Paradox of (Too Many) Choices

 "Freedom of more choices" becomes the opposite: the "unfreedom"

(Alvin Toffler)

 

Hidup rasanya jauh lebih sederhana saat saluran TV di rumah hanya ada satu (hanya orang jadul seperti saya yang bilang begini). Orang tua saya tidak memasang TV parabola sehingga saat saya kecil yang kami tonton hanya TVRI. Pilihannya hanya menonton atau tidak. Itu perkara mudah, apalagi karena siarannya baru dimulai sore hari. Saya menghabiskan sebagian besar masa kecil dengan bermain tanpa layar TV. Pilihan berkembang saat TPI kemudian muncul, disusul RCTI dan saluran TV swasta lain. Situasi itu masih jauh lebih sederhana dibanding sekarang.

Tahun lalu kami berhenti berlangganan TV kabel. Meski tampaknya banyak saluran yang ditawarkan, ternyata tidak ada yang benar-benar bisa kami tonton (apalagi setelah semua saluran Disney-Fox berhenti tayang). Lagipula, seringnya TV menyala sekadar agar ada suara saat kami bertiga sibuk bekerja dan belajar di rumah. Kini kami bekerja/belajar sambil menancapkan earphone ke telinga, menyimak tayangan/lagu dari internet laptop sesuai selera masing-masing. Era one for all sudah lama berlalu.

Seiring makin beragamnya pilihan di sekitar kita, hidup menjadi lebih mudah, sekaligus juga sebaliknya, lebih kompleks. Dulu menonton satu episode Doraemon di Minggu pagi sambil bermalas-malasan terasa nikmat sekali. Menanti satu Majalah Bobo diselipkan di bawah pintu tiap Kamis juga girangnya bukan main.

Kini, kemudahan akses ke banyak sekali pilihan membuat kita perlu waktu lebih lama untuk sekadar membuat keputusan. Mau pesan makanan apa? Mau nonton apa? Beberapa kali saya jatuh tertidur saat baru memilih apa yang akan ditonton di Netflix (tentu saja tidak berlaku jika sudah tahu akan menonton apa).

Menyimpan banyak koleksi buku digital di ponsel juga tidak serta merta membuat saya rajin membaca hingga tuntas. Saking banyak dan mudahnya mengakses buku digital, saya jadi membaca banyak buku sekaligus. Sedikit sedikit dan melompat-lompat. Jarang ada yang selesai.

Kadang saya berpikir melimpahnya pilihan dan kemudahan ini bisa jadi juga membuat kita kini kurang menghargai hal-hal kecil yang sudah ada. Semua segera berlalu dan akan ada lagi yang baru. Terlalu banyak hal untuk disimak dan terlalu sedikit waktu tersedia. Bisa jadi itu salah satu penyebab kita justru lebih mudah lelah di era yang segalanya serba mudah diakses. Kita mengonsumsi hal-hal yang bisa jadi sebenarnya tidak kita perlukan.

Selain menambah kompleksitas, terlalu banyak pilihan barangkali juga berpotensi memicu kecemasan, terutama perihal keputusan dalam hal-hal besar. Membuat berpikir ulang akan apa yang kita sudah pilih dan yang seharusnya kita pilih. Bagaimana kita tahu pilihan kita sudah yang terbaik? Bagaimana jika kita salah pilih? 

Terlalu banyak pilihan membuat saya kadang justru enggan memilih. Maka bisa jadi membatasi pilihan adalah langkah awal yang bisa dilakukan. Namun, membatasi pilihan tentu membuat kita perlu lebih dulu mengenal diri kita dan menjawab pertanyaan: apa yang benar-benar kita ingin dan perlukan? Perkara sederhana yang berulang kali gagal kita tuntaskan.

Yah, walaupun kita tidak selalu tahu yang kita mau dan perlukan, tapi setidaknya kita bisa mulai dengan mendata hal-hal yang tidak kita inginkan.

 

Comments

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment