Ketika Kita Mengalami Hal yang Ditakuti sekaligus Tidak Dipercayai Orang

Melihat sesuatu dari balik jendela atau dari lubang kunci memang jauh berbeda dibanding mengalami sendiri. Setelah didiagnosis Covid, saya justru jadi lebih gampang tidur nyenyak. Di malam-malam sebelumnya, kepala saya penuh skenario, “Bagaimana jika…” (terpapar?) Setelah benar-benar terpapar, ternyata ya tinggal dijalani. Mau bagaimana lagi?

Kutipan yang tepat untuk Covid, donor, dan vaksinnya :)
Sumber: quotefancy 

Namun, ngomong-ngomong, suami saya sebelumnya adalah orang yang tergolong tidak (begitu) percaya dengan keberadaan Covid dan berbagai bahasan penyertanya. Saat saya mendaftar untuk divaksin, ia sempat berkomentar apakah dia perlu divaksin juga. Alasan lainnya karena dia nggak mau vaksin dari China. Haha.

Ketika hasil antigennya reaktif dan ia sudah mengalami segala gejala, ia juga masih menduga itu mungkin sekadar tipus. Garis kedua pada hasil antigennya memang samar. Ia baru sadar ketika lima hari kemudian saya juga bergejala persis serupa dengan yang dia alami. Sekarang setelah lebih dari 14 hari dan masih sering mengantuk, dia percaya dirinya mengalami long Covid. Mungkin juga penyembuhannya lebih lama karena belum divaksin.

Anosmia sampai Delirium

Saya mengalami gejala ringan, tapi bahkan yang ringan itu saja buat saya lumayan 😅. Selain demam linu-linu di hari pertama dan kedua, sakit tenggorokan, disusul pilek, lemas di lima hari pertama, anosmia di hari ke-5 sampai 8, kemudian batuk yang kuat dan tak kunjung sembuh, saya juga mengalami gejala yang jarang dialami orang: mata merah dan kepala yang sering pening seperti tersengat listrik (maaf belum menemukan deskripsi yang lebih halus).

Sebenarnya saya mungkin juga mengalami apa yang disebut delirium, gejala seperti kebingungan dan lambat berpikir. Tapi saya mengondisikan diri harus tetap siap bekerja (di rumah). Apalagi pesan singkat saya ke atasan saya (memberitahu bahwa kami sekeluarga terpapar Covid) cuma dibaca, tapi tidak direspons 😂. 

Obat Sejuta 

Anak saya di-PCR
oleh perawat  puskesmas 

Kami terpapar saat semua fasilitas kesehatan sedang benar-benar collapsed. Puskesmas terdekat kehabisan obat dan beberapa stafnya juga sedang isolasi mandiri. Saat itu bahkan mereka sedang tidak sanggup melayani PCR karena laboratorium penuh. Kami baru bisa ikut tes PCR di hari ke-4 isolasi mandiri, saat saya baru demam.

Sebelumnya, kami mencukupkan diri dengan antigen di sebuah klinik swasta. Setelah mendapat hasil antigen suami yang reaktif, kami diberi kontak dokter yang secara de facto tidak ada. Dokter ini adalah pemilik klinik tempat kami antigen (sebut saja Klinik A), yang hanya berpesan, “Beli saja paket obat di klinik saya” tanpa mendiagnosis gejala pasien. Karena panik dan tahu bahwa stok semua obat sedang kosong, kami beli juga paket obat yang harganya sejuta itu. Isinya Oseltamivir (antivirus influenza), antibiotik, vitamin, dan satu lagi antivirus. 


Empat hari kemudian, setelah baru bergejala, dengan enggan saya juga membeli paket obat yang sama. Bedanya, sejak awal saya tidak mengonsumsi antibiotik. Seorang teman yang tinggal di luar negeri mengingatkan bahwa antibiotik memang tidak diperlukan dalam penanganan Covid. Penyebab sakit ini adalah virus, bukan bakteri. Tapi Teman-teman yang mengalami gejala atau sedang mendampingi pasien Covid, harus mengonsultasikan perlu tidaknya mengonsumsi obat ini ke dokter, ya. 

Hal yang mengerikan, dua hari kemudian, saat stok obat semakin genting, Oseltamivir di klinik A itu sudah naik harga jadi satu juta per strip. Dokternya sendiri yang menyebut harga itu pada saya. Padahal harga eceran tertinggi obat itu dari pemerintah adalah Rp26.000 per tablet. 

Astaga! Hari itu saya sungguh merasa muak dan bisa memahami kekesalan dan ketidakpercayaan sebagian orang akan (penanganan) Covid. Ditambah lagi, esoknya ada orang yang mencaci saya di DM Instagram karena saya melaporkan Klinik A ke laporcovid19. Dia bilang kenaikan harga itu sudah sesuai prinsip ekonomi.


Namun ternyata beberapa hari kemudian, 14 Juli 2021, dalam Revisi Protokol Tata Laksana Covid-19, lima organisasi profesi kedokteran tak lagi memasukkan antibiotik Azithromycin dan antivirus Oseltamivir dalam standar perawatan pasien Covid-19. 



Sejujurnya, saya frustasi jika benar-benar memikirkan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pihak yang bertanggung jawab atas penanganan Covid ini. Tetapi memikirkan tindakan orang lain di masa seperti ini memang sungguh melelahkan.


Penyakit Hoax

Saat ibu saya mengirim pesan singkat di grup keluarga bahwa kami sekeluarga sakit, om saya yang anticovid malah mengirim video dr. Louis. Beberapa orang juga justru mengirim hoax ke WA pribadi saat saya sakit. Ada juga yang memberi nasihat panjang lebar tanpa diminta. Sebagian isinya lagi-lagi hoax.

Syukurlah yang berbaik hati mengirimkan makanan dan suplemen kepada kami selama isoman lebih banyak daripada yang kirim hoax.

Warga isoman dijamin oleh negara tetangga dan teman-temannya. Saya juga mengandalkan konsultasi dengan teman dokter yang membuka layanan konsultasi gratis untuk pasien isolasi mandiri. Terberkatilah orang-orang seperti beliau. Berkat rekomendasinya juga, anak saya yang hanya demam 2 hari, kemudian nyaris tanpa gejala, hanya dengan mengonsumsi vitamin. 

Oya, petugas puskesmas juga sudah berbuat semampu mereka dengan membuat grup WhatsApp untuk warga yang hasil PCR-nya positif. Di sana ada dokter, bidan dan petugas keamanan yang siap membantu. 

 


Hari ini genap 17 hari kami tinggal di rumah (anggota keluarga yang pertama kali isoman mengikuti hitungan yang terakhir isoman) dan mengakhiri masa isolasi mandiri. Safe and sound. 

Setelah menjadi penyintas, saya makin menyadari, Covid adalah penyakit yang punya banyak dimensi sosial, religi, juga tantangan untuk mau tidak mau tumbuh secara pribadi. Seorang teman pernah berkata, jangan-jangan kita pernah jadi orang tanpa gejala (OTG) dan tanpa kita tahu telah menyebabkan orang lain masuk ke liang lahat. Scary but true.

No one is safe until everyone is safe

Betapa pun lelahnya kita dengan orang-orang yang tidak percaya&tidak peduli, dengan penyebar hoax, dengan negara yang begini adanya, sayangnya, tidak ada jalan lain selain terus menjaga diri dan orang lain, dan tetap berbuat baik, sebisanya.

 

Sumber: contextualscience

NB: Ada satu kucing kami yang sebenarnya jarang pulang, entah bagaimana selalu ada di rumah selama kami sakit. Terima kasih, Milo, sudah menemani!



Comments

  1. MasyaAllah, semoga rini sekeluarga selalu dalam lindungan Allah SWT, sehat sehat terus yah rin, dan teruslah berkarya :)

    ReplyDelete
  2. Gambaran yg lengkap sekali mbak Rin.. Ikut happy dg kesembuhannya. Selamat! Peluk cium dari jauh 💋

    ReplyDelete
  3. Cukup mewakili hal yang selama ini bergema di kepala dan tidak keluar ^_^
    Segera sehat dan fit kembali ya Rini dan keluarga

    ReplyDelete
  4. Alhàmdulillah sudah sembuh....ya Allah trimakasih 🙏

    ReplyDelete

Post a Comment