Mengingkari Maslow

 “A woman must have money and a room of her own if she is to write fiction.”

Virginia Woolf 

OR NOT

 

Mengikuti passion atau cari uang dulu? Lama saya belum menemukan jawaban yang menurut saya tepat untuk pertanyaan ini. Secara alami kebutuhan hidup membuat saya tentu saja memilih lebih banyak menggunakan waktu untuk mencari uang (sambil terus mencuri-curi waktu menulis fiksi). Hingga suatu hari saya terantuk pada kutipan ini:

That’s it!

Bagi saya kalimat ini sudah cukup mencapai titik tengah: mengakui bahwa kita belum sampai di sana, sekaligus juga pernyataan bahwa kita sedang menuju ke sana. Maka selama passion belum bisa memenuhi kebutuhan, ya realistis saja, cari uang dengan cara-cara yang bisa dilakukan sambil terus mengerjakan hal yang kita suka itu (meski porsinya belum sebanyak yang kita mau).

Terima saja bahwa mengikuti passion belum (untuk tidak menyebut “tidak”) mampu membuat sebagian besar orang bisa memenuhi kebutuhan hidup. Kalau pun ada yang  bisa memberdayakan passion menjadi bahan bakar pemenuhan kebutuhan hidup, hampir pasti ia harus lebih dulu menempuh perjalanan panjang untuk tiba di sana. Dan karena tidak ada yang tahu kapan waktu pastinya tercapai, tidak jarang banyak yang menyerah sebelum tiba di kondisi ideal itu.

Menulis dan Hierarki Maslow

Saya baru benar-benar merenungkan perkara usang passion vs uang ini kembali setelah tempo hari membaca buku psikologi. Di dalamnya ada piramida kebutuhan menurut Abraham Maslow yang kita pelajari sejak sekolah itu. Menurut hierarki itu, kebutuhan-kebutuhan di piramida tingkat bawah harus terpenuhi lebih dulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di atasnya menjadi motivasi. Dan dalam piramida itu, kebutuhan akan aktualisasi diri diletakkan di tempat tertinggi.

Seketika saya tiba pada kesadaran baru betapa kegiatan seperti menulis memang adalah kegiatan mewah. Mewah karena sebagai sarana aktualisasi diri, seorang penulis idealnya perlu bisa berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dulu. Baru ia bisa menulis dengan tenang (tanpa kelaparan atau membiarkan keluarganya kelaparan).

Menulis novel panjang lebar yang belum tentu menjanjikan pendapatan cukup pasti membuat kita menempatkannya sebagai aktivitas yang “perlu selesai”, tapi tetap di bawah prioritas kegiatan (pekerjaan) yang mendatangkan pendapatan pasti.

Meski nyatanya tidak selalu begitu. Bahkan seringnya tidak begitu. Tidak terhitung teman-teman penulis yang saya kenal tetap menulis (fiksi) yang kurang menjanjikan itu meski kondisi finansialnya tidak bisa dibilang cukup. Bahkan saya kenal beberapa penulis yang berhenti dari pekerjaannya yang mapan hanya untuk fokus menulis fiksi meski mereka tahu tidak akan mendapatkan nominal yang sama dari sana.

Almarhummah penulis NH Dini sendiri juga memilih hidup sederhana dan tidak bekerja kantoran karena bekerja kantoran dianggapnya mematikan kreativitasnya menulis.

Dalam hal ini, saya mengagumi teman-teman penulis lain yang punya manajemen waktu dan energi luar biasa: bisa tetap bekerja kantoran atau menjalankan usaha sambil menyelesaikan banyak novel ratusan halaman.

Hal yang pasti, penulis yang benar-benar menganggap menulis sebagai kebutuhan tidak akan berhenti menulis meski kebutuhan-kebutuhan lain dalam hierarki Maslow ada kalanya silih berganti kurang terpenuhi. Walau makan seadanya, kurang kasih sayang (halah!), kurang penghargaan (best seller-nya tetap buku-buku bajakan), penulis-penulis ini akan tetap melompat ke puncak piramida dan duduk mengetik dengan tenang di sana.

Jangan lupa, Pramoedya Ananta Toer bahkan menulis dari balik jeruji penjara, menulis dengan bebas tanpa menggenggam kebebasan. Begitu juga banyak cerita-cerita kecil dalam buku  ini (ada 4 seri) yang membuktikan bahwa sebagian besar penulis-penulis besar justru tidak menulis dalam rasa aman di dalam ruang hidup yang serba ada. Mereka tidak menunggu situasi yang sempurna untuk mengerjakan hal yang mereka cintai.  

Barangkali ini berlaku juga untuk teman-teman profesi lain :)


Comments