Rumput Tetangga

Kegembiraan di dunia orang dewasa seringkali diikuti efek samping. Apalagi jika overdosis. Semakin banyak kegembiraan, makin banyak konsekuensi.

Juni lalu kami pindah ke rumah sendiri yang baru dibeli setelah anak kami berusia delapan. Saya kira punya rumah sendiri - seperti pesan para perencana keuangan - akan menjadi pencapaian menyenangkan. Senang sih iya. Tetapi seperti teori Hedonic Treadmill yang menyebut bahwa kebahagiaan manusia (dewasa) itu seperti kurva naik turun[1], kegembiraan memiliki rumah sendiri kemudian akan menurun seiring disadarinya kenyataan akan kebutuhan (keinginan) lain.  

Dari buku saya, Mengejar Ujung Pelangi, Transmedia 2020

Sesampai di lingkungan baru saya baru benar-benar menyadari, rumah masa kini di dalam cluster adalah benda belum lengkap yang dengan semangat dibeli manusia urban modern. Rumah-rumah dengan fasad sama yang  memunculkan kebutuhan serupa. 

“Sudah pasang kanopi? Baja ringan atau hollow? Spandek atau alderon? Tembok belakang sekadar nutup saja atau tambah kamar? Teralis 250 ribu per jendela, mau model apa? Tembok belakang lantai keramik atap baja ringan. Toren air jangan lupa.”

Beberapa rumah yang sudah dihuni di sekitar rumah kami sudah tampil dalam bentuk baru. Minimal ditembok belakang dan ditambah kanopi carport. Beberapa bahkan sudah mulai mewujudkan rumah impian dengan menambah lantai. Ada juga yang mengganti hampir semua tampilan bangunan (yang sebenarnya belum diperbolehkan oleh pengembang, hingga setidaknya lima tahun setelah rumah dibeli. Tipikal rumah cluster).

Hal yang memecah tawa resah (keresahan yang hanya bisa ditertawakan agar bisa diterima) adalah nominal untuk membangun kebutuhan dasar ini bisa jadi lebih besar ketimbang nilai uang muka untuk membeli rumah tersebut. Ini belum ditambah kebutuhan mengisi rumah dengan perabotan dasar.

Kepindahan di tengah badai pandemi, saat sedang giat-giatnya menghemat dan menyimpan uang, membuat saya sungguh ingin menunda selama mungkin untuk menambahkan ini itu pada rumah (meski lucunya usaha baru kami di masa pandemi ini adalah merenovasi rumah orang 👀).

Kadang ketika bersepeda motor ke kampung-kampung di sekeliling perumahan, saya jadi mengagumi rumah-rumah sederhana warga kampung yang berhalaman luas dan berjarak jauh satu sama lain (dalam hal ini mereka yang lebih kaya, kan?). Tidak ada yang berfasad sama, tentu saja (sementara di saat yang sama warga lokal ini mengagumi rumah standar serupa kami yang saling mekelat berderet-deret dengan halaman terbatas).


Dalam babak kehidupan manusia dewasa yang kesenangannya pun mengandung kerumitan ini saya baru menghayati sekaligus ingin menetralkan dalam-dalam kiasan rumput tetangga selalu lebih hijau.

Ya tidak apa-apa rumput tetangga hijau. Rumput rumah saya merah jambu. 

Saya perlu mengingat ini agar setiap kali menambahkan sesuatu dalam rumah adalah karena kebutuhan. Bukan karena ikut-ikutan, apalagi balapan dengan tetangga. 


[1] Hedonic treadmill atau adaptasi hedonik adalah observasi kecenderungan manusia untuk segera kembali ke kadar kegembiraan normal setelah mengalami peristiwa yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Santo Augustine, seperti yang dikutip Robert Burton dalam bukunya, Anatomy of Melancholy (1621), menyebutnya,  Desire hath no rest.

Comments