam situasi seperti itu?

Sumber: The Lancet

Ternyata begini rasanya memaksa diri memelihara harapan saat belum nampak cahaya di ujung lorong. Mungkin begini juga yang dirasakan orang-orang terdahulu; dalam bentuk berbeda. Meski sedih juga saat orang-orang seperti orang tua saya, yang dulu sudah pernah melalui zaman menderita, kini juga ikut melalui masa ini dan menjadi kelompok yang paling rawan.

Sahabat saya, seorang dokter yang meninggal di 2018 lalu tak mengalami masa ini. Seorang teman berkata beruntunglah karena dia tidak ikut merasakan pengorbanan tenaga medis di masa pandemi. Namun seorang kakaknya sempat berkata, “Kalau masih hidup, pasti sekarang dia sudah jadi relawan di Wisma Atlet. Tidak akan berhenti sampai ini semua berakhir.”  

Betapapun penuh duka, masa ini tetap bisa disyukuri. Tentu karena setidaknya kita masih hidup dan mengingat masa serupa barangkali tak akan terjadi lagi, mungkin hingga seabad yang akan datang (ini doa baik). Masa yang membelah hidup kita menjadi sebelum dan sesudah.

Walau belum tahu ujungnya, saya yakin masa ini, seperti juga masa buruk lain, nanti akan jadi sekejap saja dalam rentang sejarah. Tentu kita bisa bertahan dan berdaya, seperti manusia-manusia di masa lampau menghadapi perangnya masing-masing.

Soldiers in New York are shown wearing masks to slow the spread of the pandemic
Sumber: hnoc.org




Comments

  1. Aamiin , semoga negri ini akan segera pulih dan baik baik saja ... Karena kita rindu akan kebebasan tanpa kekhawatiran ...
    Kebebasan anak² belajar di sekolah bertemu dengan teman² dan para pengajar ...
    Kebebasan bersosialisasi tanpa jarak dan rasa saling mencurigai ...

    ReplyDelete

Post a Comment